Mohon tunggu...
luthfi
luthfi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Narasi Tentang Rutinitas yang Menyibukkan

4 Februari 2016   13:24 Diperbarui: 4 Februari 2016   15:19 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sebagai seorang sarjana muslim yang tentunya punya keterikatan emosional dan religus lebih dekat kepada umat muslim yang lain, saya dan anda tentu pernah memiliki niat menjadi penggerak kemajuan ekonomi dan perbaikan peradaban mereka. Anda tentu tahu bahwa perangkat keagamaan di kalangan manusia petani dan pedagang serta nelayan semacam mereka telah lengkap. Masjid ada, ulama ada, kumpul sering. Tapi, mengapa belum juga mampu lepas landas dan maju?

Menurut sosiolog Max Weber, struktur patrimonial yang ada dalam masyarakat islam yang berlandaskan kharisma penguasa, mengakibatkan masyarakat islam sulit maju dan menjadi pendukung kapitalisme. Lebih jauh, struktur dan budaya yang terbangun dalam masyarakat islam juga membuat mereka cenderung tidak rasional, sehingga pula mereka sulit maju.

Tapi, bukankah berkali-kali Gusti Allah mengingatkan untuk berpikir dan tentunya berpikir adalah menggunakan rasio atau akal? Wallahu a’lam.

Agak siang, beberapa kali dalam sebulan saya akan mengunjungi bank untuk melakukan transaksi menabung maupun mengambil tabungan. Bank adalah lembaga yang unik. Kasihan mereka yang mengelola perbankan, ditengah niat baik untuk menghimpun, menyimpankan dan menyalurkan dana kepada masyarakat untuk keperluan usaha dan sebagainya mereka masih saja dituduh melakukan praktik ribawi. Praktik haram yang balasannya adalah neraka dengan dosa yang berat tak tertanggungkan.

Lalu muncul bank-bank yang melabeli dirinya dengan gelar syariah. Mereka memodifikasi nama transaksi jadi akad bermacam-macam. Dibentuk pula dewan yang secara khusus mengawasi praktik perbankan mereka masih sesuai syariah. Tapi, lagi-lagi bank semacam ini masih saja dituduh cuma ganti nama, hanya ganti istilah menjadi serba arab, tapi praktiknya gak beda dengan yang konvensional.

Bank memang merupakan instansi penting bahkan sangat penting dalam sistem keuangan yang ada saat ini. Meskipun praktik perbankan hanya membuat uang atau menciptakannya, mengedarkannya, memungut bunga daripadanya, hanya dengan membuat angka diatas sebuah rekening. Ya, uang yang beredar saat ini memang diperdebatkan nilainya, sebab tidak dijaminkan dengan emas perak maupun sebagainya. Sehingga nilainya tidak lebih dari sekedar selembar kertas. Tapi, tanpa bank dan kalau bank ada tapi dinggap haram transaksi disana, saya dan anda tentu bingung harus menabung dan menyembunyikan uang dimana? Mau di celengan? Atau mau menyimpan emas sebagai alat transaksi?

Menjelang sore, mungkin sempatkan menonton televisi dan menyaksikan ulang bahwa hari ini segala ‘sampah kebudayaan’ ditampilkan di layar televisi. Atau yang paling baru tentang kematian di warung kopi. Kopi memang menjadi minuman yang sedang naik daun beberpa waktu terakhir, bahkan filosofinya difilmkan. Dari penelusuran polisi, yang kemarin juga baru selesai menumpas teroris, ditemukan bahwa Mirna si penikmat kopi ternyata di racun. Ada indikasi temannya sendiri yang sengaja membunuhnya.

Pembunuhan Mirna, diluar apapun alat dan media yang digunkan untuk membunuh, mulai kopi, racun sianida atau handphone sekalipun. Atau dimanapun tempat pembunuhannya, mulai kafe, masjid, SPBU, lokasi wisata dan dimanapun. Yang pasti, jangan sampai kemudian menyebabkan kopi menjadi di haramkan, atau duduk berdua di warung kopi dan kafe adalah suatu perbuatan terlarang dengan argumentasi bisa memicu pembunuhan dan alasan-alasan yang kurang masuk akal lain yang sering jadi penguat pengharaman.

Biarlah yang suka minum kopi tetap menikmati kopinya. Biar yang suka berkumpul dan melepas rindu dengan teman lama tetap bertemu dan bercanda bersama. Tapi, pembunuhan yang setiap hari terjadi mulai dari kafe, perkampungan, sekolahan dan berbagai macam tempat oleh berbagai macam orang di negeri ini merupakan bukti bahwa nyawa begitu rendah harganya. Juga orang mati dibunuh merupakan kejadian wajar yang sekilas bisa dilupakan dengan sekedar mengumpati si pembunuh ketika berita di tayangkan, dan kemudian saya atau anda bisa melanjutkan aktifitas lain. Juga menunjukkan ada yang salah dengan kesadaran saya juga anda sebagai manusia, yang dalam menyikapi pembunuhan semacam itu malah memberikan porsi perhatian lebih pada modus operandi pelaku yang berulangkali direka ulang oleh polisi dan ditayangkan televisi. Sesekali terbersit niat untuk iseng-iseng menirukan.

Bantuan yang seringkali datang untuk orang semcam Mirna adalah tagar-tagar atau hashtag di media sosial yang berisi belasungkawa baginya. Mungkin akan ada #SemogaKhusnulKhatimah #RIPMirna atau juga nanti akan muncul #KopiTidakMematikan dan ekspresi unik serta dungu dari segolongan manusia yang digelari sebagai netizen. Ya, meskipun doa media sosial semacam itu belum tentu mempermudah Mirna menjawab pertanyaan malaikat, belum tentu juga membantu proses penyidikan yang dikembangkan polisi, tapi itulah wujud budaya viral dan ikut-ikutan yang saat ini kita kembangkan.

(Bahkan dalam hampir semua momen, bantuan dan respon yang saat ini saya dan anda bisa sumbangsihkan tidak lebih dari tagar semacam itu: mulai perampokan, kelaparan di Afrika, perang di Palestina, bom Sarinah, juga kebijakan yang salah dari Bung Jokowi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun