Generasi sudah memasuki era milenial atau anak muda sekarang biasa menyebut dengan istilah generasi jaman now di mana jarak dan waktu sudah bukan menjadi masalah lagi bagi setiap insan berinteraksi antara satu sama lain di seluruh dunia. Kita sekarang sudah lazim menyaksikan orang berjalan-jalan di pusat perbelanjaan sambil menggunakan smartphone, karena urusan pekerjaan agar tetap bisa mengimbangi mobilitasnya yang tinggi atau sekedar berkirim kabar kepada kerabat nan jauh di sana.Â
Juga bukan sesuatu yang aneh ketika menemukan segerombolan muda-mudi usia produktif yang masih menyelesaikan studi sarjana maupun pascasarjana berkumpul di suatu tempat tongkrongan dengan suguhan laptop di meja masing-masing demi menyelesaikan tugas untuk memenuhi tanggung jawab kepada orang tua yang telah menyekolahkan.
Dulu, tepatnya pada tahun 90 an semua pemandangan yang saya ceritakan di atas hampir mustahil kita saksikan. Tidak ada smartphone, karena namanya masih sebatas handphone yang hanya bisa digunakan untuk telepon dan sms saja, itupun hanya segelintir orang yang memilikinya, kalau bukan pejabat tinggi ya berarti pengusaha berduit yang tidak sayang membelenjakan banyak uang hanya untuk membeli barang kecil nan langka itu. Sedangkan sebagian masyarakat lainnya, memilih menyisakan sedikit pendapatan mereka untuk menyewa telepon di wartel (warung telekomunikasi) agar tetap bisa mengetahui kabar orang-orang terdekatnya.
Demikian juga halnya dengan komputer jinjing atau laptop, belum banyak yang memilikinya. Setidaknya ada dua alasan kenapa dahulu orang belum banyak yang mempunyai atau bahkan mengenal gawai ini. Pertama karena memang kondisi dan kesibukan pada masa itu belum menuntut kebutuhan akan benda canggih tersebut, kemudian alasan selanjutnya adalah faktor ekonomi. Khususnya di Indonesia, yang pada waktu itu masih mengalami krisis moneter.Â
Membayangkan ketika zaman itu, saya jadi merasa beruntung karena sudah terlebih dahulu mengenal apa itu laptop dibandingkan anak-anak lainnya seusia saya di luar sana. Tetapi jangan salah sangka, bukan karena saya golongan keluarga kaya, melainkan tuntutan pekerjaan ayah sebagai seorang jurnalis yang memang dituntut membuat berita melalui laptop inventaris dari kantor beliau.
Bagi lainnya yang ketika itu ingin merasakan sensasi menggunakan komputer atau komputer jinjing, lagi-lagi mereka harus bersabar menyisihkan hasil kerja kerasnya untuk menyewa komputer di bilik-bilik yang disediakan oleh warnet (warung internet). Sama-sama mengeluarkan biaya memang, tapi tentu saja jauh lebih terjangkau dibandingkan jika harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli satu set laptop atau komputer desktop baru maupun bekas.Â
Karena harga yang ditawarkan keduanya sama mahalnya. Karena alasan itulah warnet pada masa itu sangat ramai dan keberadaannya dicari oleh banyak orang, terutama mereka yang memang aktifitas utamanya diharuskan berurusan dengan yang namanya dunia maya.
Memasuki generasi milenium pada awal 2000 hingga saat ini, satu per satu pemilik usaha wartel mulai gulung tikar. Sekarang mencari satu wartel di satu kota saja rasanya sangat mustahil.Â
Kenyataannya harga handphone sudah sangat terjangkau oleh kantong, dan fitur yang ditawarkan juga tidak hanya sebatas telepon dan sms saja seperti tahun-tahun sebelumnya, tetapi bagaikan one stop entertainment, mulai dari fotografi, musik, film, chatting dengan beragam aplikasi, game dengan kualitas gambar high definition(HD), transaksi jual beli dan keuangan, serta masih banyak lainnya bisa dilakukan dengan satu sentuhan saja dari satu tempat.Â
Itu rasanya yang menjadi alasan pengusaha wartel memilih menutup ladang rejekinya daripada harus bertahan dalam ketidakpastian, mereka tahu kemajuan jaman adalah keniscayaan yang membuat orang-orang perlahan meninggalkan warung telekomunikasi.
Pada mulanya saya mengira nasib yang sama akan menimpa warung internet (warnet), karena melihat kondisi bahwa laptop sekarang sudah bukan merupakan barang yang mewah lagi, hampir seluruh kalangan bisa memilikinya dengan harga yang semakin bersahabat. Mulai dari harga 3 jutaan kita sudah bisa mendapatkan laptop baru dengan fitur kekinian.Â
Bahkan di salah satu online shop terkemuka, kita bisa mendapatkan komputer jinjing ini hanya dengan Rp 1,500,000 meskipun kondisinya bekas. Tetapi ternyata anggapan saya salah, setidaknya asumsi ini berlaku di kota yang saat ini menjadi domisili saya, Yogyakarta. Di tengah jaman yang semakin maju, justru warnet di kota pelajar ini keberadaannya masih menjamur, tidak hanya itu saja, peminatnya pun tidak surut, namun cenderung meningkat.
Hal ini tentu sangat mengherankan, coba bayangkan untuk apa orang di jaman yang sudah serba ada ini masih rela capek-capek pergi ke warnet, padahal mereka sudah mempunyai laptop yang menghiasi setiap aktifitasnya. Jika alasannya mencari koneksi internet, tentu bukan jawaban yang masuk akal, karena harga yang ditawarkan oleh provider telekomunikasi di Indonesia untuk membeli kuota internet dengan ukuran gigabyte pun lebih murah daripada makan satu paket menu super besar di salah satu gerai ayam goreng ternama.Â
Hampir 8 tahun hidup di Daerah Istimewa Yogyakarta dan berkeliling dari satu warnet ke warnet lainnya, satu kesimpulan yang dapat saya ambil untuk menjawab pertanyaan mengapa mereka bisa tetap eksis bersaing dengan globalisasi. Jawabannya adalah, warung internet kini telah lahir kembali dengan kemasan yang baru.
Dahulu saya teringat ketika masih masa sekolah menengah pertama hingga atas, pergi ke warnet hanya untuk menyewa sebuah bilik komputer kecil dengan hitungan per jam. Semua itu dilakukan hanya untuk memenuhi tugas sekolah berkirim e-mail ke guru dan mencari hiburan dengan berselancar di media sosial seperti Friendster atau Facebook yang saat itu sedang naik daun.Â
Jika dibandingkan dengan kondisi sekarang, tidak banyak yang bisa dilakukan pada waktu itu. Kini, warnet di kota besar seperti Yogyakarta ini telah merubah pandangan saya, dari tempat yang awalnya sempit, panas, komputer jadul dengan fitur membosankan, menjelma menjadi lokasi yang menawarkan hiburan alternatif bagi berbagai kalangan yang ingin tetap refreshing tanpa harus mengabaikan pekerjaan.
Pergeseran konsep dari warnet konvensional, menjadi warung internet dengan kemasan internet cafe yang sekaligus menghadirkan berbagai fitur multimedia lengkap kepada konsumen nampaknya menjadi ide kreatif yang cukup ampuh untuk bertahan. Awalnya saya mengira warnet masa kini sama saja, paling kita hanya bisa browsing, chatting, atau bagi yang suka ngegame ada tambahan layanan game online yang bisa dinikmati. Namun ternyata lagi-lagi pendapat itu salah dengan didukung fakta bahwa warung internet telah menyediakan lebih dari apa yang kita butuhkan.Â
Contohnya ketika sekarang pergi ke salah satu warnet di Yogyakarta hanya sebagai jalan keluar untuk memenuhi deadline pengiriman pekerjaan atau tugas yang tidak dapat dilakukan di rumah karena keterbatasan koneksi internet. Sesampainya di bilik kita bisa mendapatkan lebih dari itu, karena pihak warnet tidak hanya menyediakan aplikasi browsing, melainkan juga berbagai macam file film, lagu, software, maupun game terbaru yang bisa langsung dicopy ke media penyimpanan dalam jumlah yang tidak terbatas.
Bagi yang enggan untuk duduk di dalam bilik komputer, pihak pengelola jasa warnet juga telah menyediakan tempat khusus dengan sofa yang nyaman sehingga membuat pengunjung betah berlama-lama menuntaskan pekerjaan menggunakan laptop atau smartphone pribadi yang sudah tersambung  jaringan wifi dengan sistem pembelian paket yang tergolong murah, mulai dari Rp 13,000 kita dapat menikmati hotspot selama 3 jam. Terkadang ruangannya pun dibagi dalam 2 tempat, yang pertama indoor lengkap dengan pendingin udara bagi mereka yang tidak merokok dan outdoor untuk para ahli hisap.Â
Mungkin ini cara lain pengelola menghormati perokok pasif tanpa harus mendiskriminasi perokok aktif. Tenang saja, warnet kekinian di Yogyakarta ini juga tidak akan membiarkan pelanggannya kelaparan, namanya juga internet caf, mereka pun juga menyediakan berbagai menu makanan dan minuman yang akan mengiringi kita berkarya atau sekedar selingan dikala berinteraksi dengan kolega.
Karena tuntutan konsumen, mayoritas warnet atau sekarang bisa kita sebut internet cafe di Yogyakarta bahkan buka hingga 24 jam nonstop, terutama bagi yang buka di lokasi-lokasi strategis berdekatan dengan perguruan tinggi maupun perkantoran yang ada di daerah ini. Untuk mengatasi pengunjung yang padat, mereka rata-rata mempekerjakan banyak pegawai dengan giliran empat shift per hari.Â
Seperti pengakuan Abhirama, seorang kerabat yang pernah merasakan bekerja di salah satu warnet Yogyakarta. "Dulu di tempat saya, shift pertama ada jam 1 malam sampai 7 pagi, kemudian dilanjutkan shift kedua jam 7 pagi hingga jam 1 siang, selanjutnya jam 1 siang berakhir pada jam 7 malam, dan terakhir pukul 7 malam hingga 1 malam, begitu seterusnya," ungkapnya.Â
Penasaran, saya pun berusaha menelusuri lebih jauh bagaimana warnet, khususnya di tempat kerja abhirama bisa memenuhi tuntutan konsumen akan update film, game, dan software terbaru. Apakah sudah ada pihak tertentu yang menyuplai file tersebut, atau justru sistem download manual dilakukan masing-masing warnet sendiri agar tetap bisa bersaing dengan tempat lainnya.
Ia kemudian menjelaskan panjang lebar jika warung internet tempatnya bekerja melakukan download file film, software, dan game secara manual dan mandiri lalu didistribusikan pada masing-masing bilik komputer yang tersedia. "Berdasarkan pengalaman saya bekerja, khusus warnet saya, download file multimedia itu kita lakukan sendiri secara manual di website tertentu, tanpa berlangganan ke pihak manapun," jelasnya.
Disini kemudian muncul masalah baru, terkait orisinalitas file multimedia yang kemudian secara bebas dicopyoleh pengunjung warnet. Karena berdasarkan sepengetahuan saya, website-website penyedia layanan download film, game, atau software hampir semuanya berstatus bajakan. Jika memang demikian, kita bisa mengatakan bahwa banyak pihak lain di luar sana yang telah dirugikan dengan bisnis ini.
Terkait keabsahan file yang didownload oleh pihak warnet demi memenuhi permintaan pengunjung itu, abhirama selaku sosok yang pernah menjadi orang dalam di lingkup usaha warung internet juga tidak menutup mata. "Ya kita download file yang tidak resmi, memang semuanya illegal alias bajakan mas," akunya.Â
Kenyataan ini tentu ironis sekali, mengingat era pemerintahan Presiden Joko Widodo sekarang sedang gencar-gencaarnya berusaha menghidupkan industri kreatif seperti film, musik, game, dan lain sebagainya agar mendorong pelaku industri tersebut mampu bersaing dengan baik di pasar bebas dunia. Tetapi di sisi lain, niat mulia pemerintah itu juga dikacaukan dengan warnet yang juga punya upaya sendiri untuk terus menunjukkan eksistensinya, namun sayang dengan cara yang kurang baik.
Saya bisa mengatakan bahwa dengan menyediakan fitur multimedia secara gratis adalah cara lain warnet untuk terus bertahan karena memang tujuan orang ke warnet, khususnya yang ada di Yogyakarta saat ini sudah bukan lagi semata-mata untuk tujuan konvensional seperti berbalas e-mail, chatting, atau yang lainnya. Tetapi ada tujuan lain, yakni menambah koleksi film, software, atau game terbaru tanpa harus menyisihkan banyak uang.Â
Estimasinya, jika kita menonton film secara sah di beberapa bioskop Indonesia, minimal rupiah yang harus dikeluarkan adalah 35 ribu, sedangkan di warnet, hanya dengan membayar 6 ribu per satu jam sudah bisa mendapatkan film terbaru dalam jumlah yang banyak. Padahal 35 ribu yang kita sisihkan untuk menonton di bioskop juga punya tujuan mulia, untuk menghidupi stakeholder industri film seperti produser, sutradara, kru, artis, pegawai bioskop, penulis, make up artis, dan masih banyak lainnya.Â
Jika budaya pembajakan ini masih terus dibiarkan melenggang, bisa kita bayangkan akan ada berapa banyak industi kreatif khususnya dari bidang sinematografi, musisi, dan programmer yang gulung tikar.
Sayangnya mengenai kasus ini, kita tidak bisa berharap banyak selain pada diri sendiri, karena memang nyatanya pemerintah melalui aparat hukum terkesan membiarkan menjamurnya pembajakan film, game, dan software di berbagai warnet masa kini. Kabarnya memang ada istilah "operasi maya" yang dilakukan kepolisian untuk merazia warnet-warnet yang terbukti mengedarkan file-file bajakan kepada para konsumennya.Â
Namun pemberlakuannya masih pasang surut, buktinya warnet yang menggunakan cara di atas demi menarik konsumen keberadaannya semakin menjamur di Daerah Istimewa Yogyakarta.Â
Tentu membutuhkan penelusuran yang lebih jauh. Namun, masih berdasarkan pernyataan dari Abhirama, dirinya tidak pernah menjumpai ada razia di tempat kerjanya. "Sejak awal saya bekerja sampai resign belum sampai ada operasi dari pihak kepolisian," kata Abhirama. Ketika saya menanyakan lebih jauh tentang ada atau tidaknya sejumlah rupiah yang diberikan khusus kepada aparat, ia juga lagi-lagi mengaku tidak ada. "Tidak ada mas, kami hanya membayar keamanan internal yang kami sediakan untuk keamanan pengunjung saja," akunya.
Kasus ini memang butuh penyelidikan yang lebih jauh, namun sebelum itu saya sudah bisa menyimpulkan bahwa file-file berupa film, game, dan software yang disediakan secara gratis oleh warnet kepada pengunjungnya adalah ilegal alias bajakan. Kembali lagi kepada kita bagaimana secara bijak menyikapi fakta ini.Â
Jika kita menempatkan diri sebagai pelaku industri kreatif yang memang bekerja dengan cara membuat sebuah karya, namun pada akhirnya hak cipta yang kita punya disalahgunakan dengan cara yang tidak terpuji tentu akan sependapat dengan saya bahwa pembajakan di negeri ini harus segera dihentikan. Tetapi sebaliknya, jika kita menempatkan sebagai konsumen yang ingin mendapatkan one stop entertainment dengan biaya yang sangat terjangkau, sudah pasti akan masa bodoh dengan fenomena ini.
Melalui tulisan ini, saya tidak bermaksud memojokkan pihak manapun, baik pengusaha warnet maupun konsumen itu sendiri. Melainkan semata-mata untuk memberikan pemahaman bahwa di balik gemerlapnya usaha warnet, khususnya yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, ada banyak pelaku industri kreatif yang telah dirugikan. Tulisan ini sekaligus sebagai penegasan bahwa undang-undang tentang hak cipta sudah saatnya bangun kembali dari tidurnya demi kebaikan bersama dan melindungi mereka yang berkarya atas nama Indonesia.
Masyarakat harus dipaksa untuk menghormati karya orang lain. Pasti ada cara lain yang lebih efektif, misalnya dengan membayar royalti performing rights kepada pihak yang karyanya digunakan untuk kepentingan bisnis.Â
Mungkin cara itu pada akhirnya akan menyebabkan membengkaknya biaya yang harus dibayarkan oleh pengunjung ketika pergi ke warnet untuk membeli sebuah karya dari industry kreatif Tapi jika bukan sekarang kapan lagi, dan kalau bukan kita siapa lagi. Ngomong-ngomong, saya menyelesaikan tulisan ini juga di sebuah internet cafe, tetapi tanpa mencopy file bajakan. Semoga tulisan ini juga tidak dibajak, selamat berkarya untuk Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H