Mohon tunggu...
Luthfy Avian Ananda
Luthfy Avian Ananda Mohon Tunggu... Penulis - Kuli Tinta

Pernah belajar di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menghindari Masuk Angin, Mahkamah Kehormatan Dewan Butuh Satrio Piningit

18 Januari 2016   00:08 Diperbarui: 18 Januari 2016   00:29 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Munculnya Mahkamah Kehormatan Dewan dalam tatanan struktur organisasi dalam badan legislasi hasil dari amanah yang diberikan oleh Undang-Undang MD3 pada awalnya mendapatkan sambutan yang cukup baik dari pemerintah, masyarakat, maupun sesama dewan. Wajar saja jika sambutan hangat tersebut datang karena banyak yang mempunyai ekspektasi yang cukup besar jika kinerja MKD nantinya akan sama seperti sepak terjang KPK maupun Mahkamah Konstitusi dalam sistem hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adanya pengawasan etik melalui MKD juga sangat diandalkan untuk menyelamatkan martabat dan kehormatan dewan perwakilan rakyat di depan masyarakat Indonesia yang dirusak oleh sebagian oknum anggota dewan akibat terjerumus dalam kasus – kasus pidana maupun perdata akibat penyalahgunaan tugas dan wewenang selama menjabat. Namun kembali lagi, harapan hanyalah harapan semata. Seiring berjalannya waktu, ketika melakukan penyelesaian kasus yang sedang menjerat DPR, banyak pihak yang mengeluhkan penegakan hukum tidak sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku. Pada akhirnya sidang yang berlangsung dalam Mahkamah Kehormatan Dewan tidak sepenuhnya obyektif serta bertujuan untuk menegakkan keadilan, terutama bagi sekian banyak rakyat Indonesia yang telah memberikan amanah bagi mereka semua dalam pemilu legislatif beberapa waktu yang lalu.

Beberapa waktu belakangan pimpinan DPR tampak ‘rajin’ terkena kasus yang kemudian menyeret mereka di persidangan etik Mahkamah Kehormatan Dewan, mulai dari pertemuan tidak etis mereka dengan Calon Presiden Amerika Donald Trump, hingga yang terbaru adalah bocornya percakapan tentang perpanjangan kontrak freeport yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto, Presdir PT Freeport, dan seorang pengusaha yang diduga bernama Reza Chalid. Seluruh kasus tersebut memang pada akhirnya ditangani langsung oleh MKD, namun agaknya hasil putusan yang dikeluarkan oleh MKD terkait sanksi bagi si pelanggar belum memenuhi sepenuhnya kemauan publik di negeri ini, karena Mahkamah ‘hanya’ memberikan sanksi ringan untuk kasus ‘kencan’ dengan Donald Trump, dan sanksi sedang yang berujung pemecatan Setya Novanto dari posisinya sebagai Ketua DPR masa jabatan 2014-2019.

Kembali pada bahasan utama yang akan saya angkat dalam tulisan ini, yaitu pengawasan MKD terhadap kinerja anggota badan legislatif, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ) jika dikaitkan dengan keadaan konstelasi politik dalam negeri yang cukup dinamis antara dua kubu koalisi, tentu akan cukup menimbulkan dampak yang sangat kuat karena anggota DPR dan Mahkamah Kehormatan Dewan juga terdiri dari sesama anggota serta perwakilan partai-partai yang mendapatkan jatah kursi hasil jerih payah pada kompetisi Pemilihan Legislatif 2014, dengan kenyataan ini, maka perang kepentingan atau yang dalam dunia politik dan hukum lebih familiar disebut sebagai conflict of interest mewarnai proses peradilan etik yang dijalankan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan. Banyaknya kepentingan dari berbagai pihak yang harus diakomodir oleh Mahkamah Kehormatan Dewan dalam menangani setiap kasus yang datang merupakan akar permasalahan tumpulnya penegakan hukum internal parlemen. Anggota MKD secara gamblang menunjukkan bahwa seakan-akan mereka diwajibkan untuk mengakomodir setiap kepentingan milik elit politik yang mempunyai bargaining position lebih besar daripada majelis dalam mahkamah tersebut. Seharusnya, proses peradilan di lembaga manapun bebas dari intervensi siapapun yang bermaksud untuk mempengaruhi amar putusan akhir yang diambil oleh sang pengadil.

Pada hakikatnya, satu-satunya tingkatan yang lebih tinggi dari pada hukum adalah etika. Dalam kehidupan bermasyarakat di negara yang menjunjung tinggi adat dan istiadat timur seperti negara kita ini, etika menjadi hal yang harus dipegang secara teguh dalam setiap sendi-sendi kehidupan bersama dengan masyarakat yang lainnya. Kasus yang menimpa Ketua DPR Setya Novanto dan kemudian ditangani oleh MKD adalah bukti bahwa betapa vitalnya posisi etika seseorang termasuk ketika mengemban jabatan strategis di dalam pemerintahan yang mengusung kepentingan rakyat. Maka dari itu jangan lupa, jika dalam menjalankan amanah jabatan saja seseorang menyepelekan nilai-nilai etika yang harus ia jaga, maka sudah pasti suatu saat akan rentan terseret oleh kasus hukum yang berkaitan dengan perilaku dia selama bertugas sebagai seorang pejabat negara. Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan alat kelengkapan DPR yang dilahirkan dari pembentukan Undang-Undang MD3 beberapa waktu yang lalu. Ketentuan yang mengikat adalah anggota dari mahkamah yang bertugas mengawasi kode etik dewan ini harus berasal dari perwakilan atau utusan fraksi – fraksi internal Dewan Perwakilan Rakyat, nah, disini lah menurut saya awal permasalahan yang terjadi selama ini, bagaimana mungkin pengawasan terhadap suatu lembaga justru dilakukan oleh lembaga itu sendiri tanpa ada pihak luar yang diberi kewenangan penuh untuk mengawal kinerja mereka. Secara kepatutan hukum, hal semacam ini jelas sangat tidak layak apalagi di mata masyarakat yang memberikan suara mereka setiap empat tahun sekali untuk menugaskan seorang anggota dewan di senayan demi memperbaiki negeri ini. Independensi MKD sebagai pengawas bagi para anggotanya sangat diragukan, oleh karena itu MKD jelas butuh ketentuan lain yang mengharuskan mereka untuk merekrut anggota lain dari luat DPR RI yang menguasai bidang kerja Mahkamah Kehormatan Dewan.

Dengan adanya pihak luar yang ikut mengawasi, maka saya meyakini bahwa nantinya independensi yang muncul akan lebih terjaga dan kuat. Jika dilihat dari tata beracara di MKD dalam Undang-Undang MD3 menyatakan bahwa panel dari luar DPR baru bisa diadakan apabila seseorang yang dinyatakan bersalah dan telah divonis dengan putusan pelanggaran berat oleh majelis MKD. Aturan tersebut menurut hemat saya justru terbalik dan berpotensi untuk mengulur waktu proses peradilan yang berjalan, karena seharusnya keberadaan orang dari luar DPR yang ditugaskan untuk ikut bergabung menjadi anggota MKD tidak usah menunggu jika ada putusan berat yang dijatuhkan, tetapi sejak awal harus sudah ditentukan bahwa MKD mestinya terdiri dari anggota-anggota dalam dan luar DPR. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 2 Tahun 2015 tentang tata beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pasal 40 Ayat (8) tentang Tata Cara Pembentukan Tim Panel  berbunyi “Pembentukan Panel paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak MKD memutuskan adanya dugaan pelanggaran Kode Etik yang bersifat berat terhadap Anggota” dan Pasal 41 Ayat (7) “Panel bekerja paling lama 30 (tiga puluh) Hari dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali” sangat mempunyai potensi kuat untuk dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu, terutama yang sedang bermasalah untuk melakukan trik-trik politik demi menghindari jatuhnya sanksi yang akan dikeluarkan oleh MKD.

Kita semua tentu masih sama-sama ingat pada saat Mahkamah konstitusi sebagai salah satu lembaga Hukum milik Pemerintah memutuskan untuk membentuk dewan etik hakim konstitusi yang ditugaskan untuk melakukan pengawasan terhadap para Hakim di MK, namun kemudian sikap Mahkamah Konstitusi tersebut dihujani oleh kritik keras dari berbagai kalangan karena dianggap tumpang tindih dengan peraturan yang sudah diatur sebelumnya yakni Perppu MK yang didalamnya juga memuat ketentuan tentang pembentukan badan pengawas Hakim Konstitusi yang sifatnya permanen dan disebut dengan nama Majelis Kehornmatan Hakim MK. Jika kita flashback sedikit ke belakang pada awal berdirinya MK memang sudah ada desakan untuk dibentuk panel khusus yang mengawasi kinerja mereka, jika Hakim Pengadilan biasa di Indonesia secara umum pengawasannya langsung dibawah Komisi Yudisial, ketika ada usulan agar MK juga diawasi oleh KY seperti halnya hakim yang lainnya, pihak Mahkamah Konstitusi menyatakan diri tidak sepakat atas masukan itu dengan alasan hakim Mahkamah Konstitusi merupakan ad hoc dan tidak untuk jangka waktu yang permanen seperti hakim karir biasa seperti pada umumnya, oleh sebab itu tidak bisa jika kemudian keberadaan MK dan Sumber Daya Manusia yang ada di dalamnya disamaratakan seperti profesi Hakim lainnya yang bertugas di Pengadilan, atas argumentasi itu maka Mahkamah Konstitusi mengusulkan agar dibentuk badan pengawas secara khusus yang ditugaskan untuk mengawasi para pengadil, kemudian muncullah Perppu No 1 Tahun 2013 tentang MK yang juga mengatur keberadaan badan pengawas tersebut. Meski Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang untuk MK demi menjawab kepastian hukum mengenai kedudukan pengawas MK sudah ada, namun masalah tidak selesai begitu saja, karena pemerintah tidak kunjung membentuk badan tersebut, lantas demi mengatasi kekosongan dalam masa transisi tersebut, Ketua MK pada saat itu Hamdan Zoelva memutuskan untuk membentuk dewan pengawas sendiri. Pro kontra muncul karena banyak yang beranggapan bahwa sistem pengawasan terhadap MK tidak akan berjalan secara objektif karena dilakukan oleh internal MK sendiri tanpa pengawalan dari pihak luar.

Sejarah Mahkamah Konstitusi di atas sengaja saya angkat dalam tulisan ini karena sedikit banyak memiliki kesamaan dengan kondisi yang sekareng sedang menimpa Dewan Perwakilan Rakyat. DPR masa sekarang juga sedang mengalami masa transisi setelah terbentuknya Undang-Undang MD3 khususnya setelah muncul panel pengawas baru yang diberi nama Mahkamah Konstitusi. Seperti halnya MK saat memutuskan untuk membentuk sendiri Dewan Etik Hakim Mahkamah Konstitusi, kecaman publik begitu luar biasa karena nihilnya personil dari luar lembaga legislatif tersebut yang diberi kewenangan untuk ikut andil mengawasi, kalaupun ada itu harus memenuhi syarat yang bertele-tele yang salah satu diantaranya mesti sudah ada sanksi berat yang dijatuhkan oleh hakim majelis kepada pihak atau oknum anggota yang telah dinyatakan bersalah.  Selain karena faktor tidak adanya orang luar DPR yang bisa ikut bergabung di MKD mengawal kinerja badan legislasi, penyebab lainnya yang menurut saya menambah daftar keresahan publik adalah adanya aturan yang membolehkan anggota Mahkamah Kehormatan Dewan diganti sewaktu-waktu meskipun di tengah proses peradilan etik yang sedang berjalan. Aturan tersebut jelas membuktikan bahwa seakan-akan majelis yang bisa bergabung di Mahkamah Kehormatan tersebut tidak harus seseorang yang mempunyai cukup kemampuan, kompetensi, dan kredibilitas untuk menjadi penentu keadilan, tetapi ditentukan berdasarkan siapa atau partai mana yang bisa menjaga dan mempertahankan kepentingan dari golongan tertentu hingga akhir persidangan yang berujung pada pengambilan keputusan, jadi ya jangan harap mereka yang “masih” bersih bisa bertahan lama, justru orang-orang seperti itu yang dianggap menghambat kerja MKD.

Pernyataan saya di atas tentu bukan sembarang argumen, karena sudah ada realita yang memberikan gambaran secara nyata bahwa hal semacam itu benar terjadi, contoh saat mengadili Setya Novanto kemarin, dimana pada saat injury time pembacaan amar putusan oleh majelis hakim justru pimpinan DPR secara kontroversial menandatangani surat pemecatan Akbar Faisal salah satu anggota mejelis yang berasal dari partai Nasdem dengan alasan bahwa beliau telah membocorkan hasil persidangan MKD kepada media. Meskipun demikian kontroversialnya, toh tetap saja pencoretan atau pengabaian terhadap orang-orang yang dianggap sebagai pahlawan kesiangan semacam itu tetap sesuatu yang halal bagi mereka yang pada akhirnya partai Nasdem tetap mengganti Akbar Faisal dengan anggota lainnya yang bernama Victor Laiskodat. Pembiaran hal-hal yang tidak pantas dalam sebuah sistem hukum yang dibentuk untuk menjaga kehormatan badan legislasi semacam itu merupakan degradasi moral dan integritas anggota DPR itu sendiri sebagai pihak yang paling bertanggung jawab berdasarkan fungsi dan tugasnya yang tidak lain juga sebagai pembentuk hukum positif di kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia. Perlu diingat bahwa sejarah pembentukan Mahkamah Kehormatan Dewan itu adalah untuk menyelamatkan nama dan martabat DPR sebagai satu-satunya badan legislatif di Indonesia, sehingga jangan sampai kemudian kinerja anggota Mahkamah Kehormatan Dewan justru semakin memperparah citra lembaga tersebut di hadapan publik yang kemudian berakibat pada runtuhnya trust rakyat kepada para wakilnya di parlemen.

Tulisan saya ini sengaja saya ciptakan untuk memberikan beberapa pesan yang bertujuan untuk membangun kembali kekuatan dan martabat Dewan Perwakilan Rakyat agar tetap bisa menjaga amanah publik. Menurut pendapat pribadi saya sebagai masyarakat yang memberikan suara dan amanah kepada para anggota legislatif dan seorang penulis, secara pribadi ingin menekankan bahwa ke depan harus diadakan ketentuan baru yang memberikan jalan bagi pihak-pihak di luar Dewan Perwakilan Rakyat untuk bisa menjadi anggota majelis di Mahkamah Kehormatan Dewan. Anggota yang dipilih tersebut bisa diambil dari mereka yang berasal dari bidang akademisi, penegak hukum, aparat, atau profesional lainnya, serta hindari orang-orang dengan latar belakang partai politik karena hal itu sudah diisi oleh SDM yang berasal dari internal DPR RI. Perekrutan anggota mahkamah kehormatan dari unsur masyarakat hendaknya tidak perlu menunggu keluarnya putusan sanksi berat dari persidangan yang telah berjalan, karena hal itu bisa menambah potensi molornya penyelesaian kasus dan adanya kesempatan yang rawan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan lobi-lobi politik demi menghindari sanksi hukum dan etik yang lebih berat. Masuknya anggota MKD dari luar DPR seharusnya dilakukan mulai sekarang atau sesingkat-singkatnya dalam waktu dekat ini dengan jangka waktu tugas permanen sampai masa 2019 mendatang atau menyamai waktu kocok ulang anggota dewan untuk masa jabatan yang akan datang dengan konsekuensi aturan-aturan tertentu yang harus dipatuhi oleh anggota baru tersebut, jika nantinya ada yang melanggar, maka diperbolehkan untuk diganti sewaktu-waktu dengan catatan bahwa benar anggota yang diganti terbukti melanggar aturan serta telah memenuhi syarat untuk diganti.

Point selanjutnya yang ingin saya sampaikan dalam penutup tulisan ini adalah dihapuskannya aturan yang memperbolehkan anggota MKD diganti sewaktu-waktu, artinya di sini saya ingin menyampaikan bahwa seharusnya anggota majelis yang sudah terpilih oleh partainya untuk menjadi utusan di Mahkamah Kehormatan tersebut bertugas secara permanen hingga habis masa jabatan sebagai anggota DPR. Pergantian anggota Mahkamah Kehormatan Dewan hanya boleh dilakukan jika ada anggota yang berhalangan tetap atau melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan melalui Undang-Undang MD3 sebelumnya, itupun harus benar-benar memenuhi syarat untuk dikeluarkan atau diganti dengan anggota yang baru. Saya menyuarakan pentingnya majelis MKD bekerja dalam jangka waktu yang permanen karena hal tersebut sangat penting bagi independensi Mahkamah itu sendiri serta menjaga chemistry seluruh anggota agar bisa tetap sejalan dan konsisten dalam setiap pengambilan keputusan suatu kasus yang sedang mereka tangani. Selama ini kita semua sering mendengar adanya isu yang berhembus ke permukaan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan sering dalam kondisi “masuk angin” saat menangani suatu kasus, nah, masuk angin itu bisa saja disebabkan juga atas faktor gampangnya anggota majelis keluar masuk forum alias licinnya jalan yang diberikan partai untuk mengganti utusannya meskipun sidang sedang berjalan, sehingga dikhawatirkan partai-partai tertentu dalam mengganti anggota majelis bukannya dengan tujuan untuk mencari tokoh yang punya kompetensi terbaik, tapi justru untuk memastikan bahwa utusannya bisa tetap mengakomodir kepentingan-kepentingan tertentu untuk mempengaruhi hasil persidangan, jika itu benar maka sangat mengkhawatirkan bagi kehidupan hukum dan demokrasi di negara ini.

Dewan Perwakilan Rakyat harus bangkit dan mengembalikan martabatnya di mata nasional serta dunia. Kami sebagai masyarakat tentu sudah terlalu lama malu sekaligus prihatin atas kinerja buruk mereka beberapa tahun belakangan ini di kancah ketatanegaraan tanah air serta gagalnya membawa aspirasi rakyat yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk sekedar memberikan suara dan amanah kepada mereka hingga 2019 mendatang. 2014 menuju 2019 tentu bukanlah waktu yang singkat untuk menunggu revolusi DPR yang baru dan meratapi kebobrokan parlemen Republik Indonesia, karena alasan itulah, rakyat sudah tidak punya waktu banyak lagi menunggu perubahan lebih baik yang harus terjadi di wajah wakilnya. Bagaimanapun mereka adalah wakil rakyat dan wakil bagi kita semua, tidak ada waktu untuk menyesali pilihan yang telah kita berikan dalam pemilu beberapa waktu yang lalu, satu-satunya langkah terbaik adalah tetap memberikan dukungan penuh dengan mengawal dan mengkritisi segala kebijakan maupun kinerja yang tidak sejalan dengan kepentingan rakyat Indonesia untuk memenuhi misi perubahan dan revolusi mental.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun