"Selamat merayakan hari dongeng sedunia, 20 Maret 2020." Ucapan tersebut sedikit terlambat dan seharusnya kemarin diucapkannya. Akan tetapi, pada yang terlambat ini harapan saya menjadi pengingat yang membekas di tengah-tengah pandemi covid-19 dan dapat menjadi salah satu agenda harian di rumah selama empat belas hari.
Pada kesempatan ini saya akan membagikan pengalaman saya ketika mendengarkan dongeng. Namun, sebelum dilanjutkan mari samakan persepsi dulu bahwa dongeng yang saya maksud adalah cerita secara umum baik nyata maupun rekaan dan mendongeng adalah bercerita.
Perlu diketahui bersama, hari kemarin, Jumat, 20 Maret 2020 merupakan peringatan hari dongeng internasional. Sementara itu, secara nasional hari dongeng diperingati pada setiap tanggal 28 November yang berhubungan dengan hari kelahiran Pak Raden. Mengapa berjauhan antara nasional dan internasional? dapat ditelusuri sendiri sejarahnya.
Nah, kembali ke topik awal, pertama saya ucapkan banyak terima kasih kepada orang tua, guru-guru saya, pengisi suara di radio dengan cerita Tutur Tinular, Misteri Gunung Merapi, Brama Kumbara, Dendam Nyi Pelet dan lainnya, dan  rekan-rekan saya sampai saat ini yang masih suka mendongeng sambil minum kopi.
Dari berbagai dongeng yang telah diceritakan, saya dapat mengambil pelajaran. Kedua, yang akan saya ceritakan adalah dongeng yang paling saya ingat dan berkesan sampai sekarang.
Saat saya masih kelas empat SD,  saya masih ingat ketika jam pelajaran bahasa Indonesia dan kebetulan jam terakhir,  anak-anak termasuk saya tidak memerhatikan penjelasan guru.
Sebagian besar di kelas itu malah sibuk berbicara sendiri. Sebagian lainnya ada yang tidur dan hanya sekitar lima orang saja yang khusuk mendengarkan -golongan yang khusuk ini adalah golongan anak-anak pintar dengan peringkat lima besar di kelas.
Beberapa kali ketukan penghapus ke papan tulis terdengar  untuk mengembalikan perhatian siswa. Cara itu manjur, tapi hanya sesaat. Anak-anak kembali sibuk dengan sendirinya. Merasa penjelasannya tidak akan diterima oleh siswa, tiba-tiba guru itu meletakkan kapur Barus dan melontarkan pertanyaan.
"Heh, anak-anak dengarkan dulu," Sambil bertepuk tangan untuk memeroleh perhatian.
Siswa pun memerhatikan guru.
"Bapak punya cerita, adakah yang mau mendengarkan?