Mohon tunggu...
Luthfiyah Nurlaela
Luthfiyah Nurlaela Mohon Tunggu... -

Pendidik di Universitas Negeri Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengujungi Kuba

23 April 2015   20:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:45 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungai penuh, dan airnya meluber memenuhi rawa-rawa di sepanjang bantaran sungai. Untunglah. Pak Kadis bilang, kalau air penuh seperti ini, buaya tidak keluar. Artinya, perjalanan jadi lebih aman.

Bicara tentang keamanan dalam perjalanan laut dan sungai, tempo hari sebelum berangkat, saya sudah wanti-wanti pada pak Kadis, supaya kami disiapkan pelampung. Tapi beliau bilang: "Saya kira itu tidak perlu, Bu Prof...kita hanya mengarungi sungai." Dan saya tetap ngotot minta disediakan pelampung. Enteng saja beliau bilang..."Itu hanya mengarungi sungai?"

Beliau menyanggupi, tapi ternyata itu sekadar menghibur hati saya saja. Saat ini kami berspeedboat tanpa pelampung, dan saya agak bergidik melihat air sungai yang coklat keruh itu  melimpah sementara tepi sungai berjarak puluhan bahkan mungkin ratusan meter dari speedboat kami. Itu pun, berupa rawa-rawa. Kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk, entah bagaimana kami bisa menyelamatkan diri, sementara di antara kami tidak semua bisa berenang. Tidak, insyaallah itu tidak akan terjadi. Lihatlah, driver speedboat itu begitu lihai. Meski kadang-kadang speedboat terasa miring ke kanan atau ke kiri, dia begitu tenang, dan mengesankan semua baik-baik saja. Sesekali dia mengurangi kecepatan speedboat saat berpapasan dengan robin. Laju speedboat yang menyebabkan air sungai bergelombang membahayakan keselamatan robin, si perahu kecil itu.

Robin, adalah sebutan utk perahu bermotor kecil yang biasa digunakan masyarakat setempat untuk melakukan perjalanan dari Kuba ke Singkil dan sebaliknya, dengan ongkos Rp. 10.000,- untuk sekali jalan. Dinamakan robin, sebenarnya karena mesin perahu itu merk-nya robin. Seperti banyak orang menyebut yamaha atau honda untuk sepeda motor, sanyo untuk pompa air, dan aqua untuk air mineral, dan sebagainya.

SMK Negeri 1 Kuba merupakan SMK Kelautan dan Perikanan. Memiliki 80 siswa, dengan sebanyak 22 guru dan tenaga kependidikan. Bukan sekolah yang buruk, meski dia berada di kecamatan tertinggal. Kuba dikelilingi oleh sungai dan laut, dan satu-satunya tempat mengungsi bila terjadi gempa adalah masjid. Belum ada akses keluar kampung yang luasnya hanya sekitar 14 km persegi itu selain melalui sungai menuju Singkil.

Singkil adalah tempat terdekat untuk berbelanja keperluan sehari-hari masyarakat Kuba. Juga tempat terdekat bagi anak-anak kami, Wenni dan Dewi, untuk mengambil insentif bulanannya. Sebulan sekali mereka menumpang robin ke Singkil dan berbelanja keperluan bulanan mereka. Mereka tinggal di mes sekolah dan memasak sendiri.

SMK 1 Kuba berada di ujung kampung dan sekitar 500 meter dari sekolah adalah kampung nelayan. Di lokasi tertinggal itu hanya ada 2 SD, 1 SMP, dan 1 SMK. Bukan persoalan mudah menyedot animo masyarakat yang hanya terdiri dari sekitar 60 KK itu untuk masuk sekolah. Kalau siswa SMK saat ini bisa mencapai 80 siswa, itu bukan karena kebetulan. Tapi salah satunya karena promosi  gencar yang dilakukan oleh kepala sekolah yang masih muda itu. Selain itu, karena outcome sekolah dinilai cukup baik oleh masyarakat. Tahun kemarin, sekolah berhasil mengeksport sejumlah lulusannya ke perusahaan di China dan Argentina. Sekolah juga sudah melakukan kerja sama dengan beberapa perusahaan di Medan dalam rangka penyaluran lulusan, selain juga sebagai tempat  untuk praktek industri.

Kami pamit dari SMK Negeri 1 Kuba sekitar pukul 14.30, setelah makan siang dengan menu nasi putih, sayur kangkung, dan pepes ikan. Menu yang lezat pada saat yang tepat. Sejak pagi belum ada sebutir nasi pun yang masuk mulut. Tidak ada waktu untuk sarapan karena begitu bangun tidur kami sudah langsung berkegiatan.

Di bawah terik matahari yang panas menyengat, kami kembali berspeedboat menuju Singkil. Mengarungi sungai yang airnya coklat keruh dan ribuah hektar rawa mengapitnya. Mungkin ada puluhan atau ratusan buaya predator sedang mengintai. Namun ada Dia Yang Maha Memberi Keselamatan yang selalu melindungi.

Aceh Singkil, 20 April 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun