Mohon tunggu...
luthfi mutaali
luthfi mutaali Mohon Tunggu... Dosen - pembelajar/peneliti/konsultan

saya meminati bidang pembangunan wilayah, tata ruang, ekonomi regional dan perencanaan lingkungan hidup

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Proyek Tanggul Laut Raksasa (GIANT SEA WALL), Solusi atau Ancaman Baru Jakarta

14 Januari 2025   21:59 Diperbarui: 14 Januari 2025   21:59 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ihttps://images.app.goo.gl/QpEQk2A93Kzkw4JAA

Diakhir tahun 2024, ada dua statement yang berbeda antara Pemerintahan Prabowo yang telah menjadikan Giant Sea Wall sebagai proyek strategis nasional, dan calon Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung yang justru lebih prefer kepada Giant Mangrove Sea Wall. Berita kontras tersebut bisa disaksikan diberbagai media cetak. Melanjutkan diskusi tentang dampak perubahan iklim dan respon yang akan dilakukan pemerintah, sangat menarik diskursus dua pendapat tersebut, sehingga memunculkan ide dengan judul Menimbang Mega Proyek Tanggul Laut Raksasa (Giant Sea Wall): Solusi atau Ancaman Baru bagi Jakarta?

Jakarta, sebagai ibu kota negara sekaligus salah satu kota terpadat di dunia, menghadapi ancaman yang semakin nyata dari perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Dengan posisi geografis yang rendah, laju penurunan muka tanah yang mencapai 10 cm per tahun (Abidin et al., 2011), serta kenaikan permukaan laut yang diperkirakan mencapai 1,1 meter pada akhir abad ini (IPCC, 2021), Jakarta berisiko tenggelam dalam beberapa dekade mendatang. Dalam menghadapi krisis ini, pemerintah mencanangkan pembangunan Tanggul Laut Raksasa atau Giant Sea Wall, sebuah mega proyek ambisius yang bertujuan melindungi Jakarta dari banjir dan intrusi air laut. Namun, di balik janji besar proyek ini, terdapat tantangan, risiko, dan kontroversi yang harus dipertimbangkan dengan cermat.

Proyek Giant Sea Wall dirancang sebagai tanggul besar berbentuk burung garuda yang akan mencakup area reklamasi dan menjadi penghalang utama terhadap naiknya air laut. Dengan biaya yang diperkirakan mencapai Rp 500 triliun, proyek ini menjadi salah satu upaya mitigasi perubahan iklim terbesar di Asia Tenggara. Namun, keberhasilannya tidak hanya ditentukan oleh pembangunannya, tetapi juga oleh dampak ekologis, sosial, dan ekonomi yang dihasilkan.

Data menunjukkan bahwa banjir rob di Jakarta semakin sering terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Pada Januari 2020, banjir besar menggenangi hampir seluruh wilayah Jakarta, menyebabkan lebih dari 60.000 orang mengungsi dan kerugian ekonomi mencapai Rp 10 triliun. Tanggul Laut Raksasa dirancang untuk mencegah kejadian serupa, dengan sistem yang menggabungkan tanggul beton, polder, dan stasiun pompa untuk mengontrol aliran air. Dalam skenario terbaik, proyek ini akan melindungi 10 juta penduduk Jakarta dari ancaman banjir dan meningkatkan daya tarik investasi di kota ini.

Namun, ada beberapa pertanyaan mendasar yang perlu dijawab sebelum proyek ini dilanjutkan. Pertama, apakah solusi infrastruktur besar seperti Giant Sea Wall benar-benar efektif dalam menghadapi perubahan iklim yang kompleks? Studi menunjukkan bahwa pendekatan berbasis ekosistem, seperti rehabilitasi mangrove dan pengelolaan lahan basah, seringkali lebih efektif dalam jangka panjang. Mangrove, misalnya, mampu menyerap karbon hingga 10 kali lebih banyak dibandingkan hutan daratan, sekaligus memberikan perlindungan alami terhadap gelombang pasang (Alongi, 2012).

Kedua, dampak ekologis dari proyek ini tidak bisa diabaikan. Reklamasi besar-besaran untuk pembangunan tanggul berpotensi menghancurkan habitat laut, mengurangi keanekaragaman hayati, dan memperburuk intrusi air laut di wilayah lain. Kasus serupa terjadi di Teluk Jakarta, di mana reklamasi sebelumnya menyebabkan hilangnya habitat ikan, yang berdampak pada penurunan hasil tangkapan nelayan hingga 50% (Dinas Perikanan DKI Jakarta, 2018).

Ketiga, proyek ini juga menimbulkan dampak sosial yang signifikan. Ribuan keluarga nelayan yang tinggal di pesisir Jakarta menghadapi ancaman kehilangan mata pencaharian akibat reklamasi dan perubahan pola hidrodinamika laut. Mereka tidak hanya kehilangan akses ke laut, tetapi juga menghadapi potensi penggusuran tanpa kompensasi yang memadai. Dalam konteks ini, proyek ini berisiko meningkatkan ketimpangan sosial di kota yang sudah sangat rentan.

Dari sisi ekonomi, biaya pembangunan Giant Sea Wall menjadi perhatian utama. Dengan estimasi awal Rp 500 triliun, proyek ini membutuhkan dukungan pembiayaan yang besar dari pemerintah dan investor swasta. Namun, pengalaman dari proyek serupa di Belanda menunjukkan bahwa biaya pemeliharaan infrastruktur semacam ini seringkali melebihi perkiraan awal. Jika tidak dikelola dengan baik, beban ekonomi ini dapat berakhir sebagai utang besar yang membebani pemerintah dan masyarakat.

Solusi alternatif perlu dipertimbangkan untuk melengkapi atau bahkan menggantikan proyek Giant Sea Wall. Penurunan eksploitasi air tanah, yang menjadi penyebab utama penurunan muka tanah di Jakarta, adalah langkah awal yang harus segera diambil. Pemerintah dapat memperketat regulasi penggunaan air tanah dan memperluas jaringan distribusi air bersih sebagai alternatif. Selain itu, rehabilitasi mangrove dan pengembangan infrastruktur hijau dapat memberikan solusi jangka panjang dengan biaya yang lebih rendah dan dampak ekologis yang lebih positif.

Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan implementasi proyek ini juga menjadi faktor krusial. Banyak nelayan dan komunitas pesisir yang merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, meskipun mereka adalah pihak yang paling terdampak. Dalam konteks ini, pemerintah harus memastikan bahwa proses konsultasi publik berjalan secara inklusif dan transparan. Hanya dengan cara ini, proyek ini dapat diterima secara luas oleh masyarakat dan memberikan manfaat yang adil bagi semua pihak.

Giant Sea Wall adalah proyek ambisius yang menjanjikan perlindungan bagi Jakarta dari ancaman banjir rob dan intrusi air laut. Namun, keberhasilannya tidak hanya ditentukan oleh infrastruktur yang dibangun, tetapi juga oleh bagaimana proyek ini diintegrasikan dengan pendekatan berbasis ekosistem, keberlanjutan ekonomi, dan inklusi sosial. Pemerintah harus memastikan bahwa proyek ini tidak menjadi solusi parsial yang mengabaikan akar masalah, tetapi bagian dari strategi komprehensif untuk membangun ketahanan Jakarta di masa depan. Dengan mempertimbangkan semua aspek ini, kita dapat memastikan bahwa Giant Sea Wall benar-benar menjadi pelindung Jakarta, bukan ancaman baru yang menambah kompleksitas masalah yang ada. Ironis lagi, jika Giant Sea Wall hanya menjadi debat politik, yang tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru membuat rakyat bingung. Apa maunya?.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun