Baru-baru ini budaya antri sudah mulai dilupakan oleh masyarakat. Hal ini dapat kita lihat disebuah minimarket yang hendak antri membayar di kasir. Contoh lain antri mengambil uang di bank, antri mengambil formulir, maupun antri dalam kegiatan sosial dan masyarakat.
Dari contoh-contoh di atas sering kita dapati banyak dari masyarakat yang tidak mau mengantri asal maju saja dan memotong antrian. Hal tersebut terjadi sebab telah lunturnya budaya mengantri yang mana menipis bahkan sudah tidak diajarkan pada pendidikan formal. Untuk itu sangat penting dalam mengajarkan budaya mengantri sejak dini mungkin.
Berbica mengantri ini ada kaitannya dengan moral dan karakter. Nilai moral dan agama berkaitan dengan sikap sopan santun. Maka dari itu, anak diharapkan mampu dalam membedakan mana perilaku yang baik dan mana perilaku yang buruk juga itu termasuk dalam lingkup dari nilai-nilai moral dan agama.Â
Oleh karena itu, hadirnya lembaga pendidikan anak usia dini sangat dapat membantu untuk mengembangkan moral pada anak usia dini melalui kegiatan pembiasan atau rutinan seperti meminta izin ketika hendak meminjam barang teman dan ini merupakan awal yang baik bagi pendidikan.
Piaget mengatakan bahwasanya terdapat dua tahap anak berpikir mengenai moralitas. Setiap individu pemikirannya berbeda tergantung perkembangan dari setiap individu. (1) tahap heteronomus, anak usia 4-7 tahun beranggapan bahwasanya keadilan dan aturan merupakan sifat yang tidak dapat berubah dari kendali manusia. (2) anak usia 10 tahun ke atas sudah menyadari mengenai aturan dan hukum itu manusia yang menciptakan.Â
Pada tahap ini anak juga sudah menyadari apabila dalam menilai tindakan dari seseorang tersebut harus dipertimbangkan maksudnya apa dan akibatnya bagaimana. Pemikiran pada tahap ini, piaget mengistilahkannya dengan otonomus.
Perbedaan dari kedua tahap tersebut yakni pada tahap heteronomus, anak memposisikan perilaku dengan benar dan baik itu dilihat dari akibatnya bukan dari maksud yang melakukan. Contohnya, anak yang menjatuhkan pensil temannya dengan cara tidak sengaja itu lebih jelek daripada anak yang menjatuhkan pensil temannya dengan sengaja.Â
Berbeda dengan anak yang berada ditahap otonomus dimana anak yang menjatuhkan pensil milik temannya secara tidak sengaja itu dianggap lebih baik sebab dipandang lebih penting niat dari tindakan yang dilakukannya daripada akibatnya.
Pendapat piaget mengatakan bahwasanya anak-anak dalam masa perkembangannya terjadi kemajuan dalam hal pemahaman mengenai masalah-masalah sosial. Piaget mengatakan pemahaman ini terjadi dari pola interaksi juga saling menerima dan memberi pada hubungan teman sebaya. Anak-anak memiliki kekuatan juga status yang sama pada golongan teman sebaya. Mereka dapat saling bernegosiasi juga memberi masukan dalam memecahkan suatu permasalahan yang ada.Â
Pengembangan moral anak melalui pengalaman dapat dikatakan kondisi yang kondusif sebab suasana dari interaksi dalam teman sebaya. Piaget mengemukakan sulit didapati pada hubungan orang tua dan anak maupun hubungan guru dan anak. Latar belakang dari pernyataan tersebut adalah kekuasaan lebih dimiliki oleh orang tua atau guru hingga aturan-aturan yang ada dibentuk dengan otoriter.Â
Dampaknya, kurang memungkinkan dalam meningkatkan penalaran moral pada anak secara baik.
Kohlberg menekankan perkembangan moral pada pendekatan kognitif (penalaran yang digunakan). Kohlberg mengatakan terdapat enam level perkembangan penalaran moral manusia. Keenam level tersebut bersifat berurutan yang memiliki sifat menyeluruh atau universal. Sehingga enam level tadi dikelompokkan menjadi tiga tingkatan yang mana setiap tingkatan terdapat dua tahapan.
Level 1 (prakonvensional), terdapat dua tahap pada level ini yakni orientasi hukuman dan kepatuhan serta tahap individualisme dan orientasi tujuan instrumental. Kohlberg memandang ini didominasi penalaran moral yang mengacu pada kepatuhan maupun hukuman dari si penguasa.Â
Tindakan seseorang dinilai salah atau benar bergantung pada akibat atau hukuman yang berhubungan dengan tindakan tersebut. Nisa dapat mengatakan bermain di dalam kelas itu jelek dan tidak baik sebab guru telah melarang dan akan marah apabila dilakukan.Â
Pada tahap orientasi individualisme dan orientasi tujuan instrumental yang menjadi titik acuannya adalah peristiwa-peristiwa eksternal fisik. Namun, dapat dikatakan benar suatu tindakan apabila berhubungan dengan peristiwa eksternal yang dapat membuat dirinya merasa puas dengan kebutuhannya dan juga pada seseorang yang sangat dekat hubungannya.Â
Jadi, meskipun perbuatan berbohong itu jelek dan salah sebab berasosiasi hukuman, penalaran tahap ini berupa penilaian yang mana berbohong dapat dikatakan benar apabila dilakukan secara mendesak.
Level 2 (konvensional) didalamnya terdapat tahap orientasi konformitas interpersonal dan tahap orientasi hukum dan aturan. Memasuki tahap ini anak mematuhi aturan yang ada untuk menyenangkan orang lain atau bertahan dalam perintahnya.
Level 3 (pascakonvensional) didalamnya terdapat tahap orientasi kontrak sosial dan tahap orientasi etis universal. Dalam tahap prinsip-prinsip atau nilai yang dipegangnya sudah dapat mengendalikan perilaku anak, sehingga nilai-nilai atau aturan dipegangnya secara luwes.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H