Kami berduka lagi. Setelah kehilangan mahasiswa PPG, Syahru Romadoan, pada 14 Maret 2015 yang lalu, pagi ini, saya dikejutkan oleh kabar duka yang disampaikan Pak Rahman melalui telepon. Waktu menunjukkan pukul 05.30, masih sepi, namun saya seperti mendengar petir di siang bolong begitu Pak Rahman menyampaikan, ada peserta SM-3T Unesa yang bertugas di Maluku Barat Daya (MBD), tenggelam.
"Katanya kapalnya semalam tenggelam, Bu. Anak kita ada dua, Renzi dan Is. Renzi sudah ditemukan, dalam keadaan luka-luka. Is sampai hari ini belum ditemukan."
Saya nratap. Jantung saya berdebar-debar kencang. Tangan dan kaki saya terasa nggreweli. Saya masih sempat berharap, ini hanya kabar burung saja.
"Bapak dengar kabar dari siapa?"
"Dari Wahyu yang bertugas di Tiakur."
Saya baru saja bertelepon dengan Wahyu kemarin siang. Juga dengan kepala dinas pendidikan MBD. Wahyu Puspita Ningtyas, adalah satu-satunya peserta SM-3T yang bertugas di MBD yang di tempatnya ada sinyal. Selebihnya, sembilan belas peserta yang lain, berada di wilayah yang tidak ada sinyalnya.
Tak berpikir panjang, saya langsung menelepon Wahyu. Dan saya semakin syok mendengar suaranya yang sudah tidak jelas karena berbaur dengan tangisannya yang pecah berantakan.
"Semalam, Ibu....sekitar jam sepuluh, Mas Is dan Renzi, naik kapal bodi, mau ke Kapal besar, tapi kapal bodinya tenggelam diterjang ombak. Renzi sudah ditemukan, tapi Mas Is sampai sekarang belum, Ibu... Ini saya di Ratelda, Ibu, saya standby di sini untuk memantau perkembangannya...." Suara Wahyu terputus-putus, sesenggukan, meraung-raung panik. Saya berusaha menenangkannya, meski air mata saya sendiri tumpah tak terbendung.
Di sebagian besar pulau di MBD, kapal besar, yang sebagian besar adalah kapal perintis, juga kapal feri, tidak bisa merapat karena tidak ada pelabuhannya. Masyarakat yang akan mendekat ke kapal besar, harus naik kapal kecil, mereka menyebutnya kapal bodi, menuju ke arah tengah laut, di tempat kapal besar itu berhenti. Sekedar menitip sesuatu atau mengambil sesuatu dari kapal, atau mau menumpang kapal ke tujuan tertentu, laut harus diarungi dulu.
Saya berusaha menelepon kepala dinas, tak berhasil. Lantas saya menelepon Pak Sulaiman dan Bu Yanti, mengabarkan musibah tersebut. Menghubungi semua tim ahli dan staf PPPG. Meminta mereka semua menyiapkan berbagai hal yang mungkin diperlukan. Alamat Mohamad Isnaeni-- nama peserta yang tenggelam itu--data asal LPTK-nya, nomor kontak keluarga, dan juga bersiap untuk kemungkinan terburuk.
***
Pagi ini tiba-tiba saja dunia saya terasa penuh kabut. Kesedihan seperti tak tertahankan. Saya menangis sepuasnya demi mengurangi beban yang menyesak. Sungguh, dalam kondisi seperti ini, saya benar-benar 'hanya seorang ibu'. Meski sudah memperhitungkan kemungkinan seperti ini bisa terjadi, sebagaimana musibah yang dialami oleh dua peserta SM-3T dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang tenggelam di Aceh sekitar dua tahun yang lalu, namun saya tak membayangkan musibah ini akan menimpa kami juga. Sambil manahan tangis, saya menelepon Wahyu lagi.
"Wahyu, apakah Isnaeni tidak mengenakan pelampung?"
Di sela-sela tangisnya yang masih belum reda, Wahyu menjawab. "Tidak, Ibu.....teman-teman sering tidak pakai pelampung sekarang ini, Ibu...."
"Baik, terima kasih." Saya tidak berkata-kata lagi. Hari ini adalah hari naasnya Isnaeni. Bahwa kebetulan dia tidak mengenakan pelampung saat menumpang kapal kecil itu, ini hanyalah sebuah kebetulan. Saya tidak ingin menyesali, kenapa dia tidak memakai pelampung, meskipun sebenarnya, pelampung sudah kami sediakan.
Namun sejurus kemudian, saya menelepon Wahyu lagi. "Wahyu, tolong sampaikan ke teman-teman, selalu pakai pelampung. Memang betul semua sudah takdir kalau sudah saatnya. Tapi setidaknya, ada upaya kita untuk masalah safety. Tolong, Wahyu. Bilang ke teman-teman, jangan merasa sudah cukup beradaptasi, jangan merasa malu pakai pelampung, tolong ya?"
Pagi ini saya ingin berbagi tugas dengan Pak Sulaiman. Saya meminta dia untuk menelepon keluarga Isnaeni. Nomor ponsel Bapak Ali Mashar, ayahnya Isnaeni, sudah saya peroleh. Apa pun yang terjadi, kami harus segera memberi tahu beliau. Tapi saya tidak sanggup untuk melakukannya.
Pak Sulaiman menyanggupi, namun sekitar pukul 09.00, seusai dia ngajar. Itu pun, dia meminta saya ada di dekatnya, supaya bila ayah Isnaeni bertanya-tanya, saya bisa membantu menjawabnya.
Sekitar pukul 08.30, akhirnya saya putuskan, saya yang menghubungi Pak Ali Mashar. Saat ini, informasi apa pun begitu cepat beredar, dan saya khawatir, Pak Ali Mashar akan mendengan dari orang lain sebelum saya memberi tahunya.
Maka dengan tangan gemetar, saya mengangkat telepon, mengirim SMS, "apakah betul ini nomor Bapak Ali Mashar?"
Tak berapa lama, ponsel saya berdering. "Sopo iki?" Suara di seberang.
"Ini Pak Ali Mashar?" Saya balik bertanya.
"Iya, siapa ini?"
"Bapak, saya Luthfiyah, koordinator SM-3T Unesa." Suara saya bergetar, tangan saya gemetaran memegang ponsel. "Bapak, saya ingin mengabarkan, Isnaeni semalam naik kapal, dan kapalnya tenggelam. Sampai saat ini, Isnaeni belum ditemukan." Suara saya tercekat di tenggorokan. Saya berusaha membuat suara saya setegar mungkin. Tapi laki-laki di seberang sana itu tak merespon kata-kata saya. Saya sedang membayangkan, beliau kaget, sedih, tak percaya,' kamitenggengen', sampai tak mampu bersuara.
"Bapak, saya harus segera mengabarkan ini pada Bapak, supaya kita semua di sini bisa bersama-sama berdoa, agar Isnaeni segera ditemukan dan dalam keadaan selamat."
"Iya, iya, amin." Akhirnya beliau menjawab.
"Begitu nggih, Bapak, sementara kabar dari saya, kalau ada kabar baru lagi, saya segera matur pada Bapak."
Pembicaraan saya tutup dengan salam. Saya terduduk lemas di kursi. Dalam kondisi limbung, saya menelepon Mas Nardi, petugas tiket. Saya minta dia cek jadwal pesawat ke Ambon hari ini. Dapat. Ada penerbangan pukul 21.00 menuju Ambon transit Ujungpandang, dan tiba di Ambon besok pagi pukul 06.00 waktu Ambon. Saya memesan dua tiket atas nama Heru Siswanto dan Febry Irsiyanto, dua teman tim PPPG yang sebelumnya sudah saya pastikan dulu kesanggupannya untuk berangkat ke Ambon.
Sore hari, saya menelepon Bapak Ali Mashar.
"Bapak, kalau Bapak ngersakke ke MBD, bisa kami dampingi."
"O begitu? Saya runding dulu dengan keluarga, Bu."
Akhirnya malam itu diputuskan, Pak Ali Mashar akan berangkat bersama Mohamad Nadir, Kakak Isnaeni. Beliau berdua menumpang travel dari Jember pukul 20.00, dan langsung menuju Bandara Juanda. Besok pagi, Pak Rahman Syam Tuasikal, akan mendamping beliau berdua terbang ke Ambon.
Surabaya, 24 Maret 2015
Salam,
LN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H