"Iya Pak," seluruh siswa menjawab disertai tepuk tangan dan kata hore.
Mendengar guru akan bercerita, seluruh siswa mulai memfokuskan perhatiannya. Tidak ada satu pun siswa yang berbicara dan tertidur. Kelas yang semula ramai berubah menjadi sepi dimonopoli oleh seorang guru.
Guru pun bercerita tentang Abu Nawas yang berhasil menangkap angin. Di sela-sela cerita, tidak sedikit siswa yang tertawa mendengarkan cerita Abu Nawas yang lucu, ditambah lagi dengan cara bercerita guru yang manarik.
Di waktu-waktu lainnya, saya dan teman-teman terus meminta guru tersebut untuk bercerita. Pada akhirnya kami sepakat setiap lima belas menit sebelum jam pelajaran berakhir diisi dengan bercerita. Apabila cerita tidak selesai akan dilanjutkan keesokan hatinya.
Saya dan teman-teman merasa dekat dengan guru tersebut, bahkan kakak tingkat pun waktu itu sangat mengapresiasinya. Oleh karenanya, hingga saat ini kenangan tentang beliau dan cerita beliau sangat membekas di ingatan.
Cerita berikutnya tentang kebiasaan saya mendengarkan cerita sandiwara dari radio. Bagi generasi tahun 90-an, radio masih akrab dan sering didengar. Radio menjadi hiburan kedua setelah televisi.
Selain lagu dangdut dan pop, saya senang mendengarkan cerita sandiwara Tutur Tinular, Misteri Gunung Merapi, Brama Kumbara dan lainnya di radio. Biasanya ceritanya diputar di malam hari setelah isya. Radio merek National dengan dua tombol putar -tombol besar untuk mencari frekunsi dan tombol kecil untuk volume suara- setia menemani.
Bagi saya, ada kesan tersendiri ketika mendengarkan cerita sandiwara di radio. Cerita-cerita sandiwara radio telah membuat saya berimajinasi. Dalam cerita Tutur Tinular misalnya, saya sering berimajinasi bagaimana seandainya saya yang menjadi pahlawan seperti Arya Kamandanu.Â
Ketika Kamandanu berhadapan dengan Tong Bajil dan Dewi Sambi, saya pun begitu, berimajinasi tentang jurus-jurus yang dikeluarkan oleh pendekar-pendekar itu. Lebih jauh lagi siaran sandiwara radio itu telah membangun karakter saya, karakter untuk membela yang benar, jujur dan rendah hati seperti Kamandanu, bukan seperti Tong Bajil dan Dewi Sambi.
Cerita terakhir dari saya masalah dongeng dan membuat dongeng itu seru bagi anak-anak dan orang tua adalah ketika melihat orang berdongeng. Pengalaman ini terjadi beberapa minggu yang lalu sebelum virus corona memaksa kita berkegiatan di rumah.
Waktu saya lari pagi di alun-alun Kota Sumenep (biasanya setiap Minggu pagi), saya melihat ada kegiatan mendongeng di sebelah timur alun-alun. Saya pun tertarik dan menghampiri.