Memasuki tahun baru di 2018, pemerintah daerah di seluruh Indonesia tak terkecuali Kabupaten Rembang berbondong-bondong mempersiapkan diri dengan berbagai macam cara yang bertujuan untuk mempercantik setiap sudut kotanya. Ya, karena kompetisi untuk memperebutkan piala bergengsi bernama Adipura akan kembali dilaksanakan pada tahun ini. Penobatan penghargaan bagi kota di Indonesia yang berhasil dalam lingkungan serta pengelolaan lingkungan perkotaan ini dilaksanakan setiap tahun oleh Kementerian Negara Lingkungan hidup.
Dalam sejarahnya, program penghargaan tersebut telah dilaksanakan sejak tahun 1986, lalu sempat terhenti pada 1998, hingga akhirnya kembali dicanangkan di Denpasar, Bali menginjak tahun 2002 sampai saat ini. Dilaksanakannya penilaian Adipura berawal dari semangat pemerintah pusat melalui Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk menjadikan daerah-daerah di Indonesia "kota bersih dan teduh."Â
Banyak orang mengira bahwa program Adipura ini hanya diperuntukkan bagi kota dalam definisi kota otonom atau sifat dan karakteristik pemerintahan serta luas wilayahnya. Namun, sebenarnya makna "kota" dalam kegiatan ini bisa bagian dari wilayah kabupaten yang memiliki karakteristik sama dengan perkotaan dalam batas wilayah tertentu. Sehingga secara garis besar, baik kotamadya maupun kabupaten di seluruh Indonesia mempunyai hak yang sama untuk memperebutkan Adipura, yang membedakan hanyalah kategori penilaiannya.
Seleksi yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat untuk menentukan daerah mana saja yang layak untuk meraih Adipura dibagi dalam 4 kategori berdasarkan jumlah penduduknya. Pertama yaitu kota metropolitan dengan penduduk di atas 1 juta jiwa, kemudian kategori kota besar yang dihuni 500.001-1.000.000 jiwa, lalu kota sedang dengan rentang 100.001-500.000 jiwa, dan terakhir adalah kota kecil yang memiliki jumlah penduduk hanya sampai 100.000 jiwa.Â
Dalam memutuskan suatu daerah menyandang predikat kota bersih dan teduh harus memenuhi setidaknya 2 indikator pokok yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, yakni kondisi fisik lingkungan perkotaan dalam hal kebersihan dan keteduhan kota serta indikator pengelolaan lingkungan perkotaan (non-fisik) yang meliputi institusi, manajemen, dan daya tanggap.
Kabupaten Rembang yang dipimpin oleh duet Bupati Abdul Hafidz dan Wakil Bupati Bayu Andriyanto bertekad untuk membawa daerah yang terletak di bagian timur pantai utara Jawa Tengah ini comebackmeraih Piala Adipura tahun ini setelah terakhir mencicipi manisnya prestasi tersebut di 2010 yang lalu. Keseriusan pemerintah daerah dalam mewujudkan hal itu ditunjukkan oleh sang Bupati yang dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa Adipura adalah salah satu target prioritas yang harus direalisasikan tahun ini. Tetapi harus diakui jika berbagai permasalahan klasik masih perlu penyelesaian yang efektif jika tidak ingin mengulangi kegagalan sama seperti tahun lalu.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Rembang, Suharso menyampaikan bahwa jajarannya terlebih dahulu akan secara teliti mempelajari titik lemah yang menyebabkan daerahnya gagal meraih Adipura 2017, kemudian baru menyusun beberapa strategi. Upaya tersebut dinilai sebagai langkah yang baik agar penyelesaian permasalahan kebersihan dan tata kelola perkotaan bisa tepat sasaran demi merealisasikan target yang diberikan oleh Bupati Abdul Hafidz. "berdasarkan penilaian tahun lalu, kita gagal di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang belum mencakup luasannya. Nanti itu yang akan bersama-sama kita benahi demi meraih Adipura 2018. Termasuk kebijakan penggantian pohon palem di jalan protokol dengan jenis lainnya yang rindang," ungkapnya.
Ketika sejenak meluangkan waktu untuk menyusuri sejumlah sudut Kota Rembang, saya langsung dapat berasumsi memang masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan kaitannya dengan isu kebersihan serta tata kota. Saat berada di lingkungan sekitar Pasar Rembang misalnya, sangat memprihatinkan karena di jalan raya yang menjadi akses utama menuju ke pusat perbelanjaan tradisional tersebut masih dipenuhi oleh timbunan sampah milik pedagang maupun warga yang berlalu-lalang.Â
Selain itu, jalanan juga dipenuhi oleh kotoran kuda yang menarik andong atau biasa disebut dokar. Ironisnya semua pemandangan tidak mengenakkan itu berdekatan dengan tugu batik Lasem yang baru saja dibangun persis di bundaran depan pasar dengan menghabiskan anggaran sekitar Rp 255,6 juta dan proyeknya telah selesai pada pertengahan Desember 2017 lalu. Saya menganggap hal ini ironis lantaran pembangunan fisik berupa tugu itu berada di lingkungan yang kebersihannya masih minim pembenahan.
Lokasi lain yang pantas untuk mendapatkan perhatian serius adalah Alun-alun Rembang yang notabene terletak di pusat kota. Tercatat ruang publik ini telah mengalami renovasi besar-besaran pada tahun 2014 hingga pengerjaannya selesai di 2016. Total anggaran kurang lebih Rp 5,2 miliar digelontorkan oleh pemerintah untuk memperbarui wajah alun-alun.Â
Belum ada kurun waktu 2 tahun terhitung sejak selesainya proyek renovasi, tempat yang menjadi titik favorit berkumpulnya mayoritas pemuda dan keluarga setiap akhir pekan itu sudah mengalami kerusakan di beberapa sudut. Berdasarkan pengamatan saya, sudah ada sejumlah pot beton tempat pohon yang sekaligus berfungsi sebagai tempat duduk ambrol. Keadaan lantai keramik juga tidak kalah memprihatinkan karena ada yang amblas dan pecah-pecah. Kondisi ini tentu tidak hanya mengganggu pemandangan saja, tetapi juga berpotensi mencelakai pengunjung.
Selain kerusakan fasilitas, kebersihan yang kurang terjamin di lingkungan alun-alun juga menjadi pekerjaan rumah lainnya yang lagi-lagi mendesak untuk segera dicarikan jalan keluar. Hal ini terbukti dengan ditemukannya banyak sampah hasil aktivitas jual-beli Pedagang Kaki Lima (PKL) yang masih belum terkelola baik, diperparah lagi oleh berubahnya fungsi saluran air menjadi comberan. Akibatnya tidak jarang beberapa pengunjung mengeluhkan bau menyengat serta kotornya tempat yang seharusnya menjadi wahana rekreasi nyaman bagi warga sekitar.
Beruntungnya, demi mengamankan penghargaan bergengsi bernama Adipura, Pemerintah Kabupaten Rembang sudah melaksanakan langkah-langkah strategis yang sekaligus dinilai mampu mengatasi permasalahan klasik terkait dengan pengelolaan kebersihan dan tata kota. Khusus untuk yang terjadi di alun-alun, Bupati Rembang, Abdul Hafidz secara tegas menyatakan akan melakukan penindakan berupa teguran lisan, tertulis, hingga penggusuran bagi pedagang kaki lima yang enggan menjaga kebersihan alun-alun dengan cara mengelola limbah hasil aktivitas jual beli.Â
Ancaman dari orang nomor satu di Rembang ini bukannya tanpa alasan, hal tersebut harus dilakukan oleh pihaknya karena sejak awal para PKL yang mencari peruntungan di alun-alun sudah menandatangani pakta integritas yang salah satu poinnya adalah komitmen untuk menjaga kebersihan.
Program lainnya yang gencar dilaksanakan demi mempercantik wajah Kota Rembang ialah "Jum'at bersih." Pada hari itu, Kepala Daerah bersama dengan jajarannya akan bersepeda berkeliling kota, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), toko, dan rumah warga untuk meminta kesediaan masyarakat berkontribusi bagi daerah minimal dengan cara menjaga kebersihan sekitar tempat tinggal. "Agar masyarakat tidak hanya memanfaatkan kota untuk kepentingan pribadi, tetapi juga daerahnya," ujar Bupati.Â
Stakeholder lain juga akan dilibatkan seperti misalnya Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) ditugaskan untuk menindak kusir andong yang membiarkan kotoran kudanya berserakan di jalan. Untuk kasus ini, menurut saya mungkin bisa dicanangkan kegiatan tilang dokar. Konsepnya hampir sama dengan operasi lalu lintas yang dilaksanakan oleh pihak kepolisian, bedanya tilang dokar dilakukan dengan cara memberhentikan atau memberikan peringatan bagi kusir yang tidak menyediakan kantong kotoran kuda sehingga berpotensi mencemari jalan raya.
Demi menambal kelemahan yang ikut andil besar dalam kegagalan Kabupaten Rembang meraih Adipura tahun lalu, yakni penilaian terhadap pengelolaan tempat pembuangan akhir, pemerintah daerah akan menyiapkan anggaran khusus untuk merealisasikan perluasan lahan TPA sebesar 1,5 hektar di Desa Landoh. Kemudian Pemkab akan memastikan agar dampak negatif dari TPA tersebut tidak sampai dirasakan oleh masyarakat sekitar.
Penghargaan Adipura tidak hanya menjadi milik pemerintah saja sebagai pemangku kebijakan, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat Kabupaten Rembang. Oleh sebab itu harus kita akui bersama bahwa gagal atau suksesnya daerah ini dalam merealisasikan impian tersebut bukan hanya bergantung pada program-program pemerintah, namun juga komitmen seluruh stakeholder yang terlibat termasuk dalam hal ini adalah kita sebagai warga.Â
Saya rasa akan percuma jika pemerintah sudah bersusah payah melaksanakan langkah-langkah yang bagus dengan didukung biaya besar, tetapi pada akhirnya tidak mendapatkan kontribusi yang nyata dari rakyat. Sejatinya, kontribusi yang dibutuhkan oleh Pemkab Rembang dari kita semua bukan dalam bentuk materi, tetapi cukup memperkuat komitmen untuk bersama-sama merawat segala fasilitas umum dan lingkungan sekitar tempat tinggal.
Harapan saya Adipura bukan satu-satunya motivasi dari kampanye kebersihan yang saat ini sedang gencar dilaksanakan di Kabupaten Rembang. Karena, kebiasaan yang sudah-sudah, kota tempat kelahiran saya ini hanya bersolek saat menjelang penilaian lomba "kota bersih dan sejuk" saja, namun setelah itu kembali pada kebiasaan semula, sukar untuk mengimani semboyan "kebersihan adalah sebagian dari iman" dengan adanya bukti pencemaran lingkungan dan kerusakan fasilitas umum di hampir setiap sudut kota. Kita semua harus berani memastikan bahwa kampanye kebersihan ini akan selamanya menjadi budaya masyarakat daerah setempat menuju Rembang Madani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H