Mohon tunggu...
Luthfi Kenoya
Luthfi Kenoya Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat Senja dan Kopi

S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia | "A little Learning is dangerous thing" | find me at Instagram, Line, Twitter, Facebook, Linkedln by ID: @Luthfikenoya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

PSBB (#2): Absennya Pandnagan Ahli dalam Pertimbangan Pembuatan Keputusan

19 April 2020   23:33 Diperbarui: 20 April 2020   00:18 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Absennya Pandangan Ahli di Lingkaran Istana
Variabel-variabel diatas menunjukan bahwa dinamika dalam pembuatan keputusan tidak benar-benar original kepentingan sang pembuat keputusan atau sekedar sifat sang pemimpin.

Tulisan ini sedikitpun tidak dimaksudkan untuk membela Presiden apalagi melepaskan tanggung jawab dari Presiden. Sejatinya beliau memiliki pilihan terhadap informasi yang akan diambil dan berafiliasi dengan pihak mana. Hanya saja setiap individu/kelompok yang berkepentingan berebut pengaruh.

Di sisi yang lain, kita mesti realist, setidak-tidaknya dalam menganalisa sebuah fenomena. Dengan kata lain bahwa sejumlah aktor/individu mengkondisikan keadaan, mengambil keuntungan bahkan mengatur lalu lintas informasi.

Berdasarkan analisis itu juga kita melihat bahwa representasi ahli dan kepentingan rakyat absen dari meja pertimbangan presiden. Pada bagian ini saya hendak tunjukan bahwa selain munculnya sejumlah skema yang dibuat para ahli terkait penyebaran konflik, juga terdapat pertimbangan Lockdown atau karantina wilayah yang merupakan alternatif rasional. Berikut saya sajikan data sederhana perbandingan 10 negara yang melakukan Lockdown dan karantina wilayah:

sumber: diolah pribadi
sumber: diolah pribadi
Sumber: Dioleh sendiriKeterangan:
X: Jumlah Kasus saat dilakukan Lockdown (nasional/wilayah)
Y: Angka kasus di Minggu ke-2 pasca Lockdown
Z: Angka kasus di minggu ke-4 atau satu bulan pasca Lockdown

Tabel diatas menunjukan bahwa negara seperti Italia, Spanyol, Filipina dan yang lainnya masih terus mengalami kenaikan kasus Bahkan sampai sekarang tetapi Selandia Baru, Australia dan Thailand mengalami penurunan sampai saat ini. Salah satu faktor efektifitas kebijakan Selandia Baru adalah paradigma yang digunakan bukan mitigasi tapi eleminasi.

Artinya pemerintah Selandia Baru tidak menunggu kasus banyak untuk memberlakukan Lockdown. Sedangkan pemerintah Australia menyadari bahwa penyebaran virus dikarenakan orang luar, konsekuensinya penerbangan dihentikan.

Selain itu ketiga negara tersebut juga menyadari sulitnya menerapkan social distancing sehingga kebijakan Lockdown diiring dengan sanksi atau denda. Tentu ada juga kasus lainnya seperti Korea Selatan yang berhasil menurunkan angka penyebaran perhari, namun latar belakang wajib militer dan kepatuhan warga negara Korea Selatan menjadi variabel utama yang sulit ditemukan di negara lain.

Pemerintah Indonesia sendiri membentuk gugus tugas melalui Kepres No. 7/2020 saat jumlah kasus mencapai 69, memberlakukan PSBB dengan Kepres No. 11/2020 tanggal 31 Maret dengan jumlah kasus saat itu 1.528, dan terakhir melalui Kepres No. 12/2020 tanggal 13 April diberlakukan status Bencana Nasional ditengah-tengah jumlah kasus mencapai 4.557.

Kiranya bukan preseden baik seandainya muncul sejumlah kritik terkait lambannya kebijakan pemerintah saat ini, selain itu juga per tanggal 31 Maret lalu Indonesia hanya melakukan test sebanyak 6.534 orang dengan jumlah poisitif mencapai 1.285. Artinya hanya 0,002 % dari total populasi yang dites. Berikut rinciannya:

sumber: diolah pribadi
sumber: diolah pribadi
Persentasi dari total populasi memang tidak dapat dijadikan perbandingan mengingat penyebarannya tidak merata. Meski demikian dibanding total populasi DKI Jakarta sekalipun masih kecil, padahal DKI Jakarta adalah epicentrum penyebaran virus.

Selain itu, poin pentingnya adalah jumlah kasus DKI Jakarta yang tinggi yakni 2924 dengan korban meninggal mencapai 253 dan sembuh 205 orang tentunya lebih dari cukup untuk diizinkan menerpkan karantina wilayah sebagai upaya memutus rantai penyebaran.

Selain itu, keseriusan pemerintah pusat juga kembali dipertanyakan terkait usul pembatasan transportasi dari Pemprov DKI Jakarta ditolak oleh Mentri Perhubungan Luhut.

Begitupun dengan ketidakjelasan himbauan mudik, sebagaimana telah dibahas. Pasalnya jika melihat jumlah pemudik tahun lalu yakni 18.3 juta orang pada tahun 2019 merupakan jumlah yang sangat besar dan berpotensi meningkatkan angka penyebaran.

Pada laman Katadata.co.id, survei terhadap 2.437 menunjukan bahwa terdapat 12% yang tetap akan mudik ditengah-tengah wabah virus, 21% diantaranya belum memutuskan, 4% sudah mudik dan 63% mengatakan tidak akan mudik.

Jumlahnya tetap besar, kurang lebih, berdasarkan laman yang sama, teradapat potensi 3 juta orang yang akan tetap mudik. Selain itu berdasakan survei Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi Kemendesa (Balitfo) mencatat mayoritas kepala desa atau 89,75% yang tersebar di 31 provinsi Indonesia mutlak menolak kegiatan mudik Lebaran tahun 2020.

Masalah lainnya dalam pelaksanaan PSBB, selain ketidaktegasan pemerintah juga jalur birokrasi yang terkesan ribet. Kriteria pengajuan PSBB sendiri, sebagaimana UU No. 21/2020 Pasal 3, mensyaratkan jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat.

Poin berikutnya adalah adanya kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain. Artinya paradigma kebijakan ini berupa mitigasi dan bukan eleminasi sebagaimana di Selandia Baru.

Selain itu bentuk bentuk dari PSBB juga pada dasarnya telah dilakukan oleh sejumlah kepala daerah bahkan sebulum kebijakan PSBB diterbitkan. Jadi kesan responsif pemerintah sulit didapatkan oleh khalayak termasuk penulis.

Jadi alih-alih PSBB menjadi solusi untuk memutus mata rantai, justru sejauh ini sekedar melegitimasi tindakan yang sudah dilakukan. Bahkan menggunakan logika tersebut, kiranya wilayah/daerah harus menunggu angka kematian tinggi baru disetujui melakukan PSBB.

Jujur saja, saya agak sulit mencerna strategi pemerintah. Memang betul berdasarkan kajian makro ekonomi atau katakanlah Madzhab Keyenesian, tindakan pemerintah seperti PSBB, tidak membatasi transportasi, tidak melarang mudik, dll merupakan bentuk kehati-hatian agar ekonomi tidak lumpuh total, pada titik ini saya sepakat. Tapi jika dan hanya ada satu perspektif solusi saja.

Pasalnya ada banyak ahli dengan ragam disiplin ilmu, putra/putri terbaik bangsa yang dapat dikumpulkan dan diminta sarannya, bahkan kalau perlu dilibatkan dalam menyusun strategi nasional. Karena pada faktanya, implementasi kebijakan seperti relaksasi kredit, listrik, dll hanya efektif secara teori tapi tapi bermasalah pada skala mikro ekonomi.

Belum lagi, adanya oknum yang mengambil keuntungan dibalik kebijakan pemerintah. Terakhir, akumulasi permasalahan yang ada menuju pada krisis kepercayaan pada lembaga negara. Hal ini jauh lebih fatal jika dipertimbangkan dengan variabel lainnya, pasalnya ancaman yang ditakuti Pak Jokowi berpotensi untuk benar-benar terjadi.

Kesimpulan: PSBB - Piala Bergilir Epicentrum Virus
Sampai di akhir tulisan ini, menurut saya ketidakefektifan dan ketidaktegasan PSBB pada akhirnya hanya memperpanjang nafas atau memperlama ledakan bom. Selain itu, beberapa adanya pertimbangan persedian pangan yang sedikit sehingga tidak mengambil kebijakan 

Lockdown adalah pandangan yang tidak relevan jika situasi PSBB berkepanjangan. Artinya sama saja pangan kita akan kehabisan apalagi jika daerah lain yang steril tidak diizinkan PSBB hanya akan membuat epicentrum virus bergeser bak piala bergilir dari satu daerah ke daerah lain.

Solusi: Bersama Para Ahli
Proses pengambilan keputusan dalam situasi krisis dan wabah seperti ini merupakan perspektif yang patut memiliki tempat dalam percakapan publik. Bukan untuk memperkeruh suasana, tapi untuk memastikan presiden masih mendengarkan aspirasi rakyat.

Sejatinya dinamika pengambilan keputusan adalah arena perang untuk berebut pengaruh dan mempertahankan kepentingan individu/golongan tertentu, sedangkan ketidakhadiran pandangan ahli/ilmuwan di arena kekuasaan berpotensi fatal baik terhadap kesejahteraan maupun kemanusiaan.

Bersama dengan tulisan ini, saya mendeklarasikan diri bersama para ahli/ilmuwan serta mengajak publik untuk memastikan presiden sebagai pengambil keputusan yang utama ditengah krisis dan wabah mendengarkan saran/masukan dan lebih melibatkan para ahli/ilmuwan.

Karena bagaimana pun, kita hanya dua pilihan dalam mengkritik yakni: mencerca publik karena tidak disiplin dan menaati pemerintah atau mencibir kekuasaan dan memastikan tegas dalam mengambil keputusan. Saya memilih yang kedua, sekarang giliran anda.

_______

"Tak ada satu rezim pemerintahan pun di dunia yang runtuh karena kritik, tapi justru perilaku elit pemerintah yang menurutp telinga dari kritiklah yang berpotensi memicu gelombang revolusi" 

- Luthfi Hasanal Bolqiah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun