Mohon tunggu...
Luthfy Avian Ananda
Luthfy Avian Ananda Mohon Tunggu... Penulis - Kuli Tinta

Pernah belajar di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Bola

Match Fixing dalam Sepakbola Indonesia Ditinjau dari Perspektif Hukum Pidana

11 Januari 2016   23:13 Diperbarui: 11 Januari 2016   23:23 2093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Memang keberadaan atau usia undang-undang tersebut sudah bisa dikatakan sangat tua karena terbis sejak 1980 dan besaran nominal denda yang hanya berkisar belasan juta serta maksimal kurungan 15 tahun dirasa terlalu murah di zaman yang sudah maju seperti sekarang ini, tapi yang utama pelaku dalam match fixing bisa dikenai sanksi pidana terlebih dahulu, sedangkan untuk masalah pembaharuan pasal dalam undang-undang tersebut tentang jumlah denda dan lama hukuman di dalam bui kita sama-sama mendorong kepada DPR sebagai badan legislasi nasional agar bersedia untuk segera memberlakukan revisi demi memenuhi tuntutan zaman di tengah keadaan darurat pidana dalam olahraga khususnya sepakbola yang semakin mewabah.     

            Ironisnya, meskipun sudah jelas ada undang-undang yang bisa digunakan untuk menghukum pelaku match fixing baik yang di dalam maupun di luar football familly, sampai sekarang negara masih saja menganggap jika belum ada dasar hukum secara khusus yang mengaturnya. Mungkin pemikiran itu muncul karena mereka beranggapan bahwa tindak pidana suap dalam dunia sepakbola tidak bisa dijerat dengan undang-undang tentang suap karena tidak sesuai dengan undang-undang tindak pidana korupsi yang jelas-jelas delik dalam kedua produk hukum tersebut memiliki perbedaan yang sangat mendasar.

Otoritas hukum Indonesia menilai tindak pidana suap dalam sepakbola belum bisa dibawa ke ranah pidana karena tidak memenuhi unsur merugikan keuangan negara seperti dituliskan dalam undang-undang tentang tindak pidana korupsi, padahal sudah jelas di pasal 1 uu nomor 11 tahun 1980 “yang dimaksud dengan tindak pidana suap dalam undang-undang ini adalah tindak pidana suap di luar ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah ada”, dan penjelasan pasal 1 adalah Tindak pidana suap yang diatur dalam undang-undang ini di luar ketentuan yang sudah diatur dalam:

  1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor2958);
  2. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 jo Undang-undang Nomor 4 Tahun 1975 jo Undang-undang Nomor 2 Tahun 1980 tentang Pemilihan Umum Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.

Maka sudah secara gamblang dipaparkan uu no 11 tahun 1980 bukan termasuk dalam tindak pidana suap untuk kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara, melainkan di luar semua itu. Ketentuan tersebut sekaligus menjelaskan bahwa KPK tidak punya kewenangan untuk menangani kasus ini jika tidak memenuhi subyek hukum penyelenggara negara dan unsur kerugian negara seperti dituliskan dalam pasal 11 Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. ini sekaligus menanggapi desakan publik agar KPK ikut dilibatkan untuk menyelesaikan pengaturan skor. Selanjutnya, karena tindak pidana suap dalam match fixing merupakan pidana umum, maka yang punya kewenangan penuh adalah Kepolisian Republik Indonesia.

            Jika sudah demikian, seharusnya tidak ada alasan lain bagi siapapun yang berwenang menangani kasus ini untuk bisa sesegera mungkin menghidupkan kembali undang-undang tersebut dengan cara menggunakannya untuk memberikan jerat hukum bagi semua pihak yang berbuat untuk mempertanggungjawabkannya di depan hukum karena negara Indonesia sendiri juga menganut sistem negara hukum. Membiarkan pengaturan skor terlalu lama ada di sepakbola nasional maka sama saja mematikan potensi dan prestasi generasi penerus bangsa di cabang olahraga ini.

Dalam hukum, pencegahan tanpa penindakan, maka sama saja sebuah omong kosong yang pada akhirnya tidak akan menyelesaikan apa-apa, karena sanksi disiplin saja dari induk organisasi sepakbola itu hanya langkah pencegahan, diperlukan kehadiran hukum negara untuk melengkapi langkah penindakan suatu tindak pidana yang sedang terjadi. Semoga tulisan saya ini bisa menjadi inspirasi bagi siapapun yang membaca khususnya pihak-pihak yang saat ini ikut terlibat secara aktif dan mempunyai kewenangan secara penuh untuk menuntaskan pengaturan skor demi sepakbola Indonesia yang lebih baik, karena kita semua termasuk saya, sebagai warga dan penikmat bola sudah sangat rindu dengan kemesraan dalam sebuah pertandingan bola yang mengkolaborasikan fair play, fanatisme, serta gol-gol kemenangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun