Mohon tunggu...
Luthfy Avian Ananda
Luthfy Avian Ananda Mohon Tunggu... Penulis - Kuli Tinta

Pernah belajar di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Inggris yang Tidak Pernah Istimewa

17 Juni 2016   16:04 Diperbarui: 17 Juni 2016   16:11 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : img.bleacherreport.net

Perhelatan turnamen sepakbola berskala internasional selalu mengundang perhatian mata dunia untuk meluangkan waktu ikut larut dalam gegap gempitanya. Meskipun tidak harus terlibat dengan cara menyaksikan tiap pertandingan secara langsung, nampaknya penghuni semesta ini sudah cukup dimanjakan dengan kemajuan teknologi, masa di mana provider yang menyediakan jasa koneksi internet untuk live streaming dan stasiun televisi berlomba-lomba memberikan segala kemudahan yang diburu oleh para penggila bola. 

2016 tidak hanya menghadirkan bulan suci Ramadhan bagi para umat muslim di seluruh dunia, karena tahun ini juga menyajikan turnamen sepakbola Euro 2016 untuk mereka yang selalu memuja si kulit bundar dan menganggapnya sebagai agama ke dua. Kemeriahan Euro tidak hanya dirasakan di Negara Perancis yang notabene berstatus sebagai tuan rumah untuk gelaran tahun ini. Asia, Afrika, bahkan Amerika yang juga sedang menyelenggarakan event sepakbola besar berlabel Copa America Centenario 2016 yang diselenggarakan untuk memperingati 100 tahunnya pun ikut melebur bersama penghuni planet lainnya.

Berbicara mengenai sepakbola tentu akan sangat menarik, karena olahraga ini dikenal memiliki dinamika yang sangat tinggi baik di dalam maupun luar lapangan hijau. Karena apapun yang terjadi di luar lapangan hijau terkadang ikut berimbas pada pola permainan di dalam megahnya stadion yang menjadi panggunya para pesepakbola. Setiap turnamen selalu menghasilkan bintang baru yang berusia muda dan kemudian mejadi incaran para raksasa klub elit dunia saat bursa transfer pemain dibuka. 

Kita ingat Piala Dunia 2010 memunculkan beberapa rising star seperti Mesut Ozil, Sami Khedira, serta dua rival yang selalu bersaing sengit di atas lapangan, Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Selanjutnya, pada Euro 2012 lahir nama baru, sebut saja striker yang sempat menjadi pahlawan bagi Bayern Munich beberapa waktu lalu, Mario Mandzukic dari Kroasia, Karim Benzema, Perancis, dan Alan Dzagoef yang menjadi perbincangan hangat karena penampilan heroiknya saat membela negaranya Russia. Paul Pogba, Mario Gotze, dan Neymar menjadi generasi selanjutnya yang bersinar di panggung Piala Dunia 2014.

Fakta selalu lahirnya bintang-bintang baru dari turnamen sepakbola yang berskala besar di tingkat internasional selalu menjadi cerita menarik yang tidak pernah tamat, karena kelanjutan dari kisah itu akan terus menerus ditunggu oleh pala penggemar sejati. Bakat sepakbola seakan tidak pernah mati di dunia ini, selalu saja ada sosok baru yang meramaikan arena kompetisi, sekaligus membuat bingung para pemantau bakat dan presiden klub yang sedang mencari amunisi baru untuk mengisi kekuatan tim yang dibutuhkan. 

Karena dalam sepakbola, label baik dan bintang tidak selalu sejalan dengan nasib yang akan didapatkan, apalagi tatkala sang rising star tersebut memilih jalan yang salah untuk menggapai mimpi selanjutnya. Paul Pogba mungkin tidak akan pernah menjadi incaran Chelsea dan Real Madrid seperti sekarang jika ia masih memutuskan untuk bertahan di klub yang membinanya, Manchester United. Pilihan yang brilian dari sang gelandang untuk menerima pinangan Juventus dan kebodohan strategi transfer Manchester United yang kurang peka akan potensi emas dalam tubuh Pogba dengan melepasnya ke klub kota Turin tersebut secara gratis membuat pemain tengah Tim Nasional Perancis ini sekarang menjadi bintang yang paling diburu oleh deretan nama klub-klub elite.

Apa yang dilakukan oleh Manchester United terhadap bakat Paul Pogba sepertinya juga menular di level Tim Nasional Inggris yang saat ini tengah berjuang di babak Grup B Euro 2016 bersama Russia, Slovakia, dan saudaranya Wales. Jika melihat komposisi pemain dan suasana Liga Primer Inggris yang tidak pernah jauh dari gaya hidup glamor klub anggotanya dalam hal mendatangkan pemain bintang, nasib three lions sangat memprihatinkan, karena ia adalah salah satu negara besar kiblat sepakbola di dunia yang fakir prestasi. 

Tengok saja, prestasi terbaik mereka sepanjang masa yang selalu kita ingat adalah juara Piala Dunia 1966, sedangkan di turnamen Piala Eropa, tiga singa sama sekali belum merasakan manisnya merayakan juara di tengah lapangan. Berkali-kali bongkar pasang pelatih dan keluar masuknya pemain baru yang berganti generasi setiap masa tidak berpengaruh banyak bagi negara yang saat ini dibesut oleh arsitek kawakan Roy Hodgson tersebut. padahal, kita semua tahu negara dengan ibu kota London tersebut tidak pernah kehabisan panglima lapangan hijau yang namanya selalu tersohor di telinga dunia. Ada nama bek kiri bengal Stuart Pearce, kapten saat tiga singa menjuarai Piala Dunia 1966 Bobby Moore, gelandang serba bisa Bryan Robson, pencetak gol terbanyak Inggris sepanjang masa Bobby Charlton, Paul Gascoigne, dan striker yang saat ini lebih sering duduk di kursi komentator Gary Lineker.

Lihat saja nama besar yang dimiliki Inggris ternyata juga tidak menjamin impian prestasi yang berharap selalu bisa mereka dapatkan setiap mengikuti event turnamen besar. Setelah para legenda itu memutuskan untuk gantung sepatu dan memberikan kesempatan kepada pemuda lainnya, penerus mulai muncul dan tidak pernah berhenti mengisi lini demi lini di formasi timnas Inggris dari masa ke masa, kita mengenal sang pria berkharisma David Beckham, Wayne Rooney, Frank Lampard, dan John Terry. 

Banyak pengamat sepakbola yang menilai bahwa buruknya penampilan Inggris dalam setiap kompetisi adalah kesalahan pelatih. FA ( Football Association ) selaku induk organisasi sepakbola di Inggris menjadi pihak yang paling disalahkan karena dianggap gagal memilih pelatih yang tepat. Anggapan para pengamat tersebut tidak sama dengan apa yang akan saya kemukakan dalam artikel ini.

Dalam sejarahnya, Inggris selalu ditangani oleh pelatih berpengalaman seperti Sir Alf Ramsey saat menjuarai world cup, Ron Greenwood, Glenn Hoddle, Sven-Goran Eriksson, Steve McClaren, Fabio Capello, dan terakhir adalah Roy Hodgson. Melihat daftar nama besar yang pernah menangani Inggris membuat saya sulit membayangkan seluruh nahkoda itu mempunyai sebuah dosa yang sama berupa kesalahan dalam menerapkan strategi yang akhirnya membuat Inggris selalu pulang dengan tangan hampa dari turnamen besar. Pelatih tersebut juga didukung dengan komposisi pemain yang selalu berkualitas dan tentu tidak diragukan lagi. Sebagai penulis yang juga penggemar sepakbola, saya lebih sepakat apabila kegagalan timnas Inggris selama ini akibat dari sistem yang diterapkan oleh FA dalam kompetisi domestiknya.

Coba kita lihat beberapa tim yang lahir karena kekayaannya seperti Chelsea dan Manchester City, kedua klub tersebut lebih memilih untuk menghamburkan uang demi mendapatkan pemain bintang dari luar Inggris daripada menyisihkan sedikit anggaran untuk membangun sebuah akademi yang bertujuan untuk mencetak bintang muda masa depan Tim Nasional inggris dan klub itu sendiri. 

Jor-joran yang dilakukan oleh Chelsea dan Manchester City membuat tim peserta Liga Primer lainnya berburu orang asing selain untuk memenuhi kebutuhan tim, juga agar mampu bersaing secara maksimal di papan atas, jika tidak mengikuti gaya hidup Roman Abramovich ( Pemilik Chelsea ) dan Khaldoon Al Mubarak ( Pemilik manchester City ) jangan harap tim lainnya bisa ikut meramaikan persaingan gelar juara Liga Inggris.

Kabar buruknya, FA selaku induk sepakbola dan penyelenggara Barclays Premier League sampai saat ini masih mengamini strategi transfer klub anggotanya tanpa berpikir bahwa keadaan seperti itu akan semakin mematikan langkah Tim Nasional Inggris di level internasional. Memang benar bahwa Inggris adalah salah satu kiblat sepakbola, dan negara ini tidak pernah kekurangan pemain berbakat yang mengisi posisi di skuad tim nasional, namun bakat saja tidak cukup jika tidak didukung dengan jam terbang yang memadai di level kompetisi besar dan ketat. 

Kecuali tim kecil yang tidak memiliki dana berlimpah sehingga terpaksa harus menggunakan jasa pemain domestik untuk mengarungi liga, kompetisi tertinggi level klub di negeri ratu elizabeth tidak pernah memberikan keramahan berupa kesempatan bermain bagi bintang muda dalam negeri. Para pemain sepakbola domestiknya  juga terkesan tidak berani untuk menjajal peruntungan di luar Inggris. 

Saya bahkan hampir tidak mengingat siapa saja pesepakbola Inggris yang menjadi penghuni tim nasional, kemudian juga menjadi andalan di klub sepakbola luar Inggris, jumlahnya mungkin bisa dihitung dengan jari, seperti John Charles yang pernah sukses bersama Juventus dan Roma, Kevin Keegan ( Hamburg ), Gary Lineker ( Barcelona ), Steve McManaman ( Real Madrid dan AC Milan ), David Beckham ( Real Madrid ), Owen Hargreaves ( Bayern Munich ),  selanjutnya nama terakhir adalah Ashley Cole ( Roma ).

Mantan bek kiri Chelsea dan Inggris, Ashley Cole sesaat setelah kepindahannya menuju AS Roma pada 2014 yang lalu bahkan secara terang-terangan menyebut bahwa rekan-rekannya sesama pemain sepakbola terlalu takut untuk menjajal tantangan bermain di liga luar negeri karena kebanyakan pemain Inggris terlanjur menikmati zona nyaman di Britania Raya sehingga tidak punya cukup mental untuk mencicipi atmosfer kompetisi yang baru. "Mereka terlalu menikmati zona nyaman di Britania Raya, padahal, pindah ke luar negeri adalah kesempatan untuk belajar budaya, gaya hidup, dan bahasa baru," kata full back dengan 107 caps untuk Tim Nasional tersebut. 

mari kita bandingkan antara Inggris dengan Spanyol dan Jerman, kedua negara itu juga punya kuota pemain berkualitas yang selalu siap jika sewaktu-waktu dibutuhkan untuk berjuang bersama tim nasionalnya, hanya yang membedakan adalah Spanyol maupun Jerman mempunyai jumlah pemain lebih banyak yang diekspor untuk bermain di luar negara mereka, ironisnya, salah satu konsumen aktif yang doyan menggunakan jasa pemain matador dan der panzer adalah Inggris.

Striker asal Spanyol Fernando Torres membeberkan kunci sukses negaranya yang meraih piala eropa 2008, 2012, serta Piala Dunia 2010. Menurutnya, prestasi tim nasional Inggris akan lebih cemerlang jika semakin banyak pemain Inggris yang berani untuk bermain di luar negeri, torres menambahkan, banyaknya pemain Spanyol yang berkiprah dan sukses di luar adalah kunci keberhasilan negaranya dalam meraih berbagai gelar internasional selama ini. "Butuh waktu lama untuk mengekspor pemain. Kami pun sebelumnya takut akan sesuatu yang asing, Hal sama terjadi di Inggris sekarang ini. Mereka takut meninggalkan Liga Premier. Tapi sekali saja mereka pergi, maka yang lain akan mengikuti," ungkap mantan juru gedor Liverpool itu.

FA harus segera berbenah jika ingin menyaksikan Inggris kembali menjadi salah satu tim nasional yang ditakuti dalam turnamen besar internasional. Pemain generasi masa kini dengan bakat di atas rata-rata semacam Harry Kane, Marcus Rashford, Delle Ali, Jamie Vardy, dan Eric Dier jangan sampai kembali menjadi korban salah kaprahnya sistem kompetisi di Inggris yang berimbas pada tersendatnya raihan prestasi di level tim nasional. Salah satu langkah yang sangat mungkin dilakukan oleh The Football Association adalah memberikan ketentuan yang ketat tentang jumlah pemain asing yang boleh memperkuat klub inggris di kompetisi Premier League, dengan demikian, setiap klub akan berbalik untuk berlomba-lomba mencari bintang lokal yang akan diorbitkan menjadi pemain besar di masa mendatang. 

Jika pemain asal Inggris belum cukup menarik bagi konsumen di luar negeri, paling tidak tim domestik bisa menjadi konsumen yang baik dengan cara memberikan jam terbang yang lebih tinggi serta prioritas utama dibandingkan pendatang asing. Euro 2016 adalah kesempatan yang kesekian kalinya bagi tiga singa untuk menunjukkan kepada Eropa dan dunia, apakah Hodgson bersama pasukan yang dibawanya ke Perancis sudah cukup istimewa untuk meraih gelar, atau lagi-lagi hanya berhenti pada status calon juara seperti turnamen-turnamen sebelumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun