Melihat mutu pendidikan Indonesia dari hasil tes PISA memang tidak dimungkiri membuat kita mengelus dada. Peringkat sepuluh besar seperti hunian nyaman untuk pendidikan kita. Jika diibaratkan klasemen sepak bola, pendidikan kita berada di atas zona degradasi. Artinya, tidak sampai di tengah klasemen.
Akibatnya, beberapa hari lalu pemberitaan sempat dihebohkan dengan pernyataan salah satu pengamat pendidikan, Indra Charismiadji. Katanya, guru di Indonesia anti kritik, maunya gaji besar dan kualitas rendah. Pernyataan tersebut sebagai respons atas mutu pendidikan Indonesia yang masih rendah.
Apa yang disampaikan oleh Indra Charismiadji tidak sepenuhnya keliru. Akan tetapi, menggeneralisir semua guru kurang tepat dan kurang adil, sebab masih banyak guru yang terus berkarya dan meningkatkan kualitasnya.
Senyatanya bukan hanya kualitas guru saja yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan Indonesia. Faktor lain juga memengaruhi rendahnya mutu pendidikan Indonesia, seperti kurikulum, sarana dan prasarana, akses pendidikan, kemampuan literasi, ekonomi, politik  dan geografis.
Dikupas dari sudat pandang kemampuan literasi, memang bukan rahasia umum lagi kalau kemampuan literasi Indonesia masih rendah, terutama dalam literasi membaca. Mengapa membaca? Sebab membaca merupakan palang pintu utama untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan kemampuan lainnya. Termasuk meningkatkan mutu pendidikan kita.
Jadi, tidaklah heran jika skor PISA tahun 2018 untuk tes membaca berada di urutan 72 dari 77 negara. Hasil tersebut menunjukkan minat membaca penduduk semakin melorot dari hasil PISA tahun 2015 lalu.
Tidak heran pula kalau UNESCO menyebutkan dalam seribu penduduk hanya ada satu orang yang gemar membaca. Sebab, membaca belum menjadi kebiasaan, kegemaran dan bahkan budaya.
Peran tripusat pendidikan
Kebiasaan, kegemaran dan budaya membaca tidak serta merta tumbuh begitu saja bagi anak atau siswa. Peran penting tripusat pendidikan antara keluarga, sekolah dan masyarakat menjadi kunci untuk meningkatkan literasi membaca siswa dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan.
Sayangnya, sinergi antara ketiganya saat ini belum tampak nyata. Keluarga atau orangtua (meski tidak semua) Â seperti lepas penuh kepada sekolah dalam usaha pendidikan anak. Kontrol orangtua terhadap tumbuh kembangnya kemampuan membaca seperti redup setelah anak disekolahkan.
Begitu juga dengan masyarakat, saat ini antara sekolah dan masyarakat seperti ada tembok penghalang. Jika dibahasakan dengan sederhana "masalah membaca urusan sekolah". Padahal, masyarakat adalah tempat anak akan menempa diri sesungguhnya.
Apa yang harus dilakukan oleh orangtua, sekolah dan masyarakat harus mendukung perkembangan anak. Di rumah, orangtua dapat menyediakan menu bacaan yang menarik untuk anak.
Sekolah dengan kelengkapan fasilitas, kualitas guru dan gerakan literasinya semakin gencar menyediakan dan mempromosikan buku dan bahan bacaan lain. Sementara itu, masyarakat dapat membuat konsep taman baca desa yang menarik.
Motivasi diri dan kemajuan teknologi
Segala bentuk usaha yang telah disebutkan di atas akan gagal manakala tidak ada dukungan dari dalam diri sendiri. Motivasi memberikan peran penting untuk anak dalam mengambil keputusan. Misalnya, keputusan kapan membaca, dimana membacanya, dan berapa judul buku yang harus dihabiskan dalam seminggu.
Motivasi diri untuk membaca inilah yang menjadi tantangan bagi orangtua, guru dan masyarakat sekitar. Siswa atau anak kadang tidak memiliki motivasi untuk membaca buku meski hanya sebentar.
Hal itu berbanding terbalik dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi yang menghasilkan produk berupa gim-gim baru. Gim tersebut dapat diakses melalui gawai dan dapat membuat anak kecanduan. Keseruannyalah yang menyebabkan anak lebih termotivasi untuk bermain gim daripada membaca.
Selain gim, berselancar di dunia maya menjadi kegemaran lain dari penduduk Indonesia. Facebook, twitter, youtube, instagram, tiktok seperti menjadi aplikasi media sosial yang wajib ada di peringkat gawai.
Pada saat yang seperti itu teknologi menjadi satu sisi mata uang yang negatif. Peran positifnya tidak tampak kalau tidak dimanfaatkan untuk memotivasi diri ke arah yang lebih baik, semisal kegiatan membaca.
Akses buku dan mahalnya harga
Motivasi yang tinggi dari seorang dalam membaca terkadang tak didukung oleh kemudahan dalam mengakses buku. Dewasa ini kemudahan akses buku belum merata hingga ke pelosok-pelosok desa di Indonesia. Dalam bentuk digital pun dibatasi akses internet dan kemampuan membeli gawai (keterbatasan ekonomi).
Dilema kebutuhan lainnya terutama kebutuhan pokok menjadi alasan lain yang kerap menjadi pertimbangan seseorang untuk membeli buku. Apalagi, mahalnya harga buku kadang membuat seseorang menjadi enggan untuk membeli.
Oleh karenanya, dalam perayaan hari buku nasional (harbuknas) alangkah baiknya sama-sama merefleksi dan berupaya membangun kesadaran membaca yang didukung dengan kemudahan akses dan ringannya harga. Kerjasama berbagai elemen menjadi kunci utama dalam menyongsong kemajuan bangsa ini.
Rendahnya kemampuan literasi seperti yang selalu diteskan oleh PISA (membaca, matematika, dan sains) menjadi pekerjaan rumah bersama, bukan guru semata  yang ada di sekolah. Meningkatnya kemampuan literasi secara langsung akan berdampak pada meningkatnya tatanan kehidupan yang berlaku seperti sosial, ekonomi, politik, bahkan mutu pendidikan kita.
Selamat hari buku nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H