Dikenal dengan sebutan partai “injury time” karena setiap pengambilan keputusan yang bersifat maha penting tidak membuat partai dengan ciri khas warna merah dan logo banteng ini merubah tabiatnya yang selalu membuat siapapun selalu penasaran baik itu masyarakat, lawan politik, atau bahkan kader internal partai itu sendiri.
Sudah berkali-kali kendaraan politik yang saat ini dinahkodai oleh Megawati Soekarnoputri itu mengeluarkan berbagai macam keputusan mengejutkan yang dilakukan pada menit-menit terakhir. Pada akhirnya setelah keluarnya suatu keputusan besar dan penting tersebut hamper tidak ada satu orangpun yang sudah mencuri start untuk menebak, karena adanya hak prerogatif dari ketua umum yang bersifat mutlak, sehingga hanya Megawati yang tahu keputusan terbaik seperti apa yang akan ia ambil untuk kepentingan partainya.
Terpilihnya Joko Widodo untuk maju sebagai calon Presiden Republik Indonesia yang akan diusung oleh PDIP pada 2014 yang lalu cukup menyita perhatian banyak pihak, ada beberapa alasan untuk menjawab hal tersebut. Pertama, Joko Widodo baru 2 tahun menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta yang pada 2012 terpilih bersama wakilnya Basuki Tjahaja Purnama. Kedua, kali ini Megawati melakukan hal yang tak biasa dengan mengajukan “pion” yang berasal dari kader partai untuk maju di kontestasi politik tertinggi di tanah air, yakni pemilihan presiden. Karena seperti yang sudah-sudah, pada pemilihan presiden sebelumnya puteri dari Soekarno ini selalu berhasrat untuk menjadi RI 1 namun selalu gagal, maka sangat mengherankan apabila pada 2014 rasa penasaran dari Ketua Umum PDIP tersebut untuk merebut kursi Presiden tiba-tiba hilang begitu saja.
Seiring berjalannya waktu, jawaban atas rasa penasaran kita semua tentang mengapa Megawati mengajukan “orang baru” untuk bersaing mendapatkan posisi Presiden Republik Indonesia mulai terjawab. Menilik dari pengalaman strategi gambling yang dilakukan oleh PDIP pada saat pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta di tahun 2012, maka itu menjadi jawaban yang cukup masuk akal.
Saat ditarik oleh PDIP menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta kala itu, usia Joko Widodo dalam memimpin Solo sebagai Walikota belum genap 2 tahun, kala itu belum cukup banyak orang yang mengenal beliau kecuai sebagai Kepala Daerah yang cukup berhasil membangun Solo. Perjudian mulai dilakukan, tidak tanggung-tanggung, sosok yang juga menggeluti usaha di bidang mebel ini “dipaksa” oleh partainya sendiri untuk bertarung dengan petahana saat itu, Fauzi Bowo yang notabene sudah mempunyai basis pendukung cukup banyak di Ibukota. Hasil akhir yang terjadi sangat mengejutkan, sebuah pencapaian sensasional dari strategi yang diterapkan oleh PDIP, Joko Widodo & Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok memimpin DKI Jakarta 2012-2017
Menghadapi peta persaingan di Pilkada serentak pada 2017 nanti membuat PDIP harus kerja ekstra keras kembali menyiapkan strategi paling ampuh untuk memenangkannya. Khusus di DKI Jakarta, saya melihat dinamika politik yang terjadi mulai dari proses penjaringan calon hingga penentuan pasangan yang akan diusung cukup mencerminkan wajah politik yang sebenarnya. Siapa mengira Ahok kembali mesra dengan PDIP setelah sebelumnya dua pihak tersebut terlihat bersiap untuk melakukan pertarungan politik yang cukup sengit pada Pilkada nanti. Pada awalnya petahana yang menggantikan posisi tandemnya,
Joko Widodo tersebut jual mahal dengan mengatakan memilih untuk maju melalui jalur independen menggunakan kendaraan bernama “Teman Ahok”. Kemudian, setelah 1 juta KTP Pemilih sebagai syarat verifikasi yang ditentukan oleh KPU dikumpulkan, justru mantan kader Gerindra ini “membelot” untuk bergabung ikut kendaraan partai politik dengan alasan sudah adanya kesepakatan antara Teman Ahok dan partai politik yang akan mengusungnya untuk saling bekerja sama memenangkan mantan anggota DPR RI ini.
Sebagian besar masyarakat cukup kecewa dengan tingkah polah yang ditunjukkan oleh Ahok termasuk PDIP partai yang sejak awal berniat untuk mengusungnya apabila sang Gubernur mau untuk ikut mekanisme penjaringan yang diselenggarakan oleh internal partai demi mendapatkan sosok terbaik yang akan diajukan menjadi calon Gubernur DKI Jakarta 2017.
Kekecewaan PDIP tersebut cukup beralasan, karena para kader internal partai menilai apa yang dilakukan oleh Ahok sangat tidak konsisten, hingga kemudian muncul jargon dari kader partai yang berbunyi “ahok pasti tumbang.” Berdasarkan sikap yang seperti itu, PDIP bahkan diisukan sempat melirik beberapa tokoh lain yang dirasa cukup ampuh untuk membunuh peluang petahana menang di Pilgub DKI Jakarta 2017. Nama – nama seperti Ridwan Kamil ( Walikota Bandung ), Tri Rismaharini ( Walikota Surabaya ), dan Ganjar Pranowo ( Gubernur Jawa Tengah ) adalah yang paling santer dikaitkan untuk mengisi kursi calon DKI 1 dari PDIP yang masih kosong.
Entah karena kurang percaya diri atau memang menganggap bahwa Basuki Tjahaja Purnama lah satu-satunya tokoh terbaik di luar kader partai yang dianggap cukup mampu untuk “diadu” dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta nanti, akhirnya pilihan ibu Megawati tetap jatuh kepada sang petahana tersebut dengan didampingi oleh wakilnya saat ini Djarot Saiful Hidayat.
Jadi sekarang kita sebagai masyarakat sudah sama-sama mengetahui, bahwa dalam dunia politik, khususnya di tanah air, mereka yang menilai orang lain inkonsisten itu belum tentu juga konsisten dalam mengambil keputusan. Seperti biasa, keputusan akhir yang diambil oleh PDIP berdasarkan restu dari Megawati Soekarnoputri selalu mengejutkan semua orang, kemudian banyak yang menerka-nerka strategi jitu macam apalagi yang akan dijalankan oleh partai tersebut, pada point inilah saya akan memberikan sedikit tebakan dan analisis saya sebagai seorang penulis.
Kita semua tahu bahwa Megawati Soekarnoputri sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam struktur Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan adalah seorang petarung yang cukup gigih untuk merebut kursi kekuasaan, karena memang politik itu tidak pernah hidup secara terpisah dengan kekuasaan.
Misinya untuk mendulang suara terbanyak hingga PDIP mampu menjadi jawara dalam Pemilihan Legislatif pada 2014 yang lalu bisa kita jadikan sebagai dasar untu menebak arah manuver politik mereka saat ini. Menurut pandangan saya, PDIP berusaha untuk mengerti keinginan masyarakat terlebih dahulu, kemudian mereka berharap rakyat akan memberikan timbal balik berupa pemberian suara untuk partai berlogo banteng moncong putih tersebut. Di 2014 karakter yang ditampilkan oleh Joko Widodo adalah sosok pemimpin muda yang santun, merakyat, apa adanya, dan cukup sukses membangun daerah yang akan dipimpinnya, dan rakyat DKI sedang butuh sosok yang seperti itu.
Karena DKI Jakarta mnerupakan cerminan Indonesia pada umumnya, maka diajukanlah nama Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2012 hingga akhirnya terpilih. Pada perjalanan dalam menjadi Gubernur, sebenarnya PDIP sendiri masih dalam proses gambling jika menggunakan strategi tersebut untuk memenangkan Pemilu pada 2014, namun sepertinya mereka merasa bahwa itu adalah keputusan yang sangat benar karena keberadan Joko Widodo selama 2 tahun di Ibukota mungkin cukup memuaskan rakyat dengan gagasan-gagasan barunya seperti proyek MRT, dan strategi penanggulangan banjir yang belum pernah dijalankan oleh Gubernur-Gubernur sebelumnya.
Kemudian PDIP merasa bahwa Jokowi lah yang sebenarnya dikehendaki bukan saja oleh rakyat DKI Jakarta, tetapi juga Indonesia hingga beliau benar-benar terpilih menjadi Presiden RI ke 7 bersama Jusuf Kalla. Muara dari semua itu tentu saja hasil akhir pada Pemilihan Legislatif 2014, meskipun dilaksanakan sebelum Pemilihan Presiden tetapi paling tidak publik sudah tahu bahwa PDIP akan menuruti kemauan mereka dengan menempatkan Joko Widodo sebagai salah satu kandidat calon Presiden saat itu.
Strategi pada 2012 dan 2014 bisa saja kembali akan diterapkan oleh PDIP dalam kontestasi Pilkada tahun depan, karena sejauh ini scenario yang dijalankan hampir sama, bedanya saat ini Ahok sudah berstatus sebagai petahana. Berdasarkan beberapa hasil survey dari sejumlah lembaga survey terkemuka hingga tulisan ini saya upload, menempatkan posisi Ahok dalam deretan paling atas Calon Kepala Daerah yang akan terpilih di DKI Jakarta. Diluar perilaku sang petahana yang cukup kontroversial dan tidak jarang juga menimbulkan dinamika baru, tetapi harus diakui bahwa rakyat DKI masih menginginkan dia untuk menjabat sebagai Gubernur satu periode lagi. Namun, dibalik semua ini saya menduga Ahok tidak benar-benar dipersiapkan untuk kursi DKI 1, justru Djarot Saiful Hidayat adalah calon Gubernur yang sesungguhnya.
Lantas kalau skenarionya demikian, dimanakah posisi Ahok ? ya, seperti strategi 2014, Ahok dipersiapkan untuk menjadi Wakil Presiden mendampingi Joko Widodo atau yang lebih gila lagi dialah calon Presiden yang akan diusung oleh PDIP pada 2019 yang akan datang. Karena sekali lagi prinsip PDIP selalu sama, berusaha untuk menuruti kemauan rakyat demi memenuhi tujuan mereka merebut kursi kekuasaan.
Karena biasanya kader atau calon kepala daerah yang cukup bagus dan diusung oleh suatu partai, maka perolehan suaranya dalam pemilu akan sejalan hasilnya dengan voting terhadap partai itu sendiri. Politik tetaplah politik, kita tidak pernah bisa menebak apa yang akan terjadi beberapa detik kedepan, analisis dalam tulisan saya ini bisa saja terjadi, namun bisa juga nihil, yang terpenting apapun yang terjadi dalam dunia politik, tidak selalu menempatkan partai dan pemimpin sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, tetapi juga rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H