Mohon tunggu...
luthfi mutaali
luthfi mutaali Mohon Tunggu... Dosen - pembelajar/peneliti/konsultan

saya meminati bidang pembangunan wilayah, tata ruang, ekonomi regional dan perencanaan lingkungan hidup

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

PERUBAHAN IKLIM, Seriuskah kita menyiapkan diri?

13 Januari 2025   06:51 Diperbarui: 13 Januari 2025   06:51 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perubahan iklim adalah salah satu tantangan global terbesar abad ini. Dampaknya tidak lagi bersifat prediktif, tetapi nyata dan dirasakan langsung oleh masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sebagai negara kepulauan yang terletak di kawasan tropis, Indonesia menghadapi risiko signifikan akibat perubahan iklim, mulai dari peningkatan suhu rata-rata, naiknya permukaan laut, hingga intensitas bencana alam yang semakin tinggi seperti banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan. Namun, langkah-langkah mitigasi dan adaptasi yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam dekade terakhir menimbulkan pertanyaan besar terkait keseriusan respon terhadap krisis ini.

Bukti empiris menunjukkan bahwa perubahan iklim di Indonesia berlangsung dengan cepat. Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan bahwa rata-rata suhu di Indonesia meningkat sebesar 0,03C per tahun selama 40 tahun terakhir. Selain itu, laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2022) menyebutkan bahwa dalam satu dekade terakhir, frekuensi bencana hidrometeorologi seperti banjir meningkat hingga 81%, yang sebagian besar dipicu oleh perubahan pola curah hujan akibat pemanasan global. Dampak ini tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengancam keberlanjutan sosial-ekonomi masyarakat.

Deforestasi adalah salah satu penyumbang utama emisi gas rumah kaca di Indonesia. Data dari Global Forest Watch (2021) menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan sekitar 10 juta hektar tutupan hutan primer dalam dua dekade terakhir. Aktivitas ini sebagian besar dipicu oleh konversi lahan untuk perkebunan kelapa sawit, yang sering kali dilakukan atas nama ketahanan pangan dan energi. Ironisnya, kebijakan ekspansi sawit kerap mengabaikan dampak jangka panjang terhadap lingkungan. Studi oleh Austin et al. (2019) mengonfirmasi bahwa deforestasi terkait sawit menyumbang sekitar 25% dari total emisi karbon tahunan Indonesia. Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara prioritas ekonomi dan upaya mitigasi perubahan iklim.

Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah tertentu untuk merespon tantangan perubahan iklim. Salah satunya adalah komitmen melalui Nationally Determined Contributions (NDC) yang disampaikan dalam Kesepakatan Paris 2015. Indonesia berjanji untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan upaya sendiri, atau hingga 41% dengan bantuan internasional pada 2030. Namun, laporan Climate Action Tracker (2023) menunjukkan bahwa target ini masih jauh dari cukup untuk mencapai tujuan global membatasi kenaikan suhu di bawah 1,5C. Bahkan, beberapa kebijakan domestik, seperti penghapusan moratorium izin baru untuk perkebunan sawit pada 2021, justru memperlemah upaya mitigasi.

Ketidaksesuaian antara kebijakan dan implementasi juga terlihat dalam penegakan hukum terkait perlindungan hutan. Laporan Greenpeace Indonesia (2022) mencatat bahwa meskipun pemerintah telah menetapkan target rehabilitasi lahan kritis seluas 12 juta hektar pada 2030, hingga 2022 baru sekitar 15% yang terealisasi. Selain itu, program pembangunan rendah karbon yang seharusnya menjadi pilar dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020--2024 sering kali tergeser oleh agenda pembangunan berbasis ekstraksi sumber daya alam.

Dampak perubahan iklim terhadap Indonesia sangat signifikan. Peningkatan intensitas dan frekuensi bencana hidrometeorologi mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar. Bank Dunia (2021) memperkirakan bahwa kerugian ekonomi akibat banjir di Indonesia mencapai USD 2,3 miliar setiap tahun. Selain itu, kenaikan permukaan laut mengancam keberadaan pulau-pulau kecil di wilayah pesisir, termasuk Kepulauan Seribu dan Mentawai, yang diproyeksikan akan kehilangan sebagian besar daratannya pada akhir abad ini jika laju kenaikan emisi tidak segera dihentikan.

Di sektor pertanian, perubahan pola curah hujan menyebabkan penurunan produktivitas tanaman pangan utama seperti padi, jagung, dan kedelai. Laporan Badan Pusat Statistik (2022) menunjukkan bahwa hasil panen padi turun hingga 4% di beberapa daerah akibat kekeringan panjang. Hal ini tidak hanya mengancam ketahanan pangan nasional, tetapi juga meningkatkan kerentanan masyarakat pedesaan terhadap kemiskinan.

Untuk merespon tantangan ini, diperlukan langkah-langkah strategis yang berbasis pada data dan sains. Pertama, pemerintah harus memperkuat penegakan hukum terkait perlindungan hutan dan ekosistem. Kebijakan seperti moratorium izin baru untuk pembukaan hutan harus diberlakukan kembali dan diperkuat dengan pengawasan yang ketat. Kedua, transisi energi harus menjadi prioritas utama. Indonesia memiliki potensi besar dalam energi terbarukan, terutama dari tenaga surya, angin, dan panas bumi. Namun, hingga kini kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi nasional masih di bawah 15% (ESDM, 2022). Insentif dan regulasi yang mendukung investasi energi bersih harus segera diterapkan.

Ketiga, adaptasi perubahan iklim harus menjadi bagian integral dari perencanaan pembangunan. Pembangunan infrastruktur tahan iklim, seperti bendungan dan sistem peringatan dini bencana, harus dipercepat. Selain itu, peningkatan kapasitas masyarakat lokal dalam menghadapi dampak perubahan iklim melalui edukasi dan pelatihan harus menjadi prioritas. Program seperti Community-Based Forest Management (CBFM) yang melibatkan masyarakat dalam konservasi hutan perlu diperluas.

Keseriusan pemerintah Indonesia dalam menangani perubahan iklim juga harus tercermin dalam alokasi anggaran. Saat ini, anggaran mitigasi dan adaptasi perubahan iklim masih jauh dari cukup, hanya sekitar 0,8% dari total APBN 2023. Bandingkan dengan negara-negara lain seperti Brasil, yang mengalokasikan hingga 2% dari anggaran nasionalnya untuk perlindungan hutan (WWF, 2022). Penyesuaian alokasi anggaran untuk mendukung pembangunan rendah karbon sangat mendesak.

Terakhir, kerja sama internasional harus diperkuat. Indonesia memiliki peluang besar untuk memanfaatkan pendanaan iklim global, seperti Green Climate Fund (GCF) dan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF). Namun, kemampuan negara dalam mengakses pendanaan ini masih terbatas akibat lemahnya kapasitas teknis dan koordinasi antar-lembaga.

Indonesia berada di persimpangan jalan dalam menghadapi krisis iklim. Pilihan kebijakan yang diambil hari ini akan menentukan masa depan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah harus menunjukkan keseriusan melalui tindakan nyata yang tidak hanya berbasis janji, tetapi juga implementasi yang konsisten. Di sisi lain, masyarakat juga memiliki peran penting dalam mendorong akuntabilitas pemerintah melalui partisipasi aktif dan pengawasan. Krisis iklim adalah tanggung jawab bersama, dan hanya dengan kerja sama semua pihak, kita dapat mewujudkan masa depan yang berkelanjutan.

#seri belajar perubahan iklim

#pelayansantri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun