Mohon tunggu...
Mohammad Lutfi
Mohammad Lutfi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tenaga pengajar dan penjual kopi

Saya sebenarnya tukang penjual kopi yang lebih senang mengaduk ketimbang merangkai kata. Menulis adalah keisengan mengisi waktu luang di sela-sela antara kopi dan pelanggan. Entah kopi atau tulisan yang disenangi pelanggan itu tergantung selera, tapi jangan lupa tinggalkan komentar agar kopi dan tulisan tersaji lebih nikmat. Catatannya, jika nikmat tidak usah beri tahu saya tapi sebarkan. Jika kurang beri tahu saya kurangnya dan jangan disebarkan. Salam kopi joss

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Musim Tembakau

2 Maret 2020   11:49 Diperbarui: 2 Maret 2020   17:12 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi itu begitu menegangkan. Bagaimana tidak, Pak Suhli sudah berteriak-teriak, mengumpat dan mengancam di tengah-tengah kampung dengan celurit di tangan yang mengkilat-kilat berwarna putih. 

Siapa yang mendekatinya pasti ditebasnya. Wajahnya memerah, sepetinya darah telah mencapai ubun-ubun dan tinggal menunggu siapa saja yang dicurigai untuk memuntahkannya. Orang-orang tidak berani mendekat dan hanya menyaksikan dari kejauhan. 

Sesekali orang-orang yang melihat berbicara dengan sedikit lantang untuk menenangkan Pak Suhli namun semua tidak digubrisnya. 

Amarah sudah kadung memuncak, matanya yang melotot membuat anak-anak kecil takut hingga menangis dan bersembunyi di ketiak ibunya. Pak Suhli mulai mereda setelah setengah jam kemudian tetua kampung menenangkannya. 

Diambilnya celurit yang di tangannya kemudian disuruhnya bercerita tentang masalahanya. Usut punya usut ternyata yang membuat Pak Suhli meradang adalah hilangnya mesin pompa air yang ada di sawahnya dan kejadian itu sudah ketiga kalinya. 

Pak Suhli mencurigai kalau pencurinya ada di kampung itu. Begitulah kejadian yang tidak mengenakkan terjadi di awal musim tembakau di Kampung Bakiong.

Hari-hari pun berlanjut, dua, tiga hari, orang-orang sudah melupakan kejadian tersebut. Aktivitas warga berjalan sebagaima biasanya. Di Kampung Bakiong terdapat dua musim, yaitu musim kemarau dan penghujan. Aku pikir di kampung lain juga mengalami musim yang sama agar tidak terjadi kecemburuan. 

Pada dua musim tersebut, di Kampung Bakiong, terdapat dua musim lagi sesuai kekompakan masyarakatnya dalam bercocok tanam. 

Pada musim penghujan padi akan menghijau, menguning, kemudian digiling menjadi beras dan terakhir menjadi nasi, itulah musim padi. Sementara itu, pada musim kemarau tembakaulah yang menjadi andalan dan itulah musim tembakau.

Jika musim tembakau hampir tiba, orang-orang di Kampung Bakiong mulai meramal cuaca, meramal modal, dan meramal harga. Dalam meramal cuaca, biasanya, orang-orang akan sering melihat langit, tetapi bukan untuk menikmatinya. 

Mereka akan mengeja awan yang lewat. Jika masih sering terlihat awan gelap menggelantung, mereka tidak berani untuk menanam. Prediksi mereka takut hujan masih akan turun. Tembakau memang tidak tahan dengan hujan. 

Hujan akan membuatnya layu dan kemudian mati. Kematiannya pun akan berdampak pada bertambahnya modal yang perlu dikeluarkan. Dalam meramal modal, hitungannya harus jelas, mulai dari membeli bibit, ongkos orang yang menanam dan perawatan. 

Untuk yang terakhir dalam meramal harga, mereka tidak terlalu memikirkannya, karena tengkulak dan orang-orang gudang yang akan menentukan. 

Kalau beruntung akan banyak uang yang didapat, jika kurang beruntung hanya lelah yang didapat. Pada bagian terakhir ini mereka seperti tobat sambal, kalau rugi katanya ingin berhenti menanam tembakau, tapi anehnya tidak pernah dilakukan.

Ada cerita pada masa lalu, orang-orang enggan menjadi pegawai negara., termasuk di Kampung Bkiong. Mereka lebih memilih untuk bertani tembakau ketimbang menjadi abdi negara. 

Pasalnya, tembakau sangat menjanjikan dan pihak gudang membeli tembakau petani dengan mahal. Jika musim panen dan jual selesai, mereka mendapatkan banyak uang dan berbelanja perabotan rumah, termasuk sepeda motor. 

Dari saking banyaknya hasil yang diperoleh, maka dulu ada istilah roti sisir dibuat untuk mengelap sepeda motor dan air mineral untuk mandi. Namun, kini istilah itu sudah kabur harga tidak menentu bahkan cenderung rendah. Meski begitu, mereka tetap menanam tembakau.

Pada musim tembakau, orang-orang yang menanam tembakau akan rela bekerja siang malam. Siang hari mereka memikul timba berisi air dan kemudian menyiramkannya. Pada malam hari mereka akan menjaganya dari orang-orang yang jahil. 

Kejadian yang menimpa Pak Suhli sebelumnya adalah keteledorannya. Biasanya petani tembakau akan membawa pompa airnya pulang ketika kubangan air sudah berisi penuh dan membawanya kembali di esok hari untuk mengisinya kembali.

Lalu aku? Bagaimana denganku ketika musim tembakau? Aku dan anak-anak seumuran denganku sekira delapan hingga dua belas tahun di Kampung Bakiong tidak pernah memusingkan ramalan cuaca, modal, dan juga harga. Aku hanya memakai tanda kalau angin sudah berhembus dari timur ke barat itu adalah musim tembakau. 

Aku akan mengadu layangan dan mengejarnya ketika putus. Jika layangan yang putus melintas dan jatuh di sawah, aku akan tetap mengejar tetapi dengan konsentrasi yang terbelah. Tiga perempat konsentrasi tertuju ke layangan dan seperempatnya lagi mengawasi keadaan sekitar, takut yang punya sawah datang mengejarku karena telah menginjak beberapa tembakau yang telah di tanam.

Lain siang, lain pula malam. Bagiku malam adalah sesuatu yang mengasikkan di musim tembakau. Aku akan terjun ke sawah selepas isya membawa senter dan menyusuri jalan setapak antara tanaman tembakau yang satu dengan yang lainnya, mengendap-endap dengan telinga dibuka lebar-lebar agar dapat menangkap suara jangkrik dengan jelas. Iya, jangkrik adalah buruanku ketika malam dan akan dijadikan aduan ketika siang selepas sekolah. 

Yang perlu aku perhatikan ketika mencari jangkrik adalah si pemilik sawah yang rela menjaga sawahnya di malam hari. Kadang-kadang si pemilik sawah berpura-pura menjadi pocong dengan memakai mukenah istrinya dan menakutiku hingga aku lari tunggang-langgang menerabas bongkahan tanah yang sebesar genggaman tangan. 

Kadang-kadang juga si pemilik sawah membawa sebilah kayu untuk dipukulkan kepada anak-anak yang tertangkap. Teman-teman biasanya akan memberi tanda dengan berteriak "Panah api datang!" untuk memperingatkan agar segera kabur.  

Begitulah aku di musim tembakau dengan pengalaman yang begitu seru dan tidak akan pernah terlupakan.

***

Pengalaman yang begitu seru kali ini tidak akan terulang lagi seiring bertambahnya usia dan masuknya mainan baru. Musim pun tetap sama di Kampung Bakiong, tanamannya pun juga sama setiap tahunnya, antara padi dan tembakau. 

Yang berbeda adalah sekarang tidak ada lagi anak-anak yang main ke sawah di sore atau malam hari. Orang-orang seperti Pak Suhli tidak perlu khawatir lagi dengan pompa air dan rusaknya tembakau. Tidak perlu menambah modal lagi ketika tembakaunya terkena injak olehku dan yang lainnya.

"Kali ini saya bisa tenang," kata Pak Suhli kepada Murtadah di depan teras rumahnya. Murtadah hanya mengangguk setuju mengamini pernyataan Pak Suhli.

"Ini dulu ketuanya yang sering merusak tembakau." Kata Pak Suhli lagi yang menunjuk kepadaku. Aku pun hanya tersenyum melihatnya.

Setelah malam semakin larut dan dingin menyerang tubuh, aku pulang untuk istirahat. Begitu juga yang lainnya. Kenangan adalah kenangan di masa lulu yang pantas untuk diingat meski hanya untuk menertawakannya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun