[caption caption="http://3.bp.blogspot.com/"][/caption]69 tahun sudah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berkiprah di negeri ini. Tepat dua tahun setelah Bangsa ini merdeka, HMI lahir di tengah-tengah krisis dan transisi Bangsa ini setelah kemerdekaannya. Pasang surut organisasi ini pun tak terelakkan. Mulai terpecahnya organisasi ini menjadi dualisme kepemimpinan antara DIPO dan MPO karena asas tunggal Pancasila yang diberlakukan oleh pemerintah Soeharto waktu itu. Walaupun terpecah menjadi dua, HMI sampai sekarang bisa melewati terpaan badai dualisme tersebut dan masih bisa eksis sampai saat ini.
Justru dinamika organisasi yang semakin kompleks inilah yang membuat HMI bisa terus mengawal dan menatap masa depan Bangsa ini ke depan lebih cerah. HMI semakin tumbuh dewasa dan usianya semakin menua, seperti umur Bangsa ini. Ibarat roda sepeda, HMI harus terus bergerak untuk menjaga keseimbangan organisasinya, walaupun terjadi konflik internal disana-sini dan kader-kader HMI yang semakin lama semakin oportunis dan pragmatis.
Menurut hemat penulis, HMI ibarat gula manis yang selalu diperebutkan oleh para semut dari seantero penjuru Tanah Air. HMI kerap dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk menunggangi dan menjadi kendaraan politik mereka supaya bisa meraih kekuasaan dan meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dengan menghalalkan segala cara. Tentunya ini tidak sesuai dengan ruh HMI sendiri yang selalu menjaga independensi organisasi dari kepentingan dan muatan politik apapun. Tapi apa dikata, banyak kader-kader HMI yang terjerat dalam kubangan politik praktis yang menyebabkan trust masyarakat kita semakin menurun.
HMI masih dikenal masyarakat sebagai organisasi pergerakan mahasiswa yang sering membuat ulah dan anarkistis. Walaupun sebagian masyarakat juga tidak menutup mata kalau HMI juga dikenal sebagai organisasi yang selalu mengedepankan faktor intelektual dalam setiap langkahnya. Terbukti banyak kaum Intelektual di negeri ini yang dihasilkan dari rahim HMI, sebut saja Cak Nur. Sebagian besar masyarakat Indonesia juga mengenal HMI ini sebagai mesin pencetak pemimpin negeri, organisasi yang selalu mereproduksi para Politisi ulung dan mumpuni.
Tak ayal, kalau hampir sebagian besar dan mayoritas para pemangku kebijakan baik yang di Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif semuanya banyak didominasi oleh kader-kader HMI dari seluruh pelosok negeri. Pun di lembaga-lembaga Negara lainnya tak lepas dari kader-kader HMI yang berkecimpung di dalamnya. HMI juga dikenal luas sebagai organisasi yang melahirkan banyak pengusaha dalam berbagai lini dan bidang.
Hal ini menunjukkan bahwa HMI adalah salah satu bagian dari Bangsa Indonesia yang turut berkontribusi aktif dalam memajukan Negara tercinta ini dan tentunya turut memperbaiki taraf hidup rakyat Indonesia lewat kebijakan-kebijakan Pemerintah. Juga membuktikan bahwa HMI adalah salah satu komponen penting Bangsa ini yang sangat concern dan peduli terhadap masa depan negerinya.
HMI Harus Berbenah
Di usia yang sudah tidak muda lagi, sudah seyogyanya HMI terus berbenah ke arah yang lebih baik. HMI harus kembali ke khittah perjuangannya. HMI harus mencontoh Founding Father-nya sendiri yaitu Lafran Pane. Bagaimana kesederhanaan dan kebersahajaan beliau dalam menapaki hidup dan perjuangannya selama memimpin HMI. Bagaimana strong leadership beliau ketika menghadapi berbagai konflik yang menimpa organisasi yang dibesutnya. Dan masih banyak lagi pelajaran berharga yang dapat dipetik dari sosok Lafran Pane.
Melihat fakta di lapangan sekarang, rata-rata kader HMI hanya pandai beretorika, hanya pintar bersilat lidah dan hanya berhenti pada tataran verbalistik. Tapi ketika dihadapkan pada tataran praksis dan implementasi, kebanyakan mlempem di tengah jalan. Inilah yang disayangkan oleh sebagian masyarakat kita yang menaruh harapan besar pada organisasi mahasiswa terbesar dan tertua ini.
Masyarakat sekarang sudah cerdas memilih dan memilah pemimpin yang ideal. Maka sudah seharusnya kader HMI harus tampil beda dan mempunyai terobosan-terobosan baru jika nanti sudah terjun di masyarakat. Sebenarnya masyarakat itu nggak butuh gelar kita, masyarakat nggak butuh titel yang berjejer banyak di depan dan belakang nama kita. Tapi yang masyarakat butuhkan adalah pengabdian dan kontribusi kita di masyarakat sebagai creator of change, bukan lagi sebagai agent of change. karena kader HMI itu sebagai kader pencipta perubahan sesuai tujuan didirikannya organisasi ini, bukan hanya sebagai agen perubahan.
Jika kader HMI yang nantinya mau menduduki jabatan-jabatan strategis di Pemerintahan ataupun yang ingin menjadi pemimpin di suatu daerah tertentu, maka sudah selayaknya kader HMI menjadi pemimpin sekaligus menjadi pengabdi untuk umat dan rakyat, serta sebagai problem solver terhadap daerah yang dipimpinnya tersebut. Bukan malah menjadi benalu dan ikut-ikutan memakan uang rakyat yang seharusnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Oleh karena itu, lima prinsip Insan Cita yang tertera dalam tujuan HMI itu harus dipegang betul dan benar-benar dilaksanakan oleh seluruh kader HMI se-Indonesia kalau memang HMI ingin berbenah dan ada perubahan yang signifikan untuk kebaikan HMI dan kebaikan bersama. Jika tidak, maka tunggulah bom waktu, suatu saat HMI akan ditinggalkan oleh masyarakat dan hanya tinggal nama saja. Tapi semoga saja tidak terjadi, karena penulis yakin sampai saat ini banyak sekali kader-kader HMI yang memang berkualitas dan benar-benar menjalankan lima prinsip Insan Cita. Sehingga menjadi kader yang militan dan mempunyai ruh perjuangan yang tinggi.
“Setiap kemajuan meniscayakan adanya perubahan, tapi setiap perubahan tidak meniscayakan adanya kemajuan”. Begitulah kata adagium populer yang sudah masyhur dan tidak asing lagi di telinga kita. Jika HMI ingin berbenah, maka harus ada perubahan, baik itu perubahan yang bersifat internal maupun eksternal. Dan yang paling terpenting adalah perubahan terhadap mental kader-kader HMI itu sendiri. Meminjam kata-kata salah satu senior HMI ketika melihat kondisi HMI dari waktu ke waktu, “ketika ingin melihat kualitas dan sisi intelektualitas dalam tubuh HMI, lihatlah tahapan perkaderan dalam HMI dari LK 1 sampai LK 3”.
Senioritas Dalam Tubuh HMI
Di HMI, senioritas sampai sekarang masih berlaku, dan mungkin tradisi ini akan bertahan sampai seterusnya, mengingat tradisi ini sudah mendarah daging bagi kader HMI dari generasi ke generasi. Di satu sisi, senioritas memang penting, dalam artian supaya untuk menjaga keseimbangan roda organisasi. Karena senior disini bertindak sebagai seorang yang dituakan oleh juniornya, sehingga masukan, saran dan nasehatnya selalu dinanti untuk bisa menjaga keberlangsungan organisasi secara baik dan bijak.
Namun disisi lain, senior justru kadang menjadi penghambat dari perkembangan sebuah organisasi, terlebih organisasi HMI, yang mana terkadang persaingan antar senior yang membawa kepentingan masing-masing selalu melibatkan para juniornya untuk masuk ke dalam kancah kontestasi persaingan elit-elit senior ini. Ada semacam benturan keras kepentingan politik, sehingga sering terjadi gesekan tajam yang hampir menimbulkan kontak fisik antar sesama kader maupun antar kubu senior dengan bala tentaranya masing-masing.
Inilah sebetulnya yang disayangkan, harusnya persaingan politik di tubuh HMI berlangsung secara sehat dan aman. Nggak usahlah membawa-bawa massa baik kader HMI sendiri maupun massa bayaran untuk bisa memenangkan kontestasi politik di tubuh HMI. Penulis sangat maklum, karena memang dinamika dan dialektika politik yang terjadi di HMI sangatlah kompleks dan cukup klimaks, lobi-lobi politik sana-sini, bahkan iming-iming mahar politik pun kadang masih menjadi ‘senjata ampuh’ untuk menaklukkan lawan politiknya.
Tradisi inilah yang harusnya kita hilangkan sedikit demi sedikit, karena mau tidak mau, sadar tidak sadar, tradisi inilah yang nantinya akan kita bawa ketika kita sudah terjun ke masyarakat dan kita ingin mencalonkan diri untuk menjadi calon pemimpin di daerah tertentu. Kita harus memotong dan memutus lingkaran setan yang selalu ditradisikan oleh kebanyakan kader-kader HMI.
Senior bukanlah dewa yang selalu benar dan harus kita taati. Senior hanyalah manusia biasa yang bisa salah dan lupa. Oleh karenanya, kita sebagai kader HMI jangan sampai terbuai oleh bujuk rayu senior. Jika memang itu menurut kita salah, kita wajib untuk meluruskannya, kalau masih belum berani untuk menegur dan meluruskan, maka tolaklah secara halus dan baik-baik, minimal sekali kita ingkari dalam hati.
Penulispun tidak menutup mata, bahwa banyak sekali senior-senior di HMI yang telah menjadi orang-orang besar dan orang-orang sukses baik di tingkat nasional maupun internasional. Merekalah sebenarnya contoh kita dalam ber-HMI. Merekalah teladan kita untuk bisa menggapai kesuksesan. Bukan kader-kader HMI yang mungkin sekarang mendekam di bui karena kasus korupsi maupun kasus-kasus yang lain.
Selalu Mengelu-elukan Senior
Penulis melihat dan menilai bahwa kebanyakan kader-kader HMI sekarang sudah kehilangan militansi perjuangannya. Dalam artian sikap kemandirian dan survive ketika menghadapi berbagai permasalahan. Sedikit-sedikit minta bantuan senior, sedikit-sedikit mengajukan proposal ke senior. Hal inilah yang kemarin disinggung oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla pada waktu pembukaan Kongres HMI XXIX di Pekanbaru. Beliau bercerita kalau dahulu ketika HMI ingin mengadakan Kongres, maka beliau dan kawan-kawan sama sekali tidak mengandalkan dan menggantungkan para senior untuk membiayai Kongres, tapi beliau dan kawan-kawan berjuang bagaimana supaya mendapatkan uang dan dana lewat aksi kemandirian dan kewirausahaan. Beliau dan kawan-kawannya berjualan aneka makanan dan minuman untuk membiayai acara Kongres.
Kreativitas dan inovasi dari kebanyakan kader HMI seakan tumpul ketika sudah menghadapi yang namanya “dana”. Mereka nggak mau ambil pusing untuk mencari dana lewat aksi-aksi kemandirian dan kewirausahaan. Mereka lebih mengambil jalan praktis dan instan, yaitu langsung “menggedor pintu” rumah senior untuk ‘ditodong’ proposal. Meski kegiatan mencari dana lewat proposal itu bagus, karena untuk melatih diri kita untuk fund rising apabila nanti kita sudah terjun di tengah-tengah masyarakat. Tapi setidaknya, kita tidak selalu berada di dalam “zona nyaman”, dalam artian di pangkuan senior. Dan untuk keluar dari zona nyaman tersebut, kita harus mendobraknya lewat kreasi dan inovasi serta selalu menanamkan sifat kemandirian sejak dini.
Tantangan Bangsa ke Depan
Tahun ini merupakan tahun dimana HMI harus bisa menjadi garda terdepan dalam menjawab persoalan-persoalan Bangsa yang kian lama kian runyam. HMI tidak boleh manjadi ‘macan ompong’ di Negara sendiri. Angka pengangguran dan kemiskinan yang semakin naik harusnya menjadi PR besar buat HMI untuk selalu menyuarakan hak-hak mereka di level Pemerintahan. Apalagi awal tahun 2016 ini, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sudah resmi berlaku. Arus deras tenaga kerja asing yang akan membanjiri Indonesia tidak bisa dibendung dan tidak terelakkan lagi. Tentu hal ini akan menjadi momok buat para pekerja Indonesia yang tidak mempunyai skill dan keterampilan yang memadai dan mumpuni.
Sudah menjadi sebuah kelaziman, apabila angka pengangguran semakin meningkat, otomatis angka kriminalitas pun juga meningkat. Karena mereka harus mencari uang untuk sesuap nasi dan bertanggung jawab untuk membiayai kehidupan anak istri. Maka estafet kepengurusan baru PB HMI yang kemarin baru saja dilantik harus membuat resolusi untuk perbaikan Bangsa Indonesia ke depan, terutama masalah kemiskinan dan pengangguran.
Belum lagi carut marutnya masalah politik kita yang seolah-olah dikebiri oleh Korporatokrasi dan pihak-pihak asing yang ingin mendominasi Indonesia. Kasus-kasus lama seperti Freeport seolah menjadi “borok lama” yang dibuka kembali di permukaan. Kata Prof. Yusril Ihza Mahendra dalam sebuah kesempatan diskusi di salah satu stasiun televisi swasta mengatakan, “kalau 74 persen tanah di Indonesia ini sudah dikuasai oleh orang-orang non-pribumi. Sisanya yang 26 persen dikuasai oleh Negara dan orang-orang pribumi”. Sadar nggak sadar, Neo-Kolonialisme sudah menghegemoni dan menancapkan jangkarnya di tanah Ibu Pertiwi yang kita cintai ini. Sudah barang tentu hal ini merupakan sebuah fakta yang sangat pahit. Tapi mau gimana lagi? Mau nggak mau, kita harus ‘berdamai’ dengan realita.
Lewat esai yang singkat ini, penulis berharap supaya di usia yang ke-69 tahun, HMI bisa hadir dan pasang badan untuk terus mengawal Bangsa tercinta ini dari berbagai ancaman, baik ancaman yang sifatnya internal maupun eksternal, sebagaimana HMI lahir disebabkan karena adanya ancaman dari internal maupun eksternal Bangsa ini. Yakusa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H