sawit di Indonesia meskipun harus melibatkan deforestasi atau pembabatan hutan telah menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, khususnya pegiat lingkungan hidup. Menurutnya, ekspansi perkebunan kelapa sawit sangat penting karena merupakan produk strategis yang dibutuhkan oleh banyak negara. Presiden juga menekankan bahwa kelapa sawit adalah tanaman yang menyerap karbon dioksida, yang menurutnya tidak berbahaya meskipun melibatkan pembabatan hutan. Argumen ini, meskipun terlihat menarik di permukaan, mengandung sejumlah masalah fundamental yang perlu dikritisi secara mendalam. Jika argumen ini dibenarkan dan dipegang pengambil kebijakan, maka akan menjadi sesat pikir yang sangat berbahaya bagi keberlangsungan hidup Bangsa Indonesia.
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menginginkan perluasan perkebunan kelapaSesat pikir sering juga dinamakan kekeliruan logika atau dalam bahasa inggris yang paling familier adalah Logical fallacy. Istilah fallacy berasal dari Bahasa Latin, fallacia, yang berarti penipuan. Dengan kata lain, logical fallacy adalah kesalahan dalam penalaran. Ini bisa terjadi saat seseorang salah memahami argumen orang lain. Menurut American Psychological Association, fallacy adalah kesalahan penalaran yang mengarah pada kesimpulan yang tampak benar, padahal sebenarnya tidak.
Pernyataan bahwa kelapa sawit (Elaeis guineensis) dan hutan memiliki fungsi yang serupa dalam menyerap karbon dan menjaga keberlanjutan ekosistem sering kali menjadi argumen dalam wacana kebijakan lingkungan. Pandangan ini, meskipun terlihat valid secara kasat mata karena keduanya berdaun hijau dan menyerap karbon, mengandung jebakan logika yang berbahaya. Sebagai seorang pembelajar lingkungan dan pembangunan serta bergulat dibidang pengajaran akademik dan penelitian yang selalu menyampaikan sesuatu berdasarkan ilmu pengetahuan dan hasil penelitian, argumen ini merusak nalar dan membuat risau dan gelisah, sehingga dengan keterbatasan pengetahuan dan terus belajar, saya merasa perlu mengungkapkan kekhawatiran mendalam terhadap pandangan yang menyamakan kedua entitas tersebut.
Sebuah pemahaman yang keliru tentang perbedaan mendasar antara hutan alam dan perkebunan sawit telah berkembang luas, terutama di kalangan pengambil kebijakan, perusahaan, dan sebagian masyarakat. Memang, kelapa sawit memiliki kemampuan untuk menyerap karbon melalui fotosintesis, serupa dengan tanaman lain termasuk pohon-pohon hutan. Namun, ada perbedaan fundamental dalam hal kontribusinya terhadap siklus karbon global dan keberlanjutan ekosistem secara keseluruhan. Menyamakan hutan dengan perkebunan sawit adalah sesat pikir yang berbahaya dan dapat berakibat fatal bagi kelestarian lingkungan hidup kita.
Hutan dan Perkebunan Sawit: Dua Entitas yang Sangat Berbeda
Pertama-tama, hutan tropis memiliki peran yang sangat penting dan tak tergantikan dalam menjaga keseimbangan ekologis dan iklim global. Hutan, khususnya hutan hujan tropis, merupakan penyerap karbon terbesar di Bumi, dan secara signifikan memengaruhi siklus hidrologi, melindungi keanekaragaman hayati, serta menyediakan berbagai layanan ekosistem yang tak ternilai. Menurut IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change, 2022), hutan hujan tropis menyerap sekitar 7,6 miliar ton karbon dioksida per tahun, yang hampir setara dengan 20% dari total emisi global yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Kehilangan hutan tropis berarti hilangnya kemampuan Bumi untuk menyerap karbon dan mengatur suhu global.
Sementara itu, kelapa sawit adalah tanaman perkebunan yang meskipun mampu menyerap karbon, tidak memberikan fungsi ekosistem yang serupa dengan hutan. Tanaman kelapa sawit berfokus pada produksi komoditas, dan meskipun sistem pertaniannya berkembang dengan cepat, ia tidak memiliki kemampuan untuk mendukung keanekaragaman hayati secara signifikan. Hutan alam menyimpan lebih banyak karbon dalam biomassa pohonnya, tanah, dan lapisan vegetasi lainnya yang berkembang selama ratusan tahun, sementara perkebunan sawit hanya menyimpan karbon dalam jumlah yang jauh lebih rendah dan cenderung mengurangi kapasitas tanah dalam menyerap karbon (Houghton, 2017).
Dampak Ekologis dari Ekspansi Sawit
Salah satu alasan mengapa penyamaan sawit dengan hutan adalah sangat berbahaya adalah dampaknya terhadap ekosistem. Ekspansi perkebunan kelapa sawit sering kali melibatkan konversi hutan menjadi lahan pertanian, yang menyebabkan kerusakan parah terhadap ekosistem lokal. Konversi ini mengakibatkan hilangnya habitat bagi berbagai spesies yang terancam punah, termasuk orangutan, harimau Sumatra, dan gajah Borneo, yang sangat bergantung pada keberadaan hutan tropis. Menggantikan hutan dengan kebun sawit mengakibatkan kehilangan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Hasil penelitian oleh Margono et al. (2014) menunjukkan bahwa pada tahun 2010, sekitar 40% dari deforestasi di Indonesia disebabkan oleh konversi lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Kehilangan ini memengaruhi tidak hanya spesies yang ada di hutan, tetapi juga mempengaruhi seluruh sistem ekologi yang bergantung pada keberadaan hutan tersebut.
Selain itu, konversi hutan menjadi perkebunan sawit berkontribusi pada peningkatan emisi karbon. Ketika lahan hutan dibakar atau digali untuk membuka lahan perkebunan sawit, karbon yang tersimpan di dalam biomassa hutan dan tanah dilepaskan ke atmosfer. Menurut Carlson et al. (2012), konversi hutan tropis Indonesia untuk perkebunan kelapa sawit menyebabkan emisi karbon sekitar 2,3 gigaton CO2 per tahun, yang setara dengan hampir 5% dari total emisi global yang disebabkan oleh deforestasi.
Peran Sawit dalam Ekonomi dan Konservasi
Di sisi lain, industri kelapa sawit memang memiliki peran yang tidak dapat dipungkiri dalam ekonomi negara-negara penghasil sawit, terutama Indonesia dan Malaysia. Sektor ini menyediakan lapangan pekerjaan bagi jutaan orang, mendukung perekonomian, dan menyuplai kebutuhan minyak nabati global. Namun, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh ekspansi perkebunan sawit. Penting untuk mencari solusi yang dapat mengintegrasikan keberlanjutan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan, dan ini termasuk mengelola ekspansi sawit agar tidak merusak hutan atau mengancam keanekaragaman hayati.
Sebagai contoh, prinsip-prinsip ekonomi hijau yang menekankan keberlanjutan dan efisiensi sumber daya harus diterapkan. Salah satu pendekatan yang lebih ramah lingkungan adalah penerapan perladangan sawit berkelanjutan (sustainable palm oil farming), yang mendukung upaya-upaya untuk meminimalkan deforestasi dan mengurangi dampak lingkungan dari perkebunan sawit. Salah satu inisiatif tersebut adalah Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), yang bertujuan untuk mempromosikan standar keberlanjutan bagi industri kelapa sawit. Meskipun implementasi RSPO memberikan beberapa kemajuan dalam hal pengurangan kerusakan lingkungan, tantangan dalam implementasi di lapangan masih sangat besar. Penerapan yang lebih luas dan pengawasan yang ketat sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa produksi kelapa sawit tidak mengorbankan hutan.
Urgensi Kebijakan yang Tepat
Keberlanjutan ekosistem hutan harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan yang menyangkut penggunaan lahan, termasuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Jika pemerintah dan pengambil kebijakan terus berpandangan bahwa hutan dan perkebunan sawit adalah entitas yang setara, maka kita sedang menyiapkan diri untuk bencana ekologis yang lebih besar di masa depan. Penurunan fungsi ekosistem yang tak tergantikan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan meningkatnya emisi karbon yang memperburuk perubahan iklim adalah beberapa risiko besar yang akan kita hadapi. Kebijakan yang salah arah akan mengarah pada kerusakan yang tak terpulihkan, dan ini adalah bencana ekologis yang akan menjadi warisan bagi generasi mendatang.
Sebagai seorang akademisi dan aktivis konservasi lingkungan, saya menyerukan kepada pengambil kebijakan untuk dengan tegas membedakan antara hutan alam dan perkebunan sawit. Kita tidak bisa menyamakan keduanya hanya karena keduanya hijau dan menyerap karbon. Ekspansi sawit yang tidak terkendali telah merusak hutan tropis, menyumbang pada hilangnya keanekaragaman hayati, dan memperburuk perubahan iklim. Penting bagi kebijakan yang ada untuk melibatkan strategi konservasi yang lebih ketat, termasuk pengelolaan lahan yang berkelanjutan, perlindungan terhadap hutan yang tersisa, dan penerapan teknologi yang ramah lingkungan untuk perkebunan sawit. Jika kita tidak segera bertindak, kita akan mempercepat kerusakan ekosistem yang tak dapat diperbaiki.
@luthfimutaali
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H