Agama Islam sudah memasuki umurnya yang ke-15 abad, namun di umurnya yang semakin tua ini, Islam justru semakin tergerus oleh zaman, bukan karena ajaran Islamnya, namun karena pemeluknya. Perkembangan zaman yang semakin cepat dan pesat ini, menuntut kita untuk semakin baik dan bijak dalam beragama dan bermasyarakat.Â
Bukan malah menjadi 'sampah masyarakat' dan problem maker. Disinilah harusnya seorang muslim harus menjadi problem solver dalam sebuah tatanan masyarakat, karena memang manusia diciptakan sebagai pemakmur bumi kita tercinta.
Setidaknya ada dua metode dakwah Islam yang masih menjadi role model saat ini, yaitu metode ceramah (dakwah bil-lisan) dan metode tulisan (dakwah bil-kitabah). Di zaman keterbukaan informasi dan era media sosial saat ini, semua orang bebas berbicara dan menulis apapun, karena memang media sosial disediakan untuk hal-hal seperti itu.Â
Apalagi ditopang dengan undang-undang kebebasan berpendapat yang notabene adalah produk dari demokrasi an sich. Namun permasalahan yang dihadapi sekarang, seberapa kuatkah pengaruh dakwah bil-lisan dan dakwah bil-kitabah di tengah-tengah masyarakat?
Penulis kira pengaruhnya masih kurang optimal dan maksimal, karena justru kedua metode diatas sekarang banyak diselewengkan dan disalahgunakan oleh sebagian penceramah dan  penulis. Maksudnya, justru sebagian penceramah memanfaatkan mimbar ceramahnya untuk menebarkan benih-benih kebencian, permusuhan, pertikaian dan lain sebagianya.Â
Ujaran kebencian (hate speech) sudah bukan menjadi hal yang tabu untuk disampaikan, justru menjadi hal yang lumrah dan biasa. Sebagian penceramah juga memanfaatkan mimbar podiumnya untuk kepentingan agitasi-propaganda yang bisa menyebabkan masyarakat akan mudah tersulut emosinya, apalagi menyangkut hal-hal yang sangat sensitif.
Sebenarnya tugas penceramah itu hanya satu, yaitu mengajak masyarakat ke jalan Tuhannya (An-Nahl : 125). Bukan malah mengajak ke jalan kelompoknya, golongannya, mazhabnya, partainya dan lain sebagainya.Â
Namun kita memang tidak bisa memungkiri bahwa tiap golongan dan kelompok pasti menginginkan untuk mengajak orang sebanyak-banyaknya masuk ke dalam barisan kelompoknya. Dan itu merupakan sebuah realita dan fakta di lapangan yang tak terbantahkan.
Begitu pula para penulis, semenjak ada media sosial, kata-kata dan tulisan saat ini bukan menjadi 'barang mewah' lagi, tapi sudah menjadi sesuatu yang biasa dan sangat murah harganya. Karena siapapun bisa menulis apapun di media sosial.Â
Baik itu tulisan yang berbobot dan berkualitas maupun hanya sekedar tulisan biasa. Sebagian mereka memanfaatkan tulisannya hanya untuk memfitnah kelompok dan golongan orang lain yang tidak seide dan sependapat dengannya.Â
Menyebarkan berita hoax yang akibatnya bisa sangat fatal, diantaranya pembunuhan karakter, pembunuhan reputasi dan mungkin bisa sampai pertumpahan darah. Sebagian penulis juga memanfaatkan situasi dan kondisi hanya untuk meraup keuntungan pribadi dengan membawa-bawa isu SARA dalam tulisannya, yang hal itu sangat sensitif di tingkat masyarakat grass-root.