Mohon tunggu...
Luthfa Arisyi
Luthfa Arisyi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa program studi Jurnalistik di Universitas Padjadjaran yang sekali-sekali suka nulis.

Selanjutnya

Tutup

Bola

Piala Dunia 2022 dan Gerakan Politis di Dalamnya

5 Januari 2023   00:43 Diperbarui: 5 Januari 2023   00:45 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gelaran kompetisi Piala Dunia FIFA kembali bergulir setelah terakhir diadakan empat tahun lalu di Rusia. Sedikit berbeda dari sebelumnya, kompetisi sepak bola terbesar di dunia ini diadakan di pengujung tahun 2022. Hal ini disebabkan karena iklim negara penyelenggara, yaitu Qatar, yang akan terlalu panas jika kompetisi tetap diadakan pada musim panas seperti biasanya. Qatar juga merupakan negara Timur Tengah pertama yang dapat menyelenggarakan kompetisi Piala Dunia FIFA. Banyak sekali hal-hal baru yang ada di piala dunia edisi 2022 ini seperti banyaknya pemain muda bertalenta, pemain senior yang berkompetisi di piala dunia terakhirnya, dan stadion dengan air conditioner untuk melawan panasnya udara Qatar.

Namun, di samping hal-hal baru yang kita lihat di piala dunia kali ini, ada juga sederetan kejadian kontroversial yang terjadi selama persiapan hingga pelaksanaan kompetisi. Mulai dari banyaknya dugaan tindak korupsi dibalik penentuan Qatar sebagai tuan rumah, ribuan buruh yang kehilangan nyawanya selama mengerjakan proyek pembangunan fasilitas penunjang, dan gerakan politis yang dilakukan oleh beberapa negara selama berlangsungnya kompetisi.

Qatar sebagai negara Islam, menetapkan beberapa aturan yang harus dipatuhi oleh negara pendatang selama berlangsungnya kompetisi, baik fans maupun orang-orang yang terlibat dalam tim. Salah dua aturan yang paling ramai disorot adalah larangan mengonsumsi minuman beralkohol dan tindakan berbau LGBTQ+ seperti berhubungan sesama jenis atau tindakan yang mendukung gerakan tersebut. Bahkan, panitia pelaksana piala dunia secara spesifik melarang penggunaan ban kapten dengan warna pelangi dan tulisan OneLove selama kompetisi.

Aturan mengenai gerakan LGBTQ+ tersebut ternyata banyak ditentang oleh negara dan media dari barat. Salah satunya adalah timnas Jerman yang menggunakan gestur menutup mulut ketika berfoto tim sebagai simbol bahwa Qatar telah membungkam kebebasan berbicara mereka. Bahkan, kapten mereka, Manuel Neuer, diam-diam menggunakan ban kapten pelangi di dalam seragamnya, meskipun akhirnya wasit mengetahui hal tersebut dan meminta untuk melepasnya. Kemudian, Inggris dan Denmark bersama-sama dengan Jerman mengancam akan keluar dari FIFA jika mereka masih dilarang untuk menggunakan ban kapten pelangi.

Meskipun ada pihak dan media yang mendukung gerakan yang dilakukang oleh ketiga negara tersebut, tidak sedikit pula pihak yang tidak setuju dengan mereka. Bahkan, beberapa pemain secara terang-terangan menyiratkan dalam konferensi pers bahwa gerakan penolakan tersebut agak kurang pantas untuk dilakukan di tengah perhelatan kompetisi olahraga terbesar di dunia ini. Seperti kapten timnas Swiss, Granit Xhaka, yang mengatakan bahwa ia bersama timnya tidak merasa harus melakukan apapun terkait dengan gerakan tersebut dan harus fokus dengan sepak bola dan menghormati aturan yang telah ditetapkan.

Sepak bola sebagai olahraga paling populer di dunia memang telah lama menjadi pemersatu semua orang di dunia. Tak jarang juga sepak bola kerap digunakan sebagai alat propaganda gerakan politik. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan hal tersebut selama gerakan yang dilakukan tidak bertentangan dengan aturan yang telah ditetapkan. Seperti gerakan mendukung LGBTQ+ yang dilakukan di Liga Inggris, tidak ada yang salah karena Inggris memang memperbolehkan hal tersebut. Namun, ketika gerakan yang dilakukan bertentangan dengan adat dan aturan tempat kompetisi tersebut dijalankan, bukankah seharusnya mereka mendahulukan adat yang berlaku? Seperti kata pepatah, 'Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung'. Sudah sepatutnya seseorang mengikuti atau menghormati adat istiadat yang berlaku di tempat ia sedang berada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun