Karena sebelumnya, Ketua Umum Pimpinan Pusat Kolektif Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (PPK Kosgoro) 1957, Agung Laksono mengatakan Airlangga telah mendapatkan izin dari Presiden untuk mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Menurut Agung, dengan demikian Jokowi telah merestui Airlangga Hartarto tetap menjadi Menteri Perindustrian sekaligus Ketua Umum partai.
Secara hukum positif yang berlaku di Indonesia, memang tidak ada ketentuan yang melarang Menteri untuk rangkap jabatan sebagai pengurus partai politik. Hanya saja, dalam kasus ini Presiden Joko Widodo terbentur dengan permasalahan etika karena beliau secara etis seharusnya konsisten untuk menepati janji politiknya pada masa kampanye 2014 lalu yang tegas melarang Menteri pembantunya rangkap jabatan.Â
Oleh karena itu berkaca dari janji politik yang pernah disampaikan oleh Presiden, tanpa atau dengan keputusan Jokowi pun secara otomatis Airlangga Hartarto harus mundur sebagai Menteri.
Akan tetapi, kalau pada akhirnya sama sekali tidak ada sikap yang diputuskan oleh Jokowi, ia tidak hanya merusak tradisi pemerintahan anti rangkap jabatan yang dicetuskan dirinya sendiri bersama wakilnya, Jusuf Kalla sejak 2014, tetapi juga mencoreng nama dan sangat berpotensi mengancam elektabilitasnya pada 2019 nanti.Â
Inkonsistensi Joko Widodo terhadap kebijakannya sendiri ini tentu menjadi celah yang sangat terbuka bagi siapapun lawan politiknya yang ingin merebut kursi kepala negara.Â
Selain itu jika ada rangkap jabatan Menteri dengan posisi kepengurusan di partai politik juga rawan terjadi konflik kepentingan dalam penyelenggaraan negara. Akhirnya, rakyat menganggap adanya campur tangan partai politik tertentu dalam berjalannya pemerintahan eksekutif Republik Indonesia.
Partai Golongan Karya sendiri tentu juga tidak mau main-main soal ini, seperti lazimnya partai politik, mereka juga punya kepentingan politik tersendiri. Kita sama-sama tahu jika pada Pemilihan Presiden 2014, Golkar yang saat itu masih dipimpin oleh Aburizal Bakrie memilih jalannya sendiri untuk bergabung bersama Koalisi Merah Putih (KMP) mendukung Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.Â
Tiba-tiba pada medio Mei 2016, sesaat setalah Setya Novanto terpilih menjadi Ketua Umum dalam Munaslub di Bali sikap partai warna kuning ini berubah 180 derajat dengan menyatakan sikap untuk mendukung sekaligus mengusung Joko Widodo sebagai Calon Presiden 2019. Dalam politik kawan bisa menjadi lawan dan sebaliknya, lawan pun bisa berubah menjadi kawan.
Pilihan Partai Golkar untuk mengalihkan dukungannya pada Joko Widodo tentu saja menimbulkan banyak Tanya. Tidak ada makan siang gratis, walaupun beberapa waktu lalu Idrus Marham ketika masih menjabat sebagai Pelaksana Tugas Ketua Umum saat terjadi peralihan dari Setya Novanto ke Airlangga Hartarto pernah kembali menegaskan bahwa sikap partainya untuk mendukung dan mengusung Joko Widodo sebagai Calon Presiden 2019 tetap final dan tanpa syarat.Â
Lain halnya dengan Idrus Marham, saya justru menilai ada kepentingan politik tersendiri yang diincar oleh Golkar. Kemungkinan pertama, karena Golkar ingin tetap mendapatkan jatah kursi Menteri di kabinet, baik itu pada masa jabatan Jokowi saat ini, maupun 2019 nanti jika terpilih kembali.Â
Kemungkinan lainnya, Partai Golongan Karya ingin mengulang memori manis ketika salah satu kadernya, Jusuf Kalla menjadi Wakil Presiden pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009). Sehingga saat Pemilu 2019 nanti Golkar kembali bisa menempatkan salah satu kadernya untuk mendampingi Joko Widodo.