Sepanjang tujuh bulan tenaga dan pikiran masyarakat disita oleh peliknya kotestasi Pilkada di etalase Indonesia, DKI Jakarta. Pemilihan Gubernur tanah Betawi tersebut diselenggarakan bersamaan dengan sekitar seratus daerah lainnya di penjuru tanah air. Kemarin, tepat pada 19 April 2017 akhirnya pertarungan politik yang cukup sengit sepanjang lebih dari setengah tahun itu menemui ujungnya. Meskipun segala sesuatunya masih harus menanti keputusan resmi dari Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) DKI Jakarta, namun seperti pengalaman yang sudah-sudah, hasil quick count yang digelar oleh beberapa lembaga survei terpercaya sangan akurat dan tidak akan berbeda jauh dengan apa yang akan diumumkan oleh KPU.
Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sudah sepantasnya diberikan ucapan selamat datang dan selamat bekerja oleh warga DKI Jakarta yang akan segera mempunyai pemimpin baru menggantikan Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok ) dan Djarot Saiful Hidayat. Mengutip hasil hitung cepat lembaga survey Indonesia ( LSI ) menunjukkan Anies-Sandi unggul mutlak dengan mengantongi suara sekitar 55,41%, sedangkan Ahok-Djarot 44,59%. Sejujurnya, selain rasa penasaran akan seperti apa hasil pemilihan gubernur DKI Jakarta, hal lain yang menarik untuk ditunggu adalah sikap antar kompetitor satu dengan yang lainnya.
Kita semua tentu tahu, bahwa dua pasang finalis pemilihan umum DKI Jakarta tahun ini termasuk putera terbaik bangsa. Saking sengitnya, sehingga terkesan bak pertarungan el classicoantara Real Madrid vs Barcelona di Spanyol dalam pertandingan sepakbola. Pemilukada DKI Jakarta ini sempat dikhawatirkan akan memecah belah persatuan bangsa, mengingat sepanjang perjalanannya banyak isu yang dihembuskan sebagai strategi untuk saling mengalahkan lawan masing-masing. Mulai dari isu korupsi, hingga yang sensitif yaitu menyangkut Suku, Agama, dan Ras ( SARA ). Bahkan yang paling mengkhawatirkan adalah, jika pemerintah dan aparat keamanan gagal mengkontrol pesta demokrasi di ibukota negara, maka Indonesia, khususnya Jakarta digadang-gadang akan bernasib seperti negara timur tengah yang perang saudara akibat perebutan kekuasaan dan konflik agama. Padahal kita semua tahu sejak dahulu, dengan adanya prinsip Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang menghargai adanya perbedaan.
Beribu ketakutan yang berkecamuk di dalam pikiran itu akhirnya tidak terbukti juga, hingga selesai pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara ( TPS ) Pemilihan Gubernur DKI Jakarta putaran ke 2 ini tampak berjalan dengan sangat kondusif, aparat keamanan yang terdiri dari TNI dan POLRI terlihat mampu menjawab ketakutan publik dengan kinerja pengamanan yang sangat maksimal sehingga keadaan tetap aman terkendali hingga pemilihan umum selesai digelar. Keadaan yang aman dan damai itu semakin dipercantik dengan sikap ksatria dan kenegarawanan yang diperlihatkan oleh dua pasang Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang bertanding.
Terlihat, sesaat setelah hasil hitung cepat keluar, masing-masing pihak bersama tim suksesnya langsung menggelar konferensi pers. Anies-Sandi yang sudah percaya diri akan menang menyatakan dengan tegas akan tetap berkomunikasi dengan petahana dan melanjutkan program-programnya yang baik. Di sisi lain, meskipun terlihat diliputi kekecewaan yang sangat mendalam, Basuki Tjahaja Purnama bersama Djarot Saiful Hidayat dengan legowo mengucapkan selamat kepada Anies-Sandi, bahkan secara khusus Ahok, begitu sapaan akrab Basuki Tjahaja Purnama mengatakan bahwa kekuasaan dan jabatan itu hanya milik Tuhan, maka suatu saat juga bisa diambil.
Diluar drama hasil akhir pilkada DKI Jakarta yang terlihat happy ending tanpa konflik apapun, saya lebih tertarik untuk menyoroti tentang kiprah selanjutnya yang akan dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama di kancah politik nasional. Jika melihat berdasarkan wawancara beberapa stasiun televisi dan media cetak, beliau sudah siap kalah jika memang kehendak tuhan tidak mengijinkannya lagi menjabat sebagai Gubernur. Selanjutnya Ahok juga sempat menyatakan tidak takut kehilangan pekerjaan karena di luar sudah cukup banyak perusahaan yang menawarinya untuk menjadi CEO tanpa menyebut nama perusahaan yang dimaksud.
Karakter seorang Basuki Tjahaja Purnama berbeda dengan politisi yang lain, sejauh pengamatan saya selama melibatkan diri dalam dunia politik, sosok pria yang tegas ini bukan tipikal politisi yang ambisius untuk mengejar suatu kekuasaan maupun jabatan tertentu. Bakat alamnya yang terlihat sudah memiliki potensi untuk menjadi pemimpin adalah salah satu bekal yang membuatnya tidak takut kehilangan apapun termasuk jabatan. Meskipun mungkin sepanjang memimpin DKI Jakarta juga ada beberapa point kekurangan yang harus menjadi evaluasi tersendiri bagi dirinya agar ke depan lebih baik dalam mengabdi kepada rakyat. Misalnya, masalah komunikasi berkaitan dengan gaya bicaranya yang menjurus kasar mungkin akan lebih baik jika diperhalus tanpa mengurangi tujuan ketegasan dan keberanian dia dalam bertindak.
Hasil hitung cepat sudah keluar, dan kalaupun hasil hitung manual versi KPU juga akan memutuskan bahwa dirinya harus angkat kaki dari Balaikota, maka sejatinya bukan suatu masalah besar bagi seorang Ahok. Yang menjadi masalah terbesar adalah tentang adaptasi warga DKI Jakarta terhadap pemimpin baru yang akan menjabat. Tanpa mengurangi kepercayaan saya terhadap Calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih, tetapi transisi pemerintahan di Republik Indonesia cenderung membuat sejumlah kebijakan publik berjalan secara tidak konsisten. Suatu contoh, beberapa program yang sudah dijalankan oleh Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat dan cukup dirasakan manfaatnya oleh rakyat Jakarta apakah benar-benar bisa dijamin akan tetap dilanjutkan oleh Kepala Daerah yang baru? Tentu hanya waktu yang bisa menjawab.
Pilihannya hanya tiga, pertama, jika program-program unggulan itu tetap dilanjutkan, maka tidak akan ada yang dirugikan, kedua, jika program itu dihilangkan kemudian diganti dengan program baru dan lebih terbukti bermanfaat bagi warga, tentu semakin sejahtera, tapi yang terakhir ini jangan sampai terjadi, di mana suatu kebijakan yang sudah pro rakyat kemudian dihapus atau diganti dengan program lain tetapi tidak berpihak kepada masyarakat DKI.
Tidak banyak orang yang bisa menebak arah selanjutnya dari perjalanan seorang Basuki Tjahaja Purnama. Dengan segala nilai plus yang dia miliki setelah mampu menerapkan standar tinggi pemerintahan di ibukota Provinsi sekelas DKI Jakarta, tentu akan ada banyak pihak yang “mengincar”. Karakternya yang jauh dari kesan politisi ambisius seperti kebanyakan yang beredar di Indonesia, maka saya akan terlebih dahulu mengesampingkan kemungkinan seorang Basuki Tjahaja Purnama menjadi kutu loncat untuk mencalonkan diri menjadi kepala daeerah lain seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, atau Jawa Barat yang tahun depan akan menggelar pilkada serentak.
Kedekatan putera Belitung dengan Presiden Joko Widodo tentu bukan suatu rahasia yang bisa ditutup-tutupi lagi. Mereka berdua pernah menjadi duet maut pada saat Pemilu Gubernur DKI Jakarta tahun 2012, sebelum akhirnya Joko Widodo dipercaya rakyat Indonesia untuk menjadi Presiden pada 2014. Perpisahan itu tak membuat hubungan mereka renggang, karena pada saat diusung oleh PDIP menjadi Calon Presiden, Joko Widodo menegaskan jika terpilih, maka tugasnya untuk menata Jakarta akan dilanjutkan, karena dengan menjadi kepala negara beliau bisa lebih mudah mengatur ibukota dan daerah-daerah lainnya di seluruh Indonesia.
Beberapa kali, dua tokoh nasional ini terlihat berbincang akrab seperti saat bersama-sama meninjau proyek MRT dan LRT di Jakarta. Hubungan erat ini bisa menjadi salah satu kunci jawaban tentang kemungkinan pelabuhan selanjutnya seorang Ahok. Kita semua tahu, sebagai presiden tentu Joko Widodo punya hak prerogatif untuk menunjuk pejabat penting negara, seperti Menteri, Kapolri, Panglima TNI, dan lain sebagainya. Dengan kenyataan itu, maka sangat mungkin jika ada reshuffle kabinet lagi, nama Basuki Tjahaja Purnama masuk sebagai salah satu kandidiat bursa menteri yang akan diangkat oleh Presiden Republik Indonesia.
lantas posisi apa yang cocok bagi beliau? Dari sekian banyak posisi, saya lebih suka menempatkan Ahok sebagai menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Hal itu karena pengalamannya mampu merombak sistem birokrasi di Jakarta yang terkenal lamban dan rawan pungli dalam hal pelayanan kepada masyarakat menjadi birokrasi yang bersih dan tanggap. Atau mungkin, ada jabatan menteri lainnya yang menurut Presiden Joko Widodo cocok untuk seorang Ahok, tentu semua keputusan kembali pada tangan kepala negara.
Selain memprediksi bahwa Ahok berpotensi untuk diangkat menjadi menteri di kabinet saat ini, saya juga punya analisis yang lebih gila lagi. Bagi pembaca yang pernah membaca tulisan saya sebelumnya berjudul “Menebak Arah Manuver PDIP dalam Pilkada DKI Jakarta 2017”tentu tahu, bahwa disitu saya menuliskan tentang arah strategi politik PDIP di tingkat nasional. Siapa yang bisa menebak bahwa tujuan memindahkan Joko Widodo dari Walikota Solo menjadi Gubernur di DKI Jakarta adalah untuk mempersiapkannya memimpin Indonesia dengan jabatan Presiden. Bisa jadi perlakuan sama akan diterapkan terhadap Ahok.
Kontestasi Pemilihan Presiden masih berjarak dua tahun lagi dari sekarang, memang terasa sangat prematur apabila pembicaraan ini sudah menjadi topik hangat sekarang. Tetapi, karena gaungnya yang cukup kencang, pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta dianggap oleh beberapa pengamat politik sebagai jalan awal untuk pemanasan menuju pertarungan sesungguhnya, yaitu Pilpres. Secara pembawaan, Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama memang adalah dua pribadi yang berbeda. Di satu sisi Jokowi santun dalam berkomunikasi dan terkesan kalem, sedangkan Ahok lebih berapi-api bahkan terkadang keluar kasarnya. Namun, ada titik kesamaan antara dua tokoh tersebut, yaitu mereka sama-sama gemar bekerja cepat dan tanggap untuk kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya. Bukti itu sudah sama-sama kita lihat sepanjang dua tahun mereka bekerja sama bahu membahu menata DKI Jakarta.
Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri tentu tidak akan membiarkan adanya kesempatan dalam kesempitan, di mana seorang Basuki Tjahaja Purnama yang sebentar lagi akan “menganggur”, maka cukup banyak pos-pos strategis yang bisa dimanfaatkan untuk memberi kesempatan kepada Ahok. Di tambah lagi dengan kondisi Jusuf Kalla yang sudah tidak pada usia produktif, maka saya ragu apabila 2019 mendatang beliau kembali diusung untuk ikut Pemilihan Presiden mendampingi Joko Widodo. Maka, Kemungkinan lainnya adalah, rentang waktu 2017-2019 ini akan berusaha sebaik mungkin dimanfaatkan oleh PDIP dan koalisi lainnya untuk mempersiapkan kembali duet anak hilang antara Calon Presiden 2019 Joko Widodo dan Calon Wakil Presiden 2019 Basuki Tjahaja Purnama. Saya yakin, para pihak yang terlibat tidak ingin membuang kesempatan itu demi mengulang kenangan emas pada 2012 yang lalu.
Apapun posisi, jabatan dan karir politik yang akan dituju oleh Basuki Tjahaja Purnama bukanlah hal yang penting. Karena, semua yang ada dalam tulisan ini hanyalah analisis semata dari seorang warga biasa yang bangga karena masih adanya tokoh nasional yang mampu memanjangkan tangannya dan menyingsingkan lengannya untuk menjangkau rakyat kecil. Dengan segala potensi yang dimiliki dan standar tingginya sebagai seorang pemimpin, saya harap beliau sadar, bahwa pengabdiannya untuk bangsa ini belum selesai. Untuk sekarang di DKI Jakarta, paling tidak masih ada waktu enam bulan lagi hingga Oktober 2017 yang bisa dimanfaatkan untuk semakin maksimal melayani rakyat, sebelum benar-benar pergi mencari ladang pengabdian yang baru. Belum selesai, Ahok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H