Mohon tunggu...
Mohammad Lutfi
Mohammad Lutfi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tenaga pengajar dan penjual kopi

Saya sebenarnya tukang penjual kopi yang lebih senang mengaduk ketimbang merangkai kata. Menulis adalah keisengan mengisi waktu luang di sela-sela antara kopi dan pelanggan. Entah kopi atau tulisan yang disenangi pelanggan itu tergantung selera, tapi jangan lupa tinggalkan komentar agar kopi dan tulisan tersaji lebih nikmat. Catatannya, jika nikmat tidak usah beri tahu saya tapi sebarkan. Jika kurang beri tahu saya kurangnya dan jangan disebarkan. Salam kopi joss

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pendidikan Orang-orang Pinggiran Saat Pandemi Covid-19

11 Agustus 2020   16:18 Diperbarui: 12 Agustus 2020   13:30 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh AkshayaPatra Foundation dari Pixabay

Pendidikan adalah gerbang menuju kesuksesan. Itulah ungkapan yang pernah kita dengar dari seseorang atau kita baca di sebuah kedua tulisan.

Pernyataan motivasi tersebut mengindikasikan betapa pentingnya pendidikan sehingga untuk mendapatkan kesuksesan harus membuka pintu pendidikan dan memasukinya.

Pendidikan seperti oase atau telaga di tengah padang tandus yang menyimpan harapan bagi kehidupan sekitarnya. Pendidikan seperti kereta api yang memiliki banyak gerbong kemudian gerbong-gerbong tersebut berisi orang-orang yang berharap sampai ke tujuan dengan selamat. Selanjutnya suka ria dari penumpang ketika telah tiba di tujuan.

Pentingnya pendidikan yang disertai kemajuan dan perkembangan zaman turut menggeser pandangan orang tua terhadap putra-putrinya.

Jika dulu orang tua banyak memilih untuk menikahkan anaknya secara dini atau paling tidak lebih memilih bekerja daripada sekolah, saat ini orang tua justru banyak mendukung anaknya untuk sekolah sampai pergguruan tinggi.

Sekolah yang ada saat ini telah menjadi ikon sautu lembaga pendidikan. Perubahan demi perubahan pada sekolah terus berlanjut hingga kini.

Bisa kita bayangkan, sekolah yang dulu hanya sebatas mengisi waktu luang dengan belajar, sekarang malah menjadi lembaga bagi para siswa untuk belajar. Sekolah pula dapat mengeluarkan ijazah sebagai tanda anak pernah sekolah dan dinyatakan lulus.

Bermodal ijazah itu pula anak dapat menentukan masa depannya untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi atau bekerja.

Seiring berjalannya waktu, sekolah terus berkembang. Bangunan-bangunan tegak berdiri dan didukung dengan segala fasilitas yang ada.

Teknologi pun turut menjadikan sekolah semakin mantap sebagai lembaga yang dapat menyokong kesuksesan anak.

Akhirnya, sumber belajar pun saat ini tidak hanya guru atau buku, tetapi internet dengan segala kecanggihannya menjadi sumber belajar berikutnya yang digemari.

Ragam kemajuan pendidikan di negara kita saat ini semakin tampak manakala covid-19 atau korona menyerang dan memakan korban. Kegiatan sekolah dapat dilakukan di rumah dengan memanfaatkan media pembelajaran seperti whatsapp, zoom, youtube, facebok dan lain sebagainya. Dengan begitu, kegiatan belajar mengajar tetap berjalan meski tak sebagaimana mestinya.

Selanjutnya membayangkan kemajuan pendidikan dengan sekolah yang telah mentereng dan fasilitas luar biasa memang begitu indah.

Namun siapa sangka, seperti yang telah disebutkan tadi bahwa pendidikan seperti oase atau telaga di gurun pasir, nyatanya tidak semua orang dapat menikmati kesegaran airnya. Faktor-faktor seperti ekonomi, fasilitas, wilayah menjadi kendala dikecapnya tetes kemajuan itu.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut itulah penulis menulis sekolahnya orang pinggiran. Orang pinggiran tidak hanya dibatasi oleh wilayah saja, akan tetapi dari segi ekonomi pula menjadi tersisih untuk sekolah dan memperoleh pendidikan.

Bahkan ekonomi menjadi masalah utama bagi orang-orang pinggiran yang membuatnya tidak bisa turut andil dalam menyelami sumber air yang bernama pelajaran ataupun kalau ada masih perlu usaha ekstra menggapainya.

Bisa dilihat saat ini, ketika pandemi covid-19 tidak semua orang dapat mengikuti pelajaran yang diadakan dengan cara daring. Alasanya adalah ketiadaan perangkat seperti gawai, paketan data dan jaringan. Tidak sedikit anak-anak yang harus menumpang perangkat gawai kepada orang lain untuk belajar atau satu gawai untuk semua dalam keluarga.

Selanjutnya, pertimbangan membeli paketan data menjadi urutan ke sekian setelah kebutuhan pokok terpenuhi. Jika pun ada paket tentu haruslah hemat untuk kebutuhan yang lain dan tidak melulu urusan sekolah. Bagi orang yang berkecukupan tentu paket bukanlah apa-apa untuk tetap bisa belajar.

Dari segi letak wilayah, kita tidak bisa menutup mata bahwasannya pendidikan di Indonesia tidak semulus jalan tol di kota-kota besar.

Daerah-daerah pinggiran masih kurang terfasilitasi dengan maksimal. Hal itu dapat kita lihat dari berbagai media seperti televisi, koran, dan lainnya.

Dapat dilihat bahwasannya tidak semua daerah dapat menangkap sinyal ponsel. Bahkan yang lebih miris lagi ada daerah yang belum menerima pasokan listrik.

Hingga akhirnya, apa yang dipandang sebagai kemajuan jika dipotret dari sudut pandang yang telah dijelaskan di atas menjadi anomali pendidikan yang sebenarnya di negara ini. Orang-orang pinggiran dengan keadaan yang serba kekurangan menjadi potret tersendiri atas ketidakmerataan pendidikan. Terlebih lagi saat pandemi covid-19 menyerang negara ini.

Potret lain dari pendidikan orang-orang pinggiran, terutama saat pandemi covid-19 dapat dilihat dalam lingkungan keluarga. Kita bisa membayangkan bahwa tidak semua orang tua dapat memahami tugas sekolah siswa selama belajar dari rumah. Bahkan, terdapat sebagian orang tua yang masih buta huruf.

Oleh karena itu, menjadi maklum manakala orang tua memasrahkan anaknya secara penuh ke sekolah. Sekolah menjadi sumber pendidikan utama untuk masa depan anaknya.

Kita dapat melihat adanya kelas-kelas pendidikan di negara kita ini. Kelas berdasarkan wilayah seperti kota, desa, pelosok, terluar, dan tertinggal.

Ada pula berdasarkan ekonomi seperti orang kaya, miskin, dan konglomerat. Berdasarkan pekerjaan pun dapat disebutkan seperti anak petani, buruh, pegawai dan pengusaha. Pengkotakan semacam itu pada akhirnya menunjukkan sekolahnya orang kaya, orang miskin, pengusaha dan beragam pandangan lainnya.

Dari semua itu, pemerataan pendidikan menjadi suatu keharusan dari pusat sampai daerah agar setiap generasi masa depan bangsa memiliki masa depan yang cerah guna membangun Indonesia yang lebih maju. Fasilitas pendidikan termasuk juga infrastruktur harus menjadi tujuan utama pembangunan agar lebih nyaman dalam proses peningkatan mutu pendidikan di negara ini.

Terakhir adalah adanya covid-19 menjadi bahan refleksi dan keterbukaan pandangan kita terhadap pendidikan orang-orang pinggiran.

Kita juga dapat melihat ketimpangan pendidikan kita selama ini yang katanya semakin hari kian maju, namun kemajuan itu belum dirasakan oleh seluruh wilayah. 

Bagi orang-orang pinggiran, kembali dibukanua sekolah secara perlahan dan bertahap sesuai dengan protokol kesehatan menjadi angin segar yang berembus dari dataran dan membawa kesejukan.

Kesungguhan dan kedisiplinan dalam melawan covid-19 menjadi solusi normalnya berbagai sektor terutama pendidikan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun