Saya kembali merenungkan sikap seorang saudari ini, baru saja kami memuji-muji Tuhan dengan nyanyian juga dengan doa-doa permohonan kami, tapi apakah ini hasil doanya?
saya bukan orang yang sulit untuk diingatkan atau ditegor, tetap bahwa sudah sekian banyak hari raya yang kami lalui dan kami rayakan, dan tidak pernah kain altar digantikan dengan kain altar yang tidak sesuai dengan lingkaran liturgi, mengapa baru kali ini, saudari ini merasa terganggu dengan itu. Apakah penghayatan doanya tergantung dengan keindahan sekitarnya.Â
Bukankah doa itu lebih terasa ketika mata ditutup dan hati yang hening untuk memulai percakapan yang mesra dengan Tuhan. Saya merenung-renung dalam hati, sebatas simbol sajakah doa ini?. Hingga siapa saja akan kena imbas ketika selera mata berkurang.
Hal yang bisa saya petik dari pengalaman ini adalah bahwa:
berdoa bukanlah sebatas rutinitas saja tetapi jadikanlah doa itu sebagai jantung hidup.
Jangan biarkan hidup doamu di tentukan oleh indah tidaknya tempat di mana kita berdoa, karena itu hanyalah nafsu atau selera mata dan itu sudah barang tentu bukan lagi doa, tetapi penikmat suasana.
Bisa saja tempat itu indah karena dekorasinya tetapi jangan lalu itu yang mengatur suasana hatimu untuk berdoa karena itu semua hanya sarana dan Tuhan tidak meminta itu. Tuhan malah pergi berdoa ditempat-tempat yang sunyi dan di pegunungan.
Selesai berdoa hendaknya diri sendiri lebih baik dari sebelumnya. Namanya juga berdoa, berjumpa dengan Tuhan, buah dari perjumpaan dengan Tuhan hendaknya dialami oleh setiap orang.
Semoga bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H