Mohon tunggu...
Luthfiyah Ghina Rahmah
Luthfiyah Ghina Rahmah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi program studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta

Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Jendral Besar TNI A.H. Nasution dan Sosiologi Komunikasi

15 Juli 2024   23:05 Diperbarui: 15 Juli 2024   23:42 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memahami Peristiwa S-PKI G 30.

Sumber : Dokumentasi Pribadi.
Sumber : Dokumentasi Pribadi.


Peristiwa G-30 S-PKI (gerakan Partai Komunis Indonesia 30 September 1965) merupakan momen penting dalam sejarah Indonesia. Pada malam tanggal 30 September 1965, sekelompok anggota Tentara Nasional Indonesia yang diduga didukung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) melancarkan upaya kudeta. Hal ini menyebabkan penculikan dan pembunuhan enam jenderal tinggi angkatan darat. Peristiwa ini disusul dengan tindakan keras terhadap kelompok anti-komunis, yang mengakibatkan ratusan ribu warga Indonesia dibunuh dan dipenjarakan.
 
Dari sudut pandang sosiologi, peristiwa S-PKI-G-30 menyoroti pentingnya komunikasi dalam membentuk sikap masyarakat dan relasi kekuasaan. Menurut sosiologi komunikasi, komunikasi bukan sekadar penyampaian informasi. Hal ini juga merupakan sarana untuk menciptakan realitas sosial dan sistem kekuasaan.

Setelah G-30-S-PKI, pemerintahan otoriter Orde Baru Suharto menggunakan media massa untuk menciptakan narasi yang mendiskreditkan PKI dan membenarkan pembersihannya. Periode ini menunjukkan bagaimana media dapat digunakan sebagai alat propaganda untuk mengubah persepsi publik dan mendukung tujuan penguasa. Surat kabar, radio, dan televisi dibanjiri propaganda anti-komunis yang menggambarkan PKI sebagai ancaman nasional.
 
Untuk memahami peran media pada periode ini, kita perlu memahami kerangka kerja dan teori  penetapan agenda. Framing adalah penyajian dan penempatan pesan melalui media, yang mempengaruhi bagaimana pemirsa menafsirkan pesan tersebut. Kediktatoran Orde Baru menggambarkan S-PKI G-30 sebagai ancaman serius terhadap stabilitas nasional, sehingga membenarkan tindakan keras yang dilakukan setelahnya. Kerangka kerja ini diperkuat oleh pesan-pesan yang diulang-ulang di seluruh platform media, sehingga menghasilkan narasi yang dominan dan tidak memberikan toleransi terhadap perspektif lain.

Menurut teori agenda setting, media tidak memberitahu masyarakat apa yang harus dipikirkan, namun memberitahukan apa yang harus dipikirkan. Dengan berulang kali menekankan bahaya komunisme dan keberanian militer dalam menumpas kudeta, para pemimpin Orde Baru menetapkan agenda nasional, fokus pada isu-isu yang sesuai dengan narasi mereka, sambil mendorong suara-suara alternatif untuk dibungkam.

Pengaruh rezim Orde Baru terhadap lanskap media merupakan contoh  gagasan hegemoni media, di mana kelas penguasa mempertahankan dominasinya melalui manipulasi institusi budaya. Sensor tersebar luas, dan pembatasan ketat hanya mengharuskan  konten pro-pemerintah untuk didistribusikan. Kontrol atas arus informasi ini menghalangi warga negara untuk mengakses berbagai perspektif, memperkuat wacana rezim, dan menghambat ekspresi kritis.

Peran media dalam menggambarkan kisah S-PKI G-30 mempunyai dampak jangka panjang bagi masyarakat Indonesia. Ingatan yang dibuat-buat mengenai peristiwa-peristiwa ini mempengaruhi generasi-generasi dan menciptakan pengetahuan sejarah spesifik yang terus membentuk proses politik dan sosial. Penindasan terhadap perspektif alternatif telah menghambat rekonsiliasi dan pemahaman komprehensif mengenai era kompleks dalam sejarah Indonesia ini.

Peristiwa G-30 S-PKI merupakan studi kasus menarik dalam sosiologi komunikasi. Hal ini menunjukkan bagaimana media dapat digunakan sebagai alat propaganda yang ampuh untuk mengubah persepsi publik dan memperkuat hubungan kekuasaan. Pembentukan, penetapan agenda, dan kontrol hegemonik rezim Orde Baru terhadap media menyoroti hubungan yang kompleks antara komunikasi, kekuasaan, dan masyarakat.  Melihat peristiwa-peristiwa ini dari perspektif sosiologi komunikasi menyoroti pentingnya literasi media dan peran media yang beragam dan independen dalam mendorong masyarakat yang terinformasi dan demokratis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun