Mohon tunggu...
Mohammad Lutfi
Mohammad Lutfi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tenaga pengajar dan penjual kopi

Saya sebenarnya tukang penjual kopi yang lebih senang mengaduk ketimbang merangkai kata. Menulis adalah keisengan mengisi waktu luang di sela-sela antara kopi dan pelanggan. Entah kopi atau tulisan yang disenangi pelanggan itu tergantung selera, tapi jangan lupa tinggalkan komentar agar kopi dan tulisan tersaji lebih nikmat. Catatannya, jika nikmat tidak usah beri tahu saya tapi sebarkan. Jika kurang beri tahu saya kurangnya dan jangan disebarkan. Salam kopi joss

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kelas-kelas Pendidikan

4 Mei 2020   10:47 Diperbarui: 4 Mei 2020   10:47 3396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pendidikan di pelosok | Sumber: Tribunnews.com

Bahkan, dilansir dari tempo.co saat ini masih banyak anak-anak yang putus sekolah. Salah satu faktor yang menyebabkan putusnya sekolah adalah kemiskinan.

Martono, Puspitasari, dan Wardiyono (2018) dalam Kematian Sekolah Swasta membagi kelas sekolah menjadi dua, yaitu kelas atas dan kelas bawah. Kelas atas biasanya memasuki sekolah negeri atau swasta yang mahal dan berkelas. Individu kelas bawah cenderung memilih sekolah swasta murah dan bahkan tidak sedikit pula yang cenderung memilih berhenti sekolah.

Agaknya kesenjangan antara dua kelas itu dapat kita lihat saat ini. Saat pendidikan kita diuji oleh pandemi covid-19 dan dikeluarkannya kebijakan pembelajaran daring. Kita dapat menyaksikan kerepotan orang tua dalam menyediakan paket seluler. 

Barangkali bagi kelas atas atau orang kaya harga paket bukanlah masalah, tetapi bagi kelas bawah atau miskin justru sebaliknya. Jangankan paket, perangkat gawainya saja ada yang tidak memiliki.

Kelas lain sekolah kita dapat ditentukan dari letak geografis, yang dapat dibagi menjadi sekolah kota, sekolah desa dan sekolah pelosok. Perbedaan sekolah di desa dan di kota pernah penulis rasakan. Di kota, gedung-gedung sekolah tegak mentereng, perpustakaan mudah dijumpai di sekolah dan perpustakaan umum. 

Buku-buku bacaan mudah di temui baik di toko besar maupun lapak pinggir jalan. Di kota juga, akses internet begitu mudah, selain sekolah, perpustakaan umum, di tempat-tempat tongkrongan juga menyediakan internet.

Sementara itu di desa, akses untuk memeroleh buku bacaan cenderung kurang lengkap. Internet tidak usah ditanya lagi, kalau pun ada hanya sekolah yang dikategorikan maju yang menyediakan internet. Belum kelar urusan fasilitas dan pelayanan, sekolah yang ada di desa kadang kekurangan siswa. Hingga akhirnya, opsi regrouping menjadi alternatif.

Potret pendidikan dengan fasilitas lengkap dan pembelajaran yang didukung dengan berbagai media pembelajaran daring seperti sekarang ini akan sulit kita jumpai di sekolah pelosok. 

Kita dapat melihat sendiri di layar kaca televisi dan media cetak bagaimana keadaan sekolah di pelosok negeri dengan fasilitas seadanya mereka tetap semangat untuk belajar. 

Akses yang sulit menuju sekolah tak menjadi hambatan untuk mereka berangkat menuntut ilmu. Pertanyaannya sekarang, bagaimana mereka belajar saat covid-19 menguji ketahanan pendidikan kita saat ini?

Dari segi kompetensi, kita dapat melihat ketika saat anak-anak akan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Kadang terceletuk obrolan antarsiswa, seperti "di sana siswanya pintar-pintar dan tes masuknya sulit." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun