Pemagaran laut merupakan isu yang mencerminkan hubungan kompleks antara negara, korporasi, dan masyarakat, khususnya nelayan, dalam pengelolaan sumber daya alam laut. Dalam konteks ini, pemagaran laut sering kali dilihat sebagai instrumen pengendalian yang digunakan oleh pemerintah dan pihak swasta untuk mengatur akses terhadap wilayah perairan tertentu. Namun, dalam perspektif nelayan, tindakan ini dapat menimbulkan ketimpangan sosial dan ekonomi, karena akses mereka terhadap sumber daya laut yang telah menjadi mata pencaharian sehari-hari menjadi terbatas. Sebagai bagian dari masyarakat yang bergantung pada kelestarian ekosistem laut, nelayan memiliki pandangan yang berbeda tentang kebijakan pemagaran laut, yang sering kali berbenturan dengan kepentingan komersial dan pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, penting untuk memahami dinamika pemagaran laut ini lebih dalam, melihatnya dari sisi nelayan sebagai aktor yang terpengaruh langsung, serta bagaimana relasi antara negara, korporasi, dan rakyat dalam hal ini membentuk kebijakan yang ada.
Pemagaran laut di wilayah utara Jakarta dan Tangerang telah memicu polemik serius, terutama di kalangan masyarakat nelayan yang kehidupannya sangat bergantung pada akses bebas ke laut. Fenomena ini mencerminkan dinamika ketimpangan struktural di mana kepentingan kelompok nelayan tradisional seringkali terabaikan demi keberlanjutan proyek-proyek besar yang didukung korporasi dan pemerintah. Dalam konteks sosiologi dan antropologi, situasi ini memperlihatkan bagaimana modernisasi pesisir, yang diwujudkan dalam bentuk reklamasi dan infrastruktur besar, telah menciptakan marginalisasi terhadap kelompok lokal yang paling rentan.
Berdasarkan laporan terbaru, pagar laut sepanjang 30,16 km di wilayah Tangerang secara langsung berdampak pada sekitar 3.888 nelayan (Tribuntangerang, 2025). Dampak ini tidak hanya berupa kehilangan akses terhadap ruang tangkap, tetapi juga menghancurkan ekosistem yang selama ini menjadi penopang kehidupan nelayan kecil. Studi Ombudsman mengungkapkan kerugian ekonomi yang mencapai Rp 9 miliar, angka ini bahkan disebut sebagai hitungan sementara (Liputan6, 2025). Di sisi lain, protes nelayan seringkali direspons dengan sikap permisif terhadap pelanggaran tata kelola pesisir oleh korporasi besar.
Secara teoritis, pemagaran laut dapat dianalisis melalui perspektif teori modernisasi dan konflik kelas. Modernisasi pesisir sering dianggap sebagai upaya meningkatkan nilai ekonomi kawasan, tetapi sering mengorbankan keberlanjutan sistem sosial masyarakat lokal. Menurut Polanyi (1944), transformasi semacam ini mengabaikan 'fungsi sosial' ekosistem, yang bagi nelayan tradisional merupakan bukan hanya sumber ekonomi tetapi juga identitas budaya. Reklamasi laut dan pembangunan pagar membatasi akses terhadap sumber daya yang telah dikelola secara kolektif oleh komunitas nelayan. Dalam perspektif konflik kelas, situasi ini dapat dilihat sebagai bentuk eksklusi struktural, di mana kekuatan ekonomi dan politik mendominasi dan meminggirkan kelompok lokal yang lemah secara ekonomi dan politik (Harvey, 2005).
Dari segi kebijakan, pemerintah melalui Menteri ATR/BPN telah berjanji untuk mencabut sertifikat hak guna bangunan (SHGB) yang terkait dengan reklamasi laut di wilayah tersebut (Tempo, 2025). Namun, langkah ini masih terkesan parsial tanpa diikuti dengan kebijakan strategis untuk mengembalikan akses laut kepada nelayan. Menteri Kelautan dan Perikanan juga telah mengkritik praktik pemagaran laut karena tidak hanya merugikan nelayan tetapi juga mengganggu keberlangsungan infrastruktur publik seperti pembangkit listrik tenaga uap (Kompas, 2025). Kritik ini mencerminkan kesadaran parsial akan dampak luas dari kebijakan pesisir yang tidak inklusif.
Dalam konteks antropologi, laut tidak hanya dianggap sebagai ruang ekonomi tetapi juga sebagai lanskap budaya yang menyimpan nilai-nilai keberlanjutan. Bagi nelayan tradisional, laut merupakan 'rumah besar' di mana interaksi ekologis dan sosial terjadi secara holistik. Ketika ruang ini dimonopoli oleh pagar-pagar beton, terjadi dekonstruksi terhadap hubungan masyarakat dengan alamnya. Hal ini diperparah oleh hilangnya kontrol kolektif masyarakat lokal terhadap sumber daya, yang merupakan inti dari apa yang disebut Ostrom (1990) sebagai common-pool resources.
Fenomena pemagaran laut juga memperlihatkan celah besar dalam kebijakan tata kelola pesisir. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil seharusnya menjadi payung hukum yang melindungi akses masyarakat terhadap sumber daya pesisir. Namun, dalam praktiknya, implementasi undang-undang ini seringkali kalah oleh kekuatan modal besar. Kritik yang disampaikan oleh aktivis nelayan, seperti yang disuarakan oleh Kholid dari Tangerang, menekankan pentingnya peran pemerintah untuk menegakkan keadilan sosial dengan menghentikan proyek-proyek yang hanya menguntungkan elite ekonomi (Tirto, 2025).
Apa yang bisa dilakukan? Pertama, pemerintah harus mengadopsi kebijakan yang mendahulukan pendekatan ekologi-sosial dalam tata kelola pesisir. Konsep blue economy yang berkelanjutan bisa menjadi alternatif untuk menjaga keseimbangan antara pembangunan dan keberlanjutan ekosistem. Kedua, penguatan hak kelola nelayan tradisional harus menjadi prioritas. Pemerintah harus menyediakan mekanisme legal yang melindungi ruang tangkap nelayan dari privatisasi. Ketiga, harus ada audit menyeluruh terhadap proyek-proyek reklamasi yang selama ini dianggap melanggar prinsip-prinsip keberlanjutan. Keempat, dialog partisipatif antara pemerintah, nelayan, dan akademisi perlu dilakukan untuk mencari solusi kolektif yang menguntungkan semua pihak.
Pemagaran laut merupakan refleksi dari konflik antara modernisasi ekonomi dan keberlanjutan sosial-ekologis. Keputusan kebijakan yang mengabaikan hak-hak nelayan tradisional hanya akan memperburuk ketimpangan dan menghancurkan fondasi sosial masyarakat pesisir. Oleh karena itu, langkah nyata harus segera diambil untuk menghentikan praktik pemagaran laut yang merugikan. Keberpihakan pemerintah terhadap nelayan bukan hanya janji politik, tetapi juga merupakan amanah konstitusi yang harus dijalankan secara konsisten.
#pemagaranlaut
#pakkholid
#nelayan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI