Kalau pagi ini anda bangun dan masih punya niat baik untuk berangkat ke masjid, menjalankan shalat lima waktu secara berjamaah dan tepat di awal waktu, maka semoga anda masih termasuk sebagai salah satu dari delapan kelompok manusia yang dijanjikan akan diberi penutup kepala dari panasnya matahari ketika nanti antri untuk di-hisab di Padang Mahsyar.
Atau kalau pagi ini anda bangun pagi dan berkehendak membaca 30 juz Al Qur’an sampai khatam, meresapi keindahan maknanya dan mengamalkan perintah dan menjauhi larangan yang ada di dalamnya, maka, semoga anda masuk sebagai golongan manusia yang dijaminkan surga kepada mereka, sebab melestarikan Al Qur’an.
Semua manusia, selama dia beragama, tentu tidak akan menolak janji surga dengan segala kenikmatan abadinya. Entah dia beragama dengan benar atau salah. Entah seberapa lama berada di lingkungan yang religius dan ketat tradisi keagamaannya, di pesantren misalnya. Toh, semakin tinggi ilmu agama yang dimiliki belum tentu menggambarkan perilaku dan baiknya manusia beribadah kepada Gusti Allah.
Sebagaimana seharusnya manusia bergama, saya juga anda tentunya sempat terpikir bahwa lebih baik meninggalkan seluruh rutinitas duniawi, melupakan atribut kesenangan dan kesibukan duniawi, lalu mengabdikan waktu dan hidup sepenuhnya untuk mengasingkan diri, fokus dan sepenuh jiwa raga beribadah dan menyembah Gusti Allah. Paling tidak untuk memperoleh surga. Atau paling tidak terhindar dari neraka yang siksanya abadi.
Tapi, saya mungkin juga anda, pagi ini dan beberapa hari terakhir juga beberapa bulan dan tahun terakhir, tentu mustahil mampu hidup mengabdikan sepenuh diri jiwa-raga untuk mengabdi kepada Gusti Allah. Banyak hal yang bisa dijadikan alasan dan dipersalahkan.
Harapan untuk bangun tepat sebelum fajar shadiq muncul dan menemui subuh seringkali harus gagal sebab pertandingan Barclays Premier League lebih menarik dan sayang untuk ditinggalkan dengan tidur tepat waktu supaya menjumpa subuh. Demikian pula dengan liga Spanyol, liga Prancis, Italy. (mengecualikan Indonesia yang masih sibuk berkompetisi lewat turnamen, dan belum juga punya liga yang terstruktur dan dikelola sistematis)
Ketika bangun, sebelum anda mandi dan mulai berkatifitas, apapun itu, televisi yang ada di ruang tengah rumah atau di dalam kos-kosan akan menarik anda dengan sedemikian kuat untuk sekedar melihat film kartun, acara hiburan berupa ceramah pagi yang disampaikan dengan guyonan garing, melihat infotainment yang dengan sensasional membuat penasaran memberitakan bahwa si artis A telah cerai dengan suaminya padahal belum genap sebulan menikah (artis memang menempati posisi sosial khusus, yang membuat segala sampah perilaku yang mereka kerjakan perlu diberitakan oleh televisi) dan berita-berita lain, atau melihat resep masakan yang menarik anda masak pagi ini, juga melihat skor dan review pertandingan Barclays Premier League yang semalam tidak ditayangkan televisi.
Anda mungkin sedang menjalani kuliah di suatu perguruan tinggi, apapun basis agamanya dan apapun lembaga yang menaunginya. Percayalah, bahwa hampir seluruh proses yang ada di perguruan tinggi, di perkuliahan, adalah untuk membentuk anda menjadi karyawan yang handal, berkarir bagus lalu berkehidupan teratur serta sukses. Dan, kalau sempat berkunjung ke perpustakaan, coba amati seberapa ramai hari ini suasana perpustakaan dibandingkan pusat-pusat perbelanjaan dan kafe-kafe.
Juga, coba amati buku apa saja yang mahasiswa gemari untuk mereka baca. Pasti tidak akan jauh dari tema-tema tentang bagaimana memperoleh kesuksesan dan kekayaan secara instan. Atau buku tentang motivasi dan konseling hidup supaya memiliki sikap mental yang bagus dalam menghadapi dinamika perkuliahan dan persaingan wirausaha. Atau juga novel. Secara keseluruhan tema yang paling digemari adalah yang mengandung unsur fantasi, seksual, sensual, panduan kaya dan sukses secara instan dan sebagainya yang juga menggambarkan apa isi otak manusia semacam saya dan, naudzubillah! anda juga.
Kalau anda kebetulan masih mahasiswa dan beragama islam, tentu pernah memiliki cita-cita menjadi seorang intelektual besar sebagaimana Gus Dur, atau Nurcholis Madjid, atau BJ Habibi. Ketiganya merupakan cendekiawan yang mampu memberikan kontribusi keilmuan maupun perubahan positif bagi bangsanya, namun juga mumpuni dalam memahami dan menjaga agama. Tapi, jangan harap menemukan tokoh sekaliber mereka dari dunia kampus hari ini. Kampus dan segala macam organisasi serta tetek bengeknya sudah jauh mengalami degradasi kualitas dan kemapuan menciptakan manusia intelektual dan pejuang sekelas tiga tokoh tersebut.
Tapi, dengan asumsi tetap mengidolakan ketiga tokoh tersebut, coba keluar dari belenggu sempit angan-angan anda dan keliling keluar ke pasar-pasar tradisional, atau ke wilayah pertanian, atau ke pesisir pantai yang penuh dengan pedagang, petani dan nelayan yang semuanya muslim kemudian rangkum dan sampaikan kata yang menggambarkan kondisi mereka. Ya, miskin dan terbelakang. Mereka yang oleh para politisi senantiasa dijanjikan kesejahteraan, masih berkubang dalam kondisi yang seperti itu bertahun-tahun, berpuluh tahun bahkan turun temurun.
Sebagai seorang sarjana muslim yang tentunya punya keterikatan emosional dan religus lebih dekat kepada umat muslim yang lain, saya dan anda tentu pernah memiliki niat menjadi penggerak kemajuan ekonomi dan perbaikan peradaban mereka. Anda tentu tahu bahwa perangkat keagamaan di kalangan manusia petani dan pedagang serta nelayan semacam mereka telah lengkap. Masjid ada, ulama ada, kumpul sering. Tapi, mengapa belum juga mampu lepas landas dan maju?
Menurut sosiolog Max Weber, struktur patrimonial yang ada dalam masyarakat islam yang berlandaskan kharisma penguasa, mengakibatkan masyarakat islam sulit maju dan menjadi pendukung kapitalisme. Lebih jauh, struktur dan budaya yang terbangun dalam masyarakat islam juga membuat mereka cenderung tidak rasional, sehingga pula mereka sulit maju.
Tapi, bukankah berkali-kali Gusti Allah mengingatkan untuk berpikir dan tentunya berpikir adalah menggunakan rasio atau akal? Wallahu a’lam.
Agak siang, beberapa kali dalam sebulan saya akan mengunjungi bank untuk melakukan transaksi menabung maupun mengambil tabungan. Bank adalah lembaga yang unik. Kasihan mereka yang mengelola perbankan, ditengah niat baik untuk menghimpun, menyimpankan dan menyalurkan dana kepada masyarakat untuk keperluan usaha dan sebagainya mereka masih saja dituduh melakukan praktik ribawi. Praktik haram yang balasannya adalah neraka dengan dosa yang berat tak tertanggungkan.
Lalu muncul bank-bank yang melabeli dirinya dengan gelar syariah. Mereka memodifikasi nama transaksi jadi akad bermacam-macam. Dibentuk pula dewan yang secara khusus mengawasi praktik perbankan mereka masih sesuai syariah. Tapi, lagi-lagi bank semacam ini masih saja dituduh cuma ganti nama, hanya ganti istilah menjadi serba arab, tapi praktiknya gak beda dengan yang konvensional.
Bank memang merupakan instansi penting bahkan sangat penting dalam sistem keuangan yang ada saat ini. Meskipun praktik perbankan hanya membuat uang atau menciptakannya, mengedarkannya, memungut bunga daripadanya, hanya dengan membuat angka diatas sebuah rekening. Ya, uang yang beredar saat ini memang diperdebatkan nilainya, sebab tidak dijaminkan dengan emas perak maupun sebagainya. Sehingga nilainya tidak lebih dari sekedar selembar kertas. Tapi, tanpa bank dan kalau bank ada tapi dinggap haram transaksi disana, saya dan anda tentu bingung harus menabung dan menyembunyikan uang dimana? Mau di celengan? Atau mau menyimpan emas sebagai alat transaksi?
Menjelang sore, mungkin sempatkan menonton televisi dan menyaksikan ulang bahwa hari ini segala ‘sampah kebudayaan’ ditampilkan di layar televisi. Atau yang paling baru tentang kematian di warung kopi. Kopi memang menjadi minuman yang sedang naik daun beberpa waktu terakhir, bahkan filosofinya difilmkan. Dari penelusuran polisi, yang kemarin juga baru selesai menumpas teroris, ditemukan bahwa Mirna si penikmat kopi ternyata di racun. Ada indikasi temannya sendiri yang sengaja membunuhnya.
Pembunuhan Mirna, diluar apapun alat dan media yang digunkan untuk membunuh, mulai kopi, racun sianida atau handphone sekalipun. Atau dimanapun tempat pembunuhannya, mulai kafe, masjid, SPBU, lokasi wisata dan dimanapun. Yang pasti, jangan sampai kemudian menyebabkan kopi menjadi di haramkan, atau duduk berdua di warung kopi dan kafe adalah suatu perbuatan terlarang dengan argumentasi bisa memicu pembunuhan dan alasan-alasan yang kurang masuk akal lain yang sering jadi penguat pengharaman.
Biarlah yang suka minum kopi tetap menikmati kopinya. Biar yang suka berkumpul dan melepas rindu dengan teman lama tetap bertemu dan bercanda bersama. Tapi, pembunuhan yang setiap hari terjadi mulai dari kafe, perkampungan, sekolahan dan berbagai macam tempat oleh berbagai macam orang di negeri ini merupakan bukti bahwa nyawa begitu rendah harganya. Juga orang mati dibunuh merupakan kejadian wajar yang sekilas bisa dilupakan dengan sekedar mengumpati si pembunuh ketika berita di tayangkan, dan kemudian saya atau anda bisa melanjutkan aktifitas lain. Juga menunjukkan ada yang salah dengan kesadaran saya juga anda sebagai manusia, yang dalam menyikapi pembunuhan semacam itu malah memberikan porsi perhatian lebih pada modus operandi pelaku yang berulangkali direka ulang oleh polisi dan ditayangkan televisi. Sesekali terbersit niat untuk iseng-iseng menirukan.
Bantuan yang seringkali datang untuk orang semcam Mirna adalah tagar-tagar atau hashtag di media sosial yang berisi belasungkawa baginya. Mungkin akan ada #SemogaKhusnulKhatimah #RIPMirna atau juga nanti akan muncul #KopiTidakMematikan dan ekspresi unik serta dungu dari segolongan manusia yang digelari sebagai netizen. Ya, meskipun doa media sosial semacam itu belum tentu mempermudah Mirna menjawab pertanyaan malaikat, belum tentu juga membantu proses penyidikan yang dikembangkan polisi, tapi itulah wujud budaya viral dan ikut-ikutan yang saat ini kita kembangkan.
(Bahkan dalam hampir semua momen, bantuan dan respon yang saat ini saya dan anda bisa sumbangsihkan tidak lebih dari tagar semacam itu: mulai perampokan, kelaparan di Afrika, perang di Palestina, bom Sarinah, juga kebijakan yang salah dari Bung Jokowi)
Saya, juga mungkin anda, tentu pernah bercita-cita mencari tempat yang jauh dan sama sekali tidak terjangkau manusia. Untuk menyendiri dan beribadah. Paling tidak shalat lima waktu dan sekali seumur hidup mengkhatamkan Al Qur’an. Tempat dimana hanya ada tanah, pepohonan, angin, saya dan Gusti Allah. Menjalankan fitrah menyembah kepada Gusti Allah dan meninggalkan katebelce, tetek bengek dan kompleksitas lingkungan kehidupan sebagai manusia.
Atau mungkin anda tidak bercita-cita demikian? Ya. Biar saya sendiri.
Tapi, semoga kita adalah manusia yang sukses di dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H