Mohon tunggu...
Luthfi Kenoya
Luthfi Kenoya Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat Senja dan Kopi

S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia | "A little Learning is dangerous thing" | find me at Instagram, Line, Twitter, Facebook, Linkedln by ID: @Luthfikenoya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

PSBB (#2): Absennya Pandnagan Ahli dalam Pertimbangan Pembuatan Keputusan

19 April 2020   23:33 Diperbarui: 20 April 2020   00:18 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dailynewsindonesia.com

Selain itu, poin pentingnya adalah jumlah kasus DKI Jakarta yang tinggi yakni 2924 dengan korban meninggal mencapai 253 dan sembuh 205 orang tentunya lebih dari cukup untuk diizinkan menerpkan karantina wilayah sebagai upaya memutus rantai penyebaran.

Selain itu, keseriusan pemerintah pusat juga kembali dipertanyakan terkait usul pembatasan transportasi dari Pemprov DKI Jakarta ditolak oleh Mentri Perhubungan Luhut.

Begitupun dengan ketidakjelasan himbauan mudik, sebagaimana telah dibahas. Pasalnya jika melihat jumlah pemudik tahun lalu yakni 18.3 juta orang pada tahun 2019 merupakan jumlah yang sangat besar dan berpotensi meningkatkan angka penyebaran.

Pada laman Katadata.co.id, survei terhadap 2.437 menunjukan bahwa terdapat 12% yang tetap akan mudik ditengah-tengah wabah virus, 21% diantaranya belum memutuskan, 4% sudah mudik dan 63% mengatakan tidak akan mudik.

Jumlahnya tetap besar, kurang lebih, berdasarkan laman yang sama, teradapat potensi 3 juta orang yang akan tetap mudik. Selain itu berdasakan survei Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi Kemendesa (Balitfo) mencatat mayoritas kepala desa atau 89,75% yang tersebar di 31 provinsi Indonesia mutlak menolak kegiatan mudik Lebaran tahun 2020.

Masalah lainnya dalam pelaksanaan PSBB, selain ketidaktegasan pemerintah juga jalur birokrasi yang terkesan ribet. Kriteria pengajuan PSBB sendiri, sebagaimana UU No. 21/2020 Pasal 3, mensyaratkan jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat.

Poin berikutnya adalah adanya kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain. Artinya paradigma kebijakan ini berupa mitigasi dan bukan eleminasi sebagaimana di Selandia Baru.

Selain itu bentuk bentuk dari PSBB juga pada dasarnya telah dilakukan oleh sejumlah kepala daerah bahkan sebulum kebijakan PSBB diterbitkan. Jadi kesan responsif pemerintah sulit didapatkan oleh khalayak termasuk penulis.

Jadi alih-alih PSBB menjadi solusi untuk memutus mata rantai, justru sejauh ini sekedar melegitimasi tindakan yang sudah dilakukan. Bahkan menggunakan logika tersebut, kiranya wilayah/daerah harus menunggu angka kematian tinggi baru disetujui melakukan PSBB.

Jujur saja, saya agak sulit mencerna strategi pemerintah. Memang betul berdasarkan kajian makro ekonomi atau katakanlah Madzhab Keyenesian, tindakan pemerintah seperti PSBB, tidak membatasi transportasi, tidak melarang mudik, dll merupakan bentuk kehati-hatian agar ekonomi tidak lumpuh total, pada titik ini saya sepakat. Tapi jika dan hanya ada satu perspektif solusi saja.

Pasalnya ada banyak ahli dengan ragam disiplin ilmu, putra/putri terbaik bangsa yang dapat dikumpulkan dan diminta sarannya, bahkan kalau perlu dilibatkan dalam menyusun strategi nasional. Karena pada faktanya, implementasi kebijakan seperti relaksasi kredit, listrik, dll hanya efektif secara teori tapi tapi bermasalah pada skala mikro ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun