#seribelajarperubahaniklim
Saya adalah seorang geograf, yang sedang belajar tentang perubahan iklim. Salah satu cara berpikir geograf adalah spatial atau keruangan. Dalam melihat sesuatu fenomena alam, termasuk perubahan iklim, ketika sudah memahami karakter dan dampak perubahan iklim, pertanyaan berlanjut dengan "secara lokasi keruangan, apakah perubahan iklim terjadi disemua tempat atau memiliki pola distribusi yang khusus?". Pada bahasan belajar kali ini, ingin menyampaikan perubahan iklim dalam konteks spasial. Ada dua tipologi wilayah, satu wilayah sebagai penjaga dan stabilisator perubahan illim dan kedua wilayah yang terdampak atau berisiko besar menghadapi perubahan iklim. Dua tipe wilayah harus dijaga keseimbangannya. Berikut ulasannya.
Perubahan iklim merupakan salah satu tantangan global yang paling mendesak di abad ini. Indonesia, sebagai negara kepulauan yang kaya akan keanekaragaman hayati, menghadapi dampak perubahan iklim yang signifikan. Tanda-tanda perubahan iklim di Indonesia terlihat jelas melalui peningkatan suhu rata-rata, perubahan pola curah hujan, kenaikan muka air laut, dan peningkatan intensitas bencana alam seperti banjir dan kekeringan (IPCC, 2021). Namun, pendekatan mitigasi dan adaptasi yang ada masih sering mengabaikan aspek distribusi keruangan. Padahal, tinjauan spasial sangat penting untuk memahami variasi kerentanan dan potensi mitigasi di berbagai wilayah di Indonesia.
Dalam konteks spasial, Indonesia memiliki wilayah-wilayah yang sangat bervariasi dalam hal kerentanan terhadap perubahan iklim. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Semarang menjadi kawasan yang sangat rentan terhadap banjir akibat kombinasi dari kenaikan muka air laut, penurunan permukaan tanah, dan perubahan pola curah hujan. Jakarta, misalnya, menghadapi ancaman yang sangat serius dari banjir rob yang telah meningkat secara signifikan dalam dua dekade terakhir (Ward et al., 2020). Penelitian menunjukkan bahwa tanpa intervensi yang memadai, hingga 40% wilayah Jakarta dapat terendam pada tahun 2050 akibat kenaikan muka air laut dan subsiden tanah (Deltares, 2021).
Sementara itu, wilayah pesisir di Indonesia timur seperti Pulau Maluku dan Papua memiliki tantangan berbeda. Di satu sisi, kawasan ini menghadapi risiko kerusakan ekosistem pesisir seperti mangrove dan terumbu karang akibat pemanasan laut dan aktivitas manusia. Di sisi lain, kawasan ini juga memiliki potensi besar sebagai benteng perubahan iklim. Hutan tropis di Papua, yang merupakan salah satu paru-paru dunia, mampu menyerap sekitar 2,5 miliar ton karbon per tahun (Austin et al., 2019). Sayangnya, deforestasi yang terus meningkat akibat ekspansi perkebunan dan penebangan liar mengancam fungsi ekologis kawasan ini.
Kerentanan spasial juga terlihat pada wilayah-wilayah yang menjadi pusat pertanian seperti Jawa dan Sumatra. Perubahan pola curah hujan telah menyebabkan kegagalan panen dan kerugian ekonomi yang signifikan bagi petani. Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa anomali iklim El Nio pada tahun 2019 menyebabkan kekeringan parah di sebagian besar wilayah Jawa, yang mengakibatkan penurunan hasil panen hingga 30% (BMKG, 2020). Hal ini mempertegas pentingnya pengelolaan risiko iklim berbasis lokasi untuk melindungi ketahanan pangan nasional.
Namun, tidak semua wilayah di Indonesia menghadapi dampak negatif yang sama. Beberapa kawasan seperti Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatra dan Taman Nasional Lorentz di Papua masih memiliki tingkat konservasi yang tinggi, menjadikannya kawasan strategis dalam mitigasi perubahan iklim. Hutan di kawasan ini tidak hanya berfungsi sebagai penyerap karbon, tetapi juga sebagai pelindung keanekaragaman hayati yang menjadi fondasi ekosistem yang sehat dan berkelanjutan (Gaveau et al., 2014). Oleh karena itu, upaya pelestarian hutan harus menjadi prioritas kebijakan, baik melalui penegakan hukum yang lebih ketat maupun melalui program insentif seperti pembayaran jasa ekosistem.
Pendekatan mitigasi spasial tidak hanya berfokus pada pelestarian lingkungan, tetapi juga pada penguatan kapasitas masyarakat lokal. Wilayah pesisir yang sering terdampak bencana seperti banjir rob memerlukan intervensi infrastruktur yang berbasis ekosistem, seperti penanaman mangrove dan pembangunan tanggul hijau. Penelitian menunjukkan bahwa ekosistem mangrove dapat mengurangi dampak gelombang tsunami hingga 50% (Alongi, 2008). Oleh karena itu, rehabilitasi mangrove di wilayah pesisir seperti Pantura Jawa harus menjadi bagian integral dari strategi mitigasi perubahan iklim.
Selain itu, pemerintah harus mengintegrasikan pendekatan spasial ke dalam rencana pembangunan wilayah. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus memasukkan analisis risiko iklim sebagai salah satu indikator utama dalam menentukan zonasi wilayah. Kota-kota besar yang rentan terhadap banjir harus mengadopsi pendekatan urban resilience yang berbasis pada teknologi dan pengelolaan risiko bencana. Misalnya, kota Semarang telah berhasil mengembangkan sistem drainase berbasis teknologi informasi yang mampu memprediksi potensi banjir secara real-time (World Bank, 2020).
Analisis perubahan iklim di Indonesia memerlukan pendekatan mitigasi dan adaptasi yang berbasis pada analisis spasial dan regional. Kebijakan yang berbasis data spasial dapat membantu mengidentifikasi wilayah yang paling rentan serta wilayah yang memiliki potensi besar sebagai penjaga tren perubahan iklim. Pemerintah harus mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk melindungi kawasan konservasi, meningkatkan ketahanan infrastruktur, dan memperkuat kapasitas masyarakat lokal dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Dengan demikian, Indonesia tidak hanya mampu mengurangi risiko iklim secara nasional, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan dalam upaya global melawan perubahan iklim.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI