Tidak akan ada hal yang sulit dalam mengungkap kasus ini jika memang pemerintah dan PSSI bersungguh-sungguh untuk melakukannya. Beberapa petunjuk dilihat dari banyaknya saksi yang siap buka-bukaan menjadi angin segar bagi pihak – pihak yang mempunyai kewenangan penuh untuk mengusutnya. Baru-baru ini, muncul beberapa nama tenar dari cabang sepakbola yang sudah memberikan keterangannya di stasiun televisi swasta dan membenarkan adanya praktik haram tersebut. Bahkan, mereka menceritakan secara lengkap kronologis yang diketahui tentang bagaimana setiap pertandingan diatur oleh oknum-oknum mafia. Ada inisial BS, mantan pemain, dan pelatih sepakbola, kini terjun menjadi “runner” ( pengatur ) pertandingan sepakbola.
Ia secara terang-terangan muncul di depan wartawan dan menyatakan bersedia menjadi whistle blower untuk menguak pengaturan skor. Menurut pengakuannya, dari kurun waktu 2000 – 2015 kompetisi sepakbola dalam negeri sudah diatur pertandingannya, hal itu yang kemudian menjadi bahan laporannya ke Bareskrikm Mabes Polri. Masih berdasarkan keterangan BS, setiap musim pertandingan sepakbola di Indonesia, perputaran uang dari hasil pengaturan skor mencapai 10 triliun dengan estimasi rata-rata setiap pertandingan adalah 50 juta rupiah, jumlah yang sangat fantastis tentunya. BS sendiri merupakan pengatur pertandingan yang mempunyai jangkauan hingga ke negara lain di Asia seperti Malaysia, Singapura, dan Tiongkok.
Keterangan yang dilontarkan oleh BS maupun saksi lainnya dari lingkungan football familly tentu tidak bisa dianggap remeh oleh Kepolisian Republik Indonesia, meskipun pernyataan mereka masih membutuhkan langkah pembuktian yang cukup untuk mengetahui benar atau tidaknya, karena keterangan saksi bisa menjadi pelengkap alat bukti yang sah sesuai ketentuan Pasal 184 Ayat ( 1 ) KUHAP.
Dengan demikian, keberadaan saksi bagi kepentingan penyidikan harus sejalan dengan perlindungan yang diberikan oleh aparat baik secara hukum maupun hak asasinya. Bukan tidak mungkin setelah berani buka-bukaan di media dan penyidik, mereka mendapatkan teror yang sangat membahayakan dari orang-orang yang merasa terancam. Belum lagi para saksi yang masih berkarir dalam sepakbola, sebagai pelatih maupun pemain, ada potensi beberapa klub tidak mau lagi menggunakan jasanya jika merasa terganggu dengan kejujurannya tentang kondisi sepakbola nasional di depan publik.
Padahal mereka semua masih mempunyai keluarga yang kehidupannya juga bergantung dari profesinya di lapangan hijau. Langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk memberikan perlindungan kepada saksi dapat ditempuh dengan mendaftarkan ke LPSK ( Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ) dan hal itu sudah diatur dalam UU No 13 Tahun 2006. Jangan sampai ada kesan hanya mengambil keuntungan berupa keterangan dari saksi tetapi kemudian melupakan keberadaannya di tengah-tengah ancaman bagi keselamatan mereka.
Jika faktanya sudah demikian, maka bukan tidak mungkin bahwa Indonesia juga bisa menerapkan hal yang sama pada kasus ini seperti halnya negara lain. Dalam pengamatan saya, bukannya tidak atau belum ada hukum yang mengaturnya, melainkan sudah ada hukum yang mengatur, namun aparat masih enggan untuk melakukan investigasi secara mendalam. Kita sama-sama tahu jika hukum pidana mengenal prinsip “bukan termasuk tindak pidana, kecuali telah diatur sebagai suatu tindak pidana sebelumnya” yang berarti bahwa suatu perbuatan belum bisa dikatakan tindak pidana jika belum atau tidak ada aturan dalam perundang-undangan yang mengaturnya. Disini penegak hukum dituntut sedemikian rupa untuk bisa menjadi penemu hukum / rechtsvinding agar bisa menjadi referensi di kemudian hari jika ditemukan kasus yang sama demi menyelamatkan nasib sepak bola Indonesia.
Pengaturan skor dengan melibatkan keuntungan berupa materi maupun immateriil erat kaitannya dengan UU No 11 tahun 1980 tentang tindak pidana suap. Pasal 2 UU tersebut berbunyi “Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah)”,
dilanjutkan dengan pasal 3 “Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyakbanyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah)”.
Kedua pasal uu no 11 tahun 1980 diatas menurut hemat saya seharusnya bisa digunakan oleh penegak hukum Indonesia untuk menjerat para pelaku pengaturan skor jika memang ditemukan adanya indikasi suap menyuap di dalamnya. Karena dalam penjelasannya ditegaskan pada pasal 1, kalimat “kewenangan dan kewajibannya” termasuk dengan yang melekat pada ketentuan kode etik dan profesi atau organisasinya masing-masing pelaku yang terlibat dalam tindak pidana ini.
Jika dalam sepakbola, maka kode etik profesi berhubungan erat dengan posisinya sebagai pemain atau pelatih sepakbola jika tersangka merupakan seseorang yang termasuk dalam lingkungan football familly. Sedangkan kata “organisasi” dalam pasal itu juga bisa dimaknai oleh hakim sebagai penemu hukum yang berarti pemain dan pelatih dalam kasus pengaturan skor terikat dengan organisasi yang memiliki ketentuan kode etik baik itu klub tempat mereka bermain ataupun melatih, dan induk organisasi sepakbola nasional seperti PSSI, dan internasional ( FIFA ) yang juga memiliki statuta sebagai pedoman hukum dan didalamnya berlaku pula kode etik yang harus ditaati oleh pelaku sepakbola. Maka dapat disimpulkan bahwa mereka yang terlibat suap dalam pengaturan skor dapat dikatakan melanggar kode etik dan profesinya sebagai pemain sepakbola serta melanggar ketentuan etik yang telah ditetapkan oleh organisasi yang dalam hal ini klub, PSSI, dan FIFA.
Kemudian pada pasal 3 undang-undang di atas juga diberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan sesuatu atau janji tidak selalu berupa uang atau barang, diluar itupun yang ikut dijanjikan dalam tindak pidana suap pengaturan skor bisa tetap dianggap melanggar pasal 3 uu no 11 tahun 1980. Maka disini dapat digarisbawahi, sebenarnya ada undang-undang yang bisa menjadi pegangan bagi aparat dalam negara untuk menjerat pelaku pengaturan skor dalam sepakbola.