Mohon tunggu...
Luthvia Febrianti
Luthvia Febrianti Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Klenteng Sam Poo Kong: Perpaduan Gaya Arsitektur Jawa dan Tiongkok

28 Desember 2022   15:10 Diperbarui: 28 Desember 2022   15:20 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kemajemukan budaya. Keberagaman suku, budaya, agama, dan ras yang terkandung dalam nilai ke-Bhinekaan. Selain itu, Indonesia juga memiliki kekayaan alam yang luar bisa dan menjadikann Indonesia selalu menarik untuk dikunjungi wisatawan. Sam Poo Kong merupakan klenteng yang menjadi salah satu destinasi wisata menarik di Semarang. Klenteng ini terletak di Jl. Simongan Raya No. 129, Semarang, Jawa Tengah. 

Klenteng ini merupakan perwujudan dari sebuah masjid kuno yang pernah didirikan oleh penjelajah laksamana Tiongkok yang beragama Islam. Sam Poo Kong merupakan sebuah petilasan tempat persinggahan dan pendaratan pertama seorang laksamana Tiongkok Zheng He atau yang lebih dikenal dengan Laksamana Cheng Ho. Klenteng ini disebut juga sebagai klenteng Gedung Batu karena merupakan Gua Batu Besar yang berada di Bukit Batu. Salah satu tujuan didirikannya klenteng ini ialah untuk mengenang jasa-jasa dari Laksamana Cheng Ho. Klenteng ini dibangun pada tahun 1724 dan memiliki bangunan arsitektur yang khas dan bersejarah.

Menurut sejarah, Laksamana Cheng Ho sedang mengadakan pelayaran melwati pantai laut Jawa untuk tujuan politik dan juga berdagang. Karena terdapat awak kapal yang bernama Wang Jinghong sedang mengalami sakit keras, akhirnya laksamana Cheng Ho memutuskan untuk merapat ke pantai utara Semarang tepatnya di desa Simongan (1401 M). Kemudian laksamana Cheng Ho mendirikan sebuah masjid di tepi pantai yang sekarang telah beralih fungsi menjadi klenteng yaitu klenteng Sam Poo Kong. 

Setelah beberapa waktu, laksamana Cheng Ho meninggalkan tempat tersebut karena harus melanjutkan perjalannya. Meskipun demikian, banyak awak kapalnya yang tetap tinggal di desa tersebut dan menikah dengan penduduk setempat. Dalam sejarah Indonesia, nama laksamana ini dikenal juga dengan nama lain, yaitu Laksamana Sam Poo Kong, Zheng He, Sam Po Toa Lang, Sam Po Thay Jien, Sam Po Thay Kam, dan lain sebagainya.

Klenteng Sam Poo Kong merupakan klenteng yang tinggi toleransi, dimana bukan hanya penganut agama Buddha saja yang boleh datang, melainkan masyarakat umum pun diperbolehkan untuk mengunjungi klenteng ini. Di klenteng ini banyak pengunjung yang datang untuk beribadah dan berziarah, baik dari kalangan Tionghoa dan masyarakat umum termasuk umat muslim di Jawa. Terdapat hal unik pada klenteng ini yaitu meskipun memiliki bentuk bangunan dan arsitekturnya bergaya khas Tionghoa, namun di dalam klenteng ini juga terdapat masjid.

Proses akulturasi yang terjadi selama beberapa tahun ini menghasilkan sebuah kawasan Klenteng Sam Poo Kong yang terdiri dari perpaduan antara arsitektur Jawa dan Tionghoa. Kawasan klenteng Sam Poo Kong yang dulunya merupakan kawasan perairan dengan luas wilayah 3,2 hektar, kini wilayah tersebut memiliki 5 komplek bangunan dengan gaya arsitektur yang khas berupa perpaduan antara arsitektur Tiongkok, Jawa, dan Islam. Klenteng Sam Poo Kong terbangun dengan dua filosofi seni dan terdapat empat bagian utama yaitu halaman depan yang biasanya digunakan untuk upacara keagaaman. 

Selanjutnya, terdapat ruang suci utama yang merupakan bagian utama dari klenteng ini. Pada bangunan bagian samping klenteng ini biasanya digunakan untuk menyimpan peralatan yang sering digunakan pada upacara atau perayaan keagamaan.

Terdapat enam bangunan unik paling bersejarah di Klenteng Sam Poo Kong yang terbuka untuk umum, baik untuk berwisata maupun beribadah, diantaranya yaitu:

  • Tempat Pemujaan Dewa Bumi. Tempat ini biasanya digunakan untuk berdoa kepada Tian (Tuhan atau langit) dan juga kepada Tei (Dewa Bumi) untuk meminta kesuburan tanah, hasil panen yang berlimpah dan juga bebas hama, kesehatan, keselamatan, hidup damai dan makmur.
  • Makam Kyai Juru Mudi. Menurut cerita, Wang Ji Hong merupakan juru mudi dalam pelayaran Armada Cheng Ho. Ketika tiba di Pantai Utara Jawa, Wang Jing Hong mendadak sakit keras sehingga tidak bisa melanjutkan perjalannya. Untuk menghormati Laksamana Cheng Ho, Wang Jing Hong mendirikan patung di Goa Sam Poo Kong. Wang Jing Hong meninggal pada usia 87 tahun dan dimakamkan disamping Gua Sam Poo Kong atau dikenal dengan sebutan Makam Kyai Juru Mudi.
  • Tempat Pemujaan Sam Poo Kong. Tempat ini digunakan sebagai tempat utama untuk beribadah. Dinding luar gedung ini dihiasai oleh relief batu yang menceritakan kisah perjalanan Laksamana Cheng Ho selama kurang lebih 30 tahun pada abad ke-15. Bebatuan pada relief tersebut berasal dari tiongkok dan ukirannya dikerjakan oleh seniman Bali.
  • Makam Kyai Djangkar, Tempat Pemujaan Kong Hu Chu dan Rumah Arwah Hoo Ping. Pada gedung ini terdapat tiga tempat pemujaan. Pada bagian paling kiri terdapat Makam Kyai Djangkar. Banyak para pengunjung datang untuk meminta berkah baik untuk usaha maupun pekerjaan. Pada bagian tengah, terdapat tempat pemujaan untuk pendiri agama
  • Khong Hu Cu. Selanjutnya, pada bagian paling kanan terdapat Rumah Arwah Hoo Ping atau tempat arwah orang meninggal yang tidak dirawat oleh keluarganya dan ditampung di tempat ini untuk didoakan pada tiga kali dalam setahun, yaitu sehari sebelum Imlek, saat Cheng Beng dan pada saat upacara Jit Gwee.
    • Tempat persembahan Nyai Cundrik Bumi. Nyai Cundri Bumi merupakan sebuah nama senjata yang digunakan oleh pasukan laksamana Cheng Ho. Pada awalnya, area ini digunakan untuk tempat penyimpanan dan perawatan pusaka yang kemudian sekarang hanya menjadi simbolis saja.
    • Tempat Kyai Nyai Tumpeng. Kyai Nyai Tumpeng adalah putri dari Tiongkok yang dibawa oleh laksamana Cheng Ho untuk membantu memasak di kapal. Uniknya, pada bangunan ini terdapat sumur berisi mata air yang dianggap suci dan digunakan untuk meminta rezeki dalam berdagang, bertani, kesembuhan, serta kelancaran ketika pernikahan.

Selain tempat-tempat tersebut, di klenteng Sam Poo Kong juga terdapat sebuah replika kapal laksamana Cheng Ho. Klenteng Sam Poo Kong juga dilengkapi dengan musholla, kamar mandi, mini market, dan bangunan -- bangunan lainnya. Diantara banguan -- bangunan megah yang ada di Sam Poo Kong yang tersebut, terdapat sebuah patung raksasa Laksamana Cheng Ho dengan tangan kiri yang memegang pedang dan tangan kanan memegang misi dari kerajaan. 

Dapat dilihat bahwa dari beberapa bangunan yang terdapat di klenteng Sam Poo Kong tersebut menunjukan budaya arsitektur Tiongkok dapat membaur dengan budaya arsitektur Jawa yang tidak adanya batasan mengenai perkembangan bentuk arsitektur dalam suatu bangunan. Selain itu, terdapat nilai-nilai toleransi yang tinggi di klenteng ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun