Mohon tunggu...
Mohammad Lutfi
Mohammad Lutfi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tenaga pengajar dan penjual kopi

Saya sebenarnya tukang penjual kopi yang lebih senang mengaduk ketimbang merangkai kata. Menulis adalah keisengan mengisi waktu luang di sela-sela antara kopi dan pelanggan. Entah kopi atau tulisan yang disenangi pelanggan itu tergantung selera, tapi jangan lupa tinggalkan komentar agar kopi dan tulisan tersaji lebih nikmat. Catatannya, jika nikmat tidak usah beri tahu saya tapi sebarkan. Jika kurang beri tahu saya kurangnya dan jangan disebarkan. Salam kopi joss

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ospek dan Segala Persoalannya di Kampus

18 September 2020   20:33 Diperbarui: 18 September 2020   20:41 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pelaksanaan ospek di kampus | Sumber: palembang.tribunnews.com

"Seseorang bisa mencintai secara sehat kalau mengenal objeknya ...." Itulah kata-kata yang pernah ditulis Soe Hock Gie, salah satu aktivis pada masa orde lama. 

Kata-kata lain yang senada dengan kata-kata tersebut dan lebih familiar didengar adalah "Tak kenal maka tak sayang". Apa artinya? Jawaban yang jelas adalah seseorang memiliki rasa cinta, suka, sayang, peduli, dan rasa memiliki pasti diawali dari perkenalan. Perkenalan akan menuntun seseorang pada tahap-tahap lebih lanjut dengan menelisik seluk-beluk objek yang dikenalnya.

Lalu apakah perkenalan untuk menumbuhkan perasaan-perasaan di atas hanya terbatas objek manusia? Rupanya tidak. Perkenalan tidak dibatasi dengan satu objek. Perkenalan dapat dilakukan seseorang dengan objek non manusia, seperti sekolah dan kampus . Oleh karenanya ada istilah Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek).

Di dalam kegiatan ospek ini, siswa yang berubah statusnya menjadi mahasiswa akan dibantu untuk mengenal lingkungan kampus mereka, agar mampu beradaptasi lebih cepat. Mahasiswa baru akan dibimbing untuk saling mengenal satu sama lain, mengenal seluk-beluk kampus mereka, sistem pembelajaran di kampus dan segala fasilitas yang dimiliki. Hingga akhirnya, segala bentuk kegamangan dan kecanggungan saat sebelum masuk di lembaga pendidikan yang baru dapat teratasi dan mahasiswa dapat belajar dengan nyaman.

Namun, sayangnya dalam praktik kegiatan ospek terkadang tatacara pengenalan tidak dilakukan dengan aman dan nyaman oleh beberapa oknum sehingga muncullah beberapa kasus yang tidak mengenakkan dalam kegiatan tersebut. Oleh karena itu, sungguh menarik bila kita mengulik kembali problematika ospek di kampus dengan cara menarik mundur ke belakang guna mengetahui latar ospek. Berikut uraian mengenai ospek berdasarkan pengalaman penulis dan beberapa sumber lain.

Sejarah ospek

Ospek telah menjadi menu wajib di tingkat perguruan tinggi. Kegiatan ini dilaksanakan oleh kampus dengan panitia biasanya terdiri dari kakak tingkat atau senior yang menginjak semester tiga, lima dan tujuh. Sementara  yang menjadi pesertanya adalah mahasiswa baru yang mendaftar dan dinyatakan lulus tes ujian masuk.

Ospek dengan tujuan baik dan segala bentuk kegiatan di dalamnya memiliki sejarah panjang di dalam lingkup pendidikan kita. Ada yang menyebutkan bahwa ospek bermula di tanah Inggris, tepatnya di Universitas Cambridge. Disebutkan bahwa, mahasiswa baru di sana yang berasal dari golongan konglomerat, sehingga bertingkah seenaknya,  tidak disiplin dan tidak mau diatur. Oleh karena itu pihak universitas mengambil langkah bahwa mahasiswa baru yang masuk harus diplonco supaya berperilaku hormat dan disiplin.

Sementara itu, ospek di Indonesia bermula sejak zaman kolonial, tepatnya di Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (1898-1927). Kemudian terus berlanjut pada masa Geneeskundinge Hooge School (GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran (1927-1942) dan sekarang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Setelah itu, ospek berkembang ke kampus-kampus dan dijadikan menu wajib hingga saat ini.

Jadi, tidak salah manakala ospek dipandang sebagai warisan turun-temurun sejak zaman kolonial. Praktiknya pun serupa hingga saat ini, dimana perpeloncoan kerap terjadi saat pelaksanaan ospek. Sasarannya pun sama yaitu mahasiswa baru yang masuk di kampus tersebut.

Beberapa kasus kekerasan dalam ospek

Sudah disebutkan sebelumnya bahwa kegiatan ospek beberapa kali dilakukan dengan cara yang tidak aman dan nyaman. Tidak aman dalam artian Kegiatan tersebut tidak lepas dari  ancaman kekerasan mental dan fisik, sedangkan tidak nyaman sebagai akibat dari kurang baiknya perlakuan pihak panitia, kurang kondusifnya lingkungan kampus, serta sambutan yang kurang hangat oleh  warga lama terhadap warga baru di kampus.

Beberapa kasus dapat menjadi contoh pelaksanaan ospek masih belum sepenuhnya jauh dari kekerasan. Misalnya, dimulai dari kasus terbaru yaitu di salah satu kampus negeri di Surabaya yaitu Unesa, dalam pelaksanaan ospek, pihak panitia melakukan kekerasan verbal dengan cara membentak salah satu mahasiswa.

Kejadian itu terjadi beberapa waktu lalu dan beredar luas di pemberitaan nasional. Kasus itu bermula saat salah satu panitia meminta mahasiswa baru menunjukkan ikat pinggangnya. Namun, salah satu mahasiswa baru tidak memakai ikat pinggang. Melihat hal itu mulailah panitia ospek membentak  si mahasiswa baru tersebut.

Selain kasus di Unesa, jika ditarik mundur ke belakang pada tahun 2019 kasus kekerasan dan perpeloncoan juga pernah terjadi. Masih segar dalam ingatan kita, praktik kekerasan dan perpeloncoan dilakukan oleh panitia ospek di Universitas Khairun Ternate, Maluku Utara. Mahasiswa baru di kampus tersebut di suruh meminum air yang disediakan panitia lalu meludahkannya kembali. Setelah itu, air bekas tadi digilir ke mahasiswa baru lainnya dan melakukan hal yang sama. Jelas, perasaan geli, jijik, hingga mual-mual dirasakan mahasiswa baru yang meminumnya.

Selanjutnya, jika ditarik lebih jauh lagi ke belakang, maka kita akan menemukan kasus yang lebih parah yaitu pada tahun 2013. Kasus meninggalnya salah satu mahasiswa IPDN Sulawesi Utara membuat geger tanah air, khususnya di lingkungan pendidikan. Meninggalnya mahasiswa IPDN tersebut rupanya terjadi akibat kekerasan yang diterima saat masa orientasi.

Kasus lainnya tentu masih banyak, namun tiga kasus yang telah disebutkan rasanya sudah cukup menjadi bahan evaluasi pendidikan kita. Selain itu, berbagai kasus yang terjadi menjadi penanda bahwa pendidikan kita sejauh ini belum bisa lepas dari tindak kekerasan baik fisik maupun verbal. Tentu dengan berbagai kekerasan dan perpeloncoan  yang terjadi akan merusak citra pendidikan terlebih kampus dimana mereka menimba ilmu.

Seputar faktor kekerasan

Pertanyaan berikutnya, faktor apa sih yang melatarbelakangi perilaku kekerasan muncul dalam kegiatan ospek? Kita bisa melihat tak ada asap kalau tidak ada api. Begitu juga dengan ospek, pasti ada yang faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan. Beberapa faktor berikut sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan saya selama menjadi peserta dan panitia ospek semasa kuliah dulu.

Ajang unjuk gigi. Hadirnya mahasiswa baru menjadi suatu keberkahan tersendiri bagi mahasiswa lama di suatu kampus. Dalam menyambut mahasiswa baru itulah satu agenda wajib dilaksanakan yang kita sebut ospek. Mahasiswa lama dipilih dan disaring untuk menjadi panitia ospek, sehingga tidak ayal untuk menjadi panitianya terkadang harus berebut kursi.

Terpilih menjadi panitia ospek membawa citra positif. Setidaknya dengan dipilih menjadi panitia ospek, anggapan sebagai orang yang memiliki peran besar di kampus terpatri pada si terpilih menjadi panitia. Nah, disinilah terkadang menjadi ajang unjuk gigi bagi para senior untuk menunjukkan kebolehan dan kekuasaannya. 

Senior yang merasa lebih dulu dan lama di kampus akan beraksi dengan begitu agresif sehingga memungkinkan untuk melakukan tindak kekerasan. Apalagi, jika melihat sedikit saja kesalahan pada mahasiswa baru dan tidak mampu mengendalikan diri, maka si mahasiswa baru akan menjadi bulan-bulanan kejengkelan. Umumnya, tindakan semacam ini tidak dilakukan sendiri, tetapi bisa dua orang  atau lebih.

Ajang balas dendam. Menjadi maklum kalau ada ospek berbau kekerasan terus berlangsung hingga kini. Alasannya cukup sederhana, mindset balas dendam akibat perlakuan sebelum-sebelumnya tidak hilang, sehingga saat menjadi panitia menjadi kesempatan untuk melampiaskan apa yang telah diterima di ospek sebelumnya.

Tindakan seperti itu telah menjadi kebiasaan sejak lama, bahkan pada masa kolonial. Jadi, kita dapat menyimpulkan bukan hanya ospeknya yang diwariskan secara turun-temurun, namun bentuk kekerasan dan perpeloncoannya pun turut menjadi warisan yang hingga kini belum bisa hilang sepenuhnya.

Melihat hal-hal yang telah disebutkan di atas, sudah sepatutnya tindak kekerasan dan perpeloncoan tidak dilakukan lagi, terlebih dalam lingkungan pendidikan. Lingkungan pendidikan yang sejatinya tempat para generasi penerus bangsa menempa diri menuju ke arah yang lebih baik, harus menjadi tempat yang paling aman dan nyaman bagi setiap orang yang ada di dalamnya.

Ospek sebagai kegiatan awal kampus bagi mahasiswa baru sudah semestinya dilaksanakan dengan menarik dan menyenangkan tanpa tindakan kekerasan dan perpeloncoan. Jika kampus diibaratkan dengan taman sebagaimana konsep Ki Hadjar Dewantara, maka seyogianya panitia ospek atau senior menjadi pemandu yang baik untuk adik-adiknya. Menunjukkan dengan baik mana tempat-tempat yang indah untuk menjadi spot belajar dan mengenalkan fasilitas apa saja yang dapat dimanfaatkan dalam taman tersebut.

Referensi
kompas.com
merdeka.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun