Mohon tunggu...
Luthfi Kenoya
Luthfi Kenoya Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat Senja dan Kopi

S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia | "A little Learning is dangerous thing" | find me at Instagram, Line, Twitter, Facebook, Linkedln by ID: @Luthfikenoya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nyinyir, Alternatif Melawan Propaganda

1 Oktober 2018   21:19 Diperbarui: 16 September 2020   13:47 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alkisah, suatu ketika bajak laut dapat ditangkap oleh armada pasukan laut. Bajak laut yang tertangkap ngotot tidak mau ditangkap oleh armada, dia berkata: "mengapa saya yang kecil disebut perampok, semantara anda yang mengembal upeti dalm jumlah besar disebut pahlawan?" 

- Noam Chomsky

Saya cukup lama menimbang judul diatas, saya yakin akan banyak yang tidak suka dan itu tidak masalah. 

Tulisan kali ini akan hendak menganalisa fenomena akhir-akhir ini dimana Indonesia kerap mendapatkan banyak pujian dari negara asing, masyarakat kemudian didorong untuk bangga. 

Pemerintah menyajikan data-data keberhasilan, sungguh luar biasa, dan rakyat didorong utk bangga mengenai hal itu, tentu jangan nyinyir! Penulis mencoba memberikan alternatif analisa dan penilaian atas fenomena tersebut yang mungkin di luar keinginan pemerintah. 

Keniscayaan Propaganda

Dalam politik, mereka yang berhasil membangun citra (image) akan mendapatkan legitimasi publik seperti yang mereka inginkan atau sebaliknya. Meski para politisi tahu nobody perfect, mereka tidak mungkin menampilkan diri yang apa adanya karena kehilangan kepercayaan publik justru akan melemahkan kekuasaannya. 

Selain itu manusia tidak mungkin kembali ke masa lalu dan merubah apa yang sudah telah dilakukan, kata maaf adalah pilihan yang paling sulit diambil oleh politisi, katanya itu menggerus kewibawaan mereka, nanti dibilang inkonsistensi!

Dalam negara yang dipenuhi pencitraan, sedikit sekali kebijakan yang muncul atas keinginan rakyat, permainan kuasa melahap rasa empati dan simpati para politisi dewasa ini yang ada adalah propaganda. 

Dimulai pada tahun 1916 ketika presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson mengampanyekan platform "Perdamaian Tanpa Penaklukan" di tengah-tengah masyarakat yang anti-perang.

Lalu, sang presiden membentuk komisi propaganda resmi pemerintah yang disebut Creel Commision dan sukses dalam waktu 6 bulan mengubah populasi anti-perang menjadi massa yang histeris dan haus perang. Keberahasilan tersebut didukung oleh seorang intelektual bernama John Dawey.  

Sejarah peperangan dunia adalah lukisan tentang pola-pola propaganda yang dilakukan masing-masing negara, efektif? Sangat efektif, diluar nada negatif, penulis juga tidak menafikan propaganda digunakkan untuk melindungi sebuah negara dari ancaman negara lain.

Namun yang krusial dari pada itu adalah pemerintah menghendaki kontrol pemikiran masyarakat (tanya: untuk apa?) yang memungkinkan pembuat suatu "persetujuan buatan" yang sebenarnya tidak dikehendaki publik. 

Pertanyaan yang sederhana, apakah kita benar-benar butuh prestasi pujian dari negara lain? Sedangkan secara nyata kita merasa tidak lebih baik dari masyarakat di luar sana. Negaralah yang punya kepentingan untuk mendapatkan investasi besar-besaran, dan syaratnya adalah prestasi, tapi sejak kapan prestasi mejadi jaminan kesejahteraan rakyat?

Nyinyir sebagai simbol perlawanan

Ketika data kerapkali disuguhkan dalam meja perdebatan akhir-akhir ini, adakah yang mengkroscek? Bisakah rakyat membaca data, tabel, diagram, dll? Pertanyaan yang lebih monohok lagi adalah, apakah pemerintah mengizinkandan mesupport pengawasan dari rakyat? 

Dengan nada kampanye jawaban politisi adalah "tentu, rakyat kita cerdas dan tahu mana yang benar dan salah",  tetapi di sisi lain ketakautan dengan kritik dan sindiran. 

Kenapa demikian? Pertama perlu dibedakan antara pernyataan propaganda dan analisa, karena syarat prestasi adalah stabilitas politik sedangkan stabilitas bertolak belakang dengan partisipasi warga negara. 

Kedua, dalam agenda propaganda, Lippman mentasbihkan istilah "kawanan pandir" untuk mengilustrasikan rakyat bodoh untuk memahami sesuatu, rakyat tidak boleh mengurusi urusannya sendiri, rakyat mesti tergantung dengan negara, dan rakyat tidak boleh pintar. Oleh sebab itu pemerintah haruslah menjinakkan kawanan pandir tersebut dengan media, sekolah, dan budaya populer.

Intelektual yang berselingkuh dengan kekuasaan adalah yang terburuk sepanjang sejarah, kenapa? Bayangkan sebuah rasionalisasi atas tindak tersebut muncul di ruang-ruang pendidikan atau muncul ke public atas nama riset ilmiah. 

Sebagai contoh, adalah Reinold Niebuhr yang sering disebut sebagai "Teolog Kaum Mapan" juga guru dari kaum intelektual George Keenan dan Kennedy mengatakan "rasionalitas adalah keahlian yang sanagat ketat, hanya sedikit orang yang memilikinya sedangkan kebanyakan orang dituntun oleh emosi dan gerak hati (impulse)."  

Lantas apa hubungannya dengan nyinyir? Dalam hal ini nyinyir adalah bentuk perlawanan atas dominasi politik dan intelektual, karena kepada siapa lagi rakyat berpegang ketika pemerintah memaksakan keinginannya dengan propaganda dan intelektual ikut terlibat dalam penyusunan teori serta paradigm, selain kepada dirinya sendiri? Nyinyir memang tidak ilmiah, tapi apakah ilmiah menjamin kemajuan? 

Nyinyir itu cerewet, dalam konten narasinya justru mengulang-ngulang permintaan, dan oleh karenanya rakyat mesti cerewet dan mengulang-ngulang permintaannya pada negara, bukan sebaliknya. 

Siapa saja yang nyinyir pasti dihardik intelektual (yang berselingkuh dengan aparat negara) dan dianggap tidka berkontribusi untuk kemajuan bangsa. 

Come on, negara hadir dengan rasa percaya diri sebagai solusi masyarakat, terus lau minta rakyat buat kontribusi? Yaudah kita ganti posisi aja gimana? Elit diperintah rakyat, mau?

Slogan partisipasi politik tidak lebih dari kamuflase kepentingan, konten dibalik itu adalah dianggapnya negara sebagai demokrasi. Karena jika negara serius mensejahterakan rakyat, tentu tidak akan ada pembatasan kebebasan berpendapat. 

Nyatanya rakyat lebih dewasa dari aparat negara, namun untuk mendulang suara mestilah membodohi rakyat dengan konflik dsb. Yang dinyinyirin rakyat siapa? Apakah rakyat juga? Bukankah elit? Kok, yang berantem rakyat? 

Karena kalo elit dan rakyat berantem, yang ada justru mereka kehilaangan integritas oleh karenanya mereka butuh relawan untuk melindungi citra mereka. Bukankah relawan itu melaksanakan instruksi elit? Justru mereka ingin dianggap pahlawan dengan keterbatasan yang ada. 

Rakyat tidak benar-benar diminta untuk memberikan solusi, karena kalau memberikan solusi artinya pemerintah tidak lagi mampu mengurus negara, jadi alih-alih meyakinkan untuk "rakyat mengkriti dengan solusi" justru pernyataan susulan muncul utk menahan laju kritik "yang terjadi bukan begitu, kita tahu persis yang sebenarnya lebih kompleks" atau paling-paling "kita dibuat susah oleh opisisi". 

Jadi rakyat dibuat sebagai penonton, bagaimanapun caranya bisa nyaman duduk di kursi sambil makan popcorn dan mengubah-ubah saluran tv, urusan konten saluran tak boleh diketahui rakyat.

Penutup

Tulisan ini tidak ilmiah, karena memang bermaksud memberikan perlawanan pada keilmiahan yang dimonopoli. Tulisan ini juga tidak objektif, apabila yang objektif adalah data hasil kuantifikasi dan propaganda elit negara. 

Tulisan ini juga tidak beretika, jika yang baik adalah manut pada pemerintah. Dan tulisan ini sama sekali tidak benar, jikaa yang benar adalah statement dari rezim. Oleh karena itulah tulisan ini adalah nyinyir, karena hanya itu yang penulis punya selaku rakyat biasa.

Terimakasih telah membaca sebuah kenyinyiran yang tidak ilmiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun