Cara pandang pemerintah pusat saat ini berpikir dampak sosial politik pasca Covid-19, sedangkan masalahnya belum selesai, musuhnya belum pergi. Â
-Refly HarunÂ
Pemerintah Pusat Merespon Kritik
Seolah merespon kritik yang menganggap lambatnya penanganan Covid-19 sekaligus merevisi celotehan para Mentri, sederet aturan dikeluarkan oleh pemerintah pusat dari mulai Keppres No. 17/2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penangan Covid-19 (13 Maret), Perpres No 52/2020, Inpres No. 4/2020, PP No. 21/2020, Keppres No. 11/2020, Perppu No. 1/2020, Perpres No. 54/2020. Terakhir pada tanggal 13 April kemarin Presiden Joko Widodo menerbitkan Keppres No. 12/2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional. Selain lamban, sejauh ini pemerintah juga dianggap kurang mendengarkan aspirasi rakyat dan cenderung pro-pengusaha besar. Bagaimana menjelaskan setumpuk persoalan ini? Apakah situasi saat ini benar-benar menyeramkan? Atau pemberitaan media yang terlalu membesarkan?
Saya mulai tulisan ini dengan mengingat analisis mainstream yang bertebaran di media sosial, salah satunya menggunakan pisau analisis teori "pembuatan keputusan" dari David Easton. Sebagaimana diketahui bahwa Easton menyebut 3 proses atau tahapan dalam pembuatan keputusan yakni: Input, Black Box/Political System dan Output.Singkatnya untuk menganalisa kenapa sebuah keputusan dibuat, atau dalam hal ini spesifik terkait PSBB? Input bisa dibagi berdasarkan skala mikro (nasional) maupun makro (internasional). Dalam hal ini kebijakan PSBB setidak-tidaknya didasari oleh pertimbangan krisis (nasional) dan geopolitik dunia (internasional).
Seperti: dinamika antara Partai Demokrat dan Partai Republik yang masing-masing diwakili kepentingan Donald Trump dan Joe Biden, keputusan Donald Trump untuk menghentikan alokasi dana pada WHO, Kebijakan China pada bulan Januari lalu yang memborong 250 juta APD di dunia, bahkan peran Bill Gates dalam proses penemuan vaksin.
Personalitas Pemimpin Di Tengah Pandemic
Semua variabel itu berkeliaran di media sosial, bagaimana memprosesnya? Sampai disini kerangka analisis yang ditawarkan oleh Easton kiranya terlalu umum. Margaret G. Hermann (1976) menyebut bahwa perspektif pembuatan keputusan sangat penting terutama dalam keadaan krisis dimana pembuat kebijakan merasakan ketidakpastian, ancaman pada nilai-nilai inti dan tekanan waktu. Graham Allison, dalam karya klasiknya The Essence of Decision (1971) membedakan tipe-tipe unit keputusan, diantaranya: kelompok tunggal (kolektif), koalisi aktor yang otonom dan kepemimpinan yang kuat. Dengan kata lain, perspektif aktor politik terutama kepemimpinan politik dalam situasi krisis lebih relevan dalam melakukan spesifikasi analisis pembuatan keputusan. Oleh karena itu, tulisan ini bermaksud untuk menganalisa variabel personalitas dari pemimpin, dalam hal ini presiden.
Herman dalam karya lainnya Leadership Trait Analysis (1987) mengajukan  pendekatan multivariate dalam membahas personalitas yakni analisis terhadap motif, kognisi dan sifat dari pemimpin secara bersamaan. Diantaranya 7 indikator yang dikemukakan adalah: (1) kompleksitas konseptual, (2) keyakinan untuk mengontrol peristiwa, (4) kebutuhan akan kekuasaan, (5) fokus tugas, (6) ketidakpercayaan pada pihak lain, dan (7) bias kelompok. Pertanyaan yang kemudian diajukan adalah: apakah pemimpin terbuka atau tertutup terhadap informasi? Apakah dia fokus pada tugas atau relasi? Akankah dia menghormati atau menentang pembatasan?
Kepemimpinan presiden Joko Widodo sekali lagi merupakan aspek yang sangat krusial ditengah-tengah wabah Covid-19 dan ancaman krisis ekonomi. Kedua konteks itu tidak dapat dilepaskan, setidaknya kita dapat mulai bertanya, informasi apa yang presiden dapatkan terkait penangan wabah Covid-19? Serta bagaimana presiden mepersepsikan ancaman krisis ekonomi? Kedua pertanyaan ini merupakan bagian dari variabel kognisi atau keyakinan. Seandainya presiden melihat penanganan Covid-19 ini efektif dan ancaman ekonomi dapat di hindari maka kebijakan PSBB adalah pilihan terbaik. Namun, melihat riwayat para mentri yang menyepelekan penyebaran Covid-19 di awal tahun serta ketidakpastian vaksin, tentu jauh dikatakan PSBB adalah satu-satunya kebijakan terbaik saat ini.Â
Pasalnya, budaya ABS (Asal Bapak Senang) seringkali merupah status persepsi menjadi mispersepsi. Misalnya, logika Mentri Luhut Binsar Panjaitan yang membandingkan angka kematian di Indonesia dan di Amerika pada dasarnya merupakan budaya ABS yang sekilah terkesan ilmiah. Artinya kita bisa asumsikan bahwa logika Pak Luhut juga setidak-tidaknya disampaikan dan menjadi pertimbangan Presiden. Di sisi lain, alih-alih menekankan pada pertimbangan kesehatan. Sejumlah aturan terkait pemulihan ekonomi juga banyak, apalagi jika kita melihat bahwa aspek kognisi atau keyakinan juga bisa dipengaruhi oleh efek traumatis krisis 1998. Hal yang sama terjadi saat George W. Bush pasca peritiwa 9/11. Selain itu, ancaman PHK dari perusahaan-perusahaan besar juga dapat menjadi pertimbangan penting Presiden yang merasa ancaman krisis semakin nyata. Berdasarkan data Kementrian Ketenagakerjaan (Kemenaker) per tanggal 16 April 2020 sudah ada 114.340 perusahaan yang melakukan PHK, dari sektor formal jumlahnya mencapai 229.789 yang di PHK dan sebanyak 1.270.367 yang dirumahkan.
Selain kognisi, variabel selanjutnya yang mesti diukur adalah motif pembuatan keputusan. Dalam hal ini menurut Winter (2003) motif mempengaruhi cara pimpinan membawakan kepemimpinannya. Di antaranya adalah (1) ketidakpercayaan pada pihak lain, kebutuhan akan kekuasaan/pertahanan kekuasaan, dan (3) afiliasi dengan orang lain. Misalnya, tawaran alternatif Lockdown dari Ikatan Dokter Indonesia seharusnya menjadi prioritas pertimbangan, idealnya. Tapi kita tahu bahwa kredibilitas dan profesionalitas akan runtuh seketika pada saat media dan pemberitaan mengafiliasikan lockdown dengan motif kudeta dari sekelompok orang yang sejak awal dikesankan ekstremis. Wajar saja jika alternatif lockdown ditolah begitu saja, bahkan tanpa harus mengamati fakta lockdown di berbagai negara sekalipun. Selain itu, pada saat bersamaan Gubernur DKI Jakarta menuntut hal serupa, akhirnya cukup mudah untuk siapapun membuat presiden yakin bahwa Lockdown bukanlah pilihan.