Mohon tunggu...
Luthfy Avian Ananda
Luthfy Avian Ananda Mohon Tunggu... Penulis - Kuli Tinta

Pernah belajar di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

PSSI Jangan Abai Soal Rangkap Jabatan Ketua Umum

14 Desember 2017   01:53 Diperbarui: 14 Desember 2017   16:26 5969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: www.republika.co.id

Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) sebagai sebuah induk organisasi olahraga yang punya nama besar di Indonesia, selama berdiri hingga saat ini cukup memegang peranan penting dalam menjaga gengsi identitas nasional di mata dunia melalui prestasi sepak bola kita yang di masa lampau pernah mendapat julukan gagah, "Macan Asia". 

Berganti tampuk pimpinan dan struktur organisasi, berganti pula nasibnya, pernah jatuh akibat minim prestasi hingga harus menanggung buah dari sanksi FIFA sebagai induk sepak bola dunia, dan juga bangun ketika 11 pemuda U-19 mengguncangkan dunia dengan menjadi jagoan di Piala AFF 2013 bagaikan oase di padang pasir setelah sekian lama melihat sang Garuda tertidur pernah kita saksikan dari masa ke masa.

Tanggal 13 Mei 2016 menjadi hari bahagia bagi kita semua pecinta si kulit bundar tanah air, karena pada tanggal tersebut FIFA memberikan kepastian bahwa seluruh mata rakyat Indonesia kembali akan dimanjakan dengan tontonan gocekan kaki-kaki lincah khas pemain nasional Indonesia beraksi di lapangan hijau. Berdasarkan hasil Kongres di Meksiko, federasi sepak bola dunia itu akhirnya resmi mencabut sanksi pembekuan yang diberikan kepada PSSI sejak 30 Mei 2015 akibat adanya statuta yang dilanggar terkait intervensi dari Pemerintah Republik Indonesia.

Tepat enam bulan seusai terbebas dari sanksi, PSSI langsung mengadakan Kongres yang sekaligus mengagendakan pemilihan Ketua Umum. Hasilnya, Pangkostrad Letjen Edy Rahmayadi terpilih untuk menahkodai induk organisasi sepakbola Indonesia ini untuk masa jabatan 2016-2020.

Sang Jenderal tidak bisa berleha-leha setelah mendapatkan amanah baru, karena pada saat itu beliau harus segera mempersiapkan tim nasional senior untuk tampil di ajang AFF Suzuki Cup yang berlangsung di Myanmar dan Filipina pada 19 November-17 Desember 2016. Mungkin banyak yang tidak cukup punya nyali untuk memberikan harapan tinggi kepada tim nasional saat itu yang baru saja bangun dari mati surinya, karena satu tahun vakum dari seluruh ajang sepak bola nasional maupun internasional bukanlah waktu yang sebentar. 

Tetapi siapa sangka, armada Luis Milla Aspas mampu berbicara banyak dan menyabet gelar runner up, kita hanya kalah dari macan Asia Tenggara saat ini, Thailand yang mampu duduk di singgasana juara. Namun, Boaz dan kawan-kawan berhasil menyingkirkan perlawanan tim lain yang secara persiapan dan peringkat di atas kertas ada di atas pasukan merah putih seperti Myanmar dan tuan rumah Filipina.

Tidak ada yang meragukan kapasitas seorang Edy Rahmayadi, apalagi dengan statusnya yang sampai saat ini masih menjadi anggota TNI aktif sekaligus memegang jabatan strategis. Jiwa korsa dan rasa cinta Negara Kesatuan Republik Indonesia diyakini akan menularkan energi positif terhadap semangat reformasi yang digelorakan dalam tubuh PSSI demi kemajuan sepakbola Indonesia. 

Meskipun tropi belum juga di bawa pulang, tetapi kita sudah dihadapkan pada sesuatu yang baru seperti liga baru, regulasi baru, struktur organisasi baru dalam PSSI, potensi baru tim nasional yang lahir dari Sabang sampai Merauke, sekarang tinggal kita tunggu sebuah prestasi baru yang akan melengkapi kekaguman kita pada sosok sang penyelamat, Edy Rahmayadi.

Saya pun demikian, awalnya ragu apakah PSSI benar-benar akan mendapatkan sosok pemimpin yang tidak hanya punya kompetensi untuk mengurus sepakbola Indonesia, tetapi juga mencintai olahraga si kulit bundar ini. Karena seperti yang sudah-sudah, federasi yang didirikan oleh Soeratin Sosrosoegondo ini sering berganti-ganti pemimpin, namun mungkin kebanyakan dari mereka tidak benar-benar punya minat yang tinggi terhadap sepakbola, akibatnya pola pengelolaan yang dijalankan pun tidak sepenuh hati dan terkesan menjadi ajang mencari keuntungan atau panggung semata.

Pada periode 2004 hingga 2011 Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia pernah dipimpin oleh Nurdin Halid. Sosok pria tinggi besar itu terhitung cukup lama menjabat sebagai Ketua Umum. Namun tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa yang dibutuhkan oleh sepakbola Indonesia bukanlah kuantitas, melainkan kualitas dari seorang leader. 

Apalagi saat itu beliau selain menjabat sebagai petinggi di induk organisasi sepepakbola Indonesia, juga masih aktif di kepengurusan partai Golongan Karya (Golkar) karena memang background-nya adalah seorang politisi. Ironisnya, menjelang akhir masa jabatan sebagai Ketua Umum PSSI masuk bui akibat tersandung masalah penyelundupan gula impor illegal sebesar 73 ribu ton dan kasus pelanggaran kepabeanan impor beras dari Vietnam. Walaupun demikian pria kelahiran Watampone, Sulawesi Selatan ini tak bergeming dan tetap menjalankan roda organisasi PSSI dari dalam jeruji besi. Ia akhirnya digantikan oleh Djohar Arifin Husin pada 2011.

Saat itu prestasi tim nasional Indonesia di bawah komando Nurdin Halid juga bisa dikatakan cukup mengecewakan. Cristian Gonzales dan kawan-kawan hanya mencapai babak final Piala AFF 2010 dan pulang dengan tangan hampa karena dikalahkan oleh Harimau Malaya, Malaysia. Padahal Indonesia bertindak sebagai tuan rumah turnamen dua tahunan Asia Tenggara tersebut. 

Berkaca dari pengalaman, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa cabang olahraga apapun termasuk dalam bahasan ini adalah sepak bola butuh penanganan yang sepenuh hati. Jika sampai detik ini saja masih ada pengurus yang rangkap jabatan atau mempunyai kesibukan aktif lainnya di luar cabang si kulit bundar, maka jangan harap kita akan memetik buah prestasi. 

Menurut saya, ketika pemerintah pusat ikut campur tangan berusaha untuk memperbaiki roda organisasi di Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia ke arah yang lebih baik bukanlah sebuah intervensi yang harus dipersoalkan secara berlebihan karena memang punya tujuan yang bagus. Justru di saat banyak orang dalam di tubuh PSSI yang mencampuradukkan urusan bola dengan lainnya, itulah intervensi sesungguhnya yang harus segera kita enyahkan.

Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Moeldoko yang juga pernah mencalonkan diri menjadi Ketua Umum PSSI angkat bicara soal pendapatnya mengenai rangkap jabatan ini. Menurutnya, pemimpin induk sepakbola nasional seharusnya hanya fokus pada satu pekerjaan saja. "Ini perlu diluruskan dari pandangan saya tidak boleh mengolah PSSI dengan serabutan. 

Karena saat ini PSSI dalam kondisi yang kritis. Saya pikir aturan dalam negeri harus dibenahi," kata Moeldoko. Pendapat beliau didukung pula dengan regulasi yang sudah berlaku. Berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Dasar Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, tertulis bahwa pengurus komite olahraga nasional, komite olahraga provinsi, dan komite olahraga kabupaten/kota bersifat mandiri dan tidak terikat dengan kegiatan jabatan struktural dan jabatan publik.

Peraturan di atas juga semakin dipertegas lagi dengan adanya Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 800/148/sj 2012 yang berbunyi Kepala Daerah tingkat I dan II, pejabat publik, wakil rakyat, hingga Pegawai Negeri Sipil (PNS), dilarang rangkap jabatan dalam organisasi olahraga, seperti KONI dan PSSI, serta kepengurusan klub sepakbola professional maupun amatir.

Tekad Ketua Umum PSSI aktif saat ini, Edy Rahmayadi, yang sudah bulat untuk mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Sumatera Utara pada Pemilihan Kepala Daerah sertentak 2018 yang akan datang membuat rawan terjadinya kegaduhan baru di dunia yang pernah membesarkan nama-nama semacam Bambang Pamungkas, Widodo Cahyono Putro, dan Firman Utina tersebut. 

Karena jika pada Pemilihan Umum nanti sang Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat itu berhasil terpilih menjadi Gubernur dan tetap mempertahankan posisi sebagai pejabat PSSI maka beliau dipastikan menabrak regulasi yang tertuang dalam SE Mendagri Nomor 800/148/sj 2012 yang sudah saya paparkan di atas. Apalagi jika melihat kondisi sekarang ini tidak ada sedikitpun indikasi bahwa Edy Rahmayadi akan beritikad baik untuk mengundurkan diri dari kursi Ketua Umum.

Keadaan ini menjadi sebuah dilema besar bagi PSSI, setelah terbebas dari sanksi FIFA satu tahun yang lalu, sepak bola kita sedang menjalani masa transisi untuk kembali merajut prestasi yang sudah terlalu lama hanya menjadi angan-angan belaka. Sejujurnya mungkin sepak bola kita sudah terlanjur nyaman dengan pola kepemimpinan yang ditularkan oleh Pak Edy, namun kalau kenyataannya demikian dan terus dilanjutkan, untuk apa kita menghabiskan suara mengaku sebagai negara hukum jika akhirnya bangsa kita sendiri yang gemar melanggar regulasi yang sudah berlaku. 

Saya mengkhawatirkan jika Ketua Umum saat ini terus bersikukuh mempertahankan posisinya setelah terpilih menjadi Kepala Daerah, pemerintah pusat akan kembali turun tangan dan FIFA lagi-lagi menganggap hal ini sebagai sebuah intervensi yang juga melanggar statuta, maka jatuhlah sanksi untuk Indonesia.

Mencalonkan diri menjadi Gubernur itu adalah sebuah hak politik setiap warga negara dan tentu secara konstitusi dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Kita sebagai manusia tentu juga harus menghormati hak asasi tersebut termasuk sikap Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi yang saya bahas dalam artikel ini. Namun, demi mempertahankan misi untuk menyelamatkan kondisi sepak bola nasional saya berharap jika alangkah baiknya beliau segera mengambil keputusan untuk mengundurkan diri secara terhormat dari tonggak kepemimpinan di PSSI jika nanti mendapat kepercayaan dari warga Sumatera Utara menjadi Gubernur.  

Kalau memang pada akhirnya yang terjadi demikian, berarti Provinsi Sumatera Utara lebih membutuhkan beliau dan PSSI secepatnya wajib mencari pengganti yang hanya fokus pada satu tujuan, mengembalikan Indonesia menjadi macan Asia dan dunia.

Sebagian besar pecinta sepak bola tanah air pasti sudah lapar menyaksikan tim nasional Berjaya di berbagai event kejuaraan internasional. Kita semua sudah terlalu bosan dengan drama kegaduhan mencari panggung dengan modus menyelamatkan sepakbola nasional yang ditunjukkan oleh para pesohor negeri ini. Harapan saya dan mungkin mewakili suporter nasional, jatuhnya sanksi FIFA satu tahun yang lalu adalah stimulus bagi Garuda untuk mengepakkan sayap besarnya di alam semesta. Salam olahraga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun