Yang perlu aku perhatikan ketika mencari jangkrik adalah si pemilik sawah yang rela menjaga sawahnya di malam hari. Kadang-kadang si pemilik sawah berpura-pura menjadi pocong dengan memakai mukenah istrinya dan menakutiku hingga aku lari tunggang-langgang menerabas bongkahan tanah yang sebesar genggaman tangan.Â
Kadang-kadang juga si pemilik sawah membawa sebilah kayu untuk dipukulkan kepada anak-anak yang tertangkap. Teman-teman biasanya akan memberi tanda dengan berteriak "Panah api datang!" untuk memperingatkan agar segera kabur. Â
Begitulah aku di musim tembakau dengan pengalaman yang begitu seru dan tidak akan pernah terlupakan.
***
Pengalaman yang begitu seru kali ini tidak akan terulang lagi seiring bertambahnya usia dan masuknya mainan baru. Musim pun tetap sama di Kampung Bakiong, tanamannya pun juga sama setiap tahunnya, antara padi dan tembakau.Â
Yang berbeda adalah sekarang tidak ada lagi anak-anak yang main ke sawah di sore atau malam hari. Orang-orang seperti Pak Suhli tidak perlu khawatir lagi dengan pompa air dan rusaknya tembakau. Tidak perlu menambah modal lagi ketika tembakaunya terkena injak olehku dan yang lainnya.
"Kali ini saya bisa tenang," kata Pak Suhli kepada Murtadah di depan teras rumahnya. Murtadah hanya mengangguk setuju mengamini pernyataan Pak Suhli.
"Ini dulu ketuanya yang sering merusak tembakau." Kata Pak Suhli lagi yang menunjuk kepadaku. Aku pun hanya tersenyum melihatnya.
Setelah malam semakin larut dan dingin menyerang tubuh, aku pulang untuk istirahat. Begitu juga yang lainnya. Kenangan adalah kenangan di masa lulu yang pantas untuk diingat meski hanya untuk menertawakannya