Aku yang salah, aku yang ceroboh, aku yang tak mampu mengendalikan perasaanku sendiri.
Hari ini kuinjakkan kakiku di Ibu kota, aku merasa Jogja terlalu menyakitkan untukku.
Kota yang kata orang berhati nyaman, kota kelahiranku yang justru menyimpan banyak cerita pahit.
Aku bukannya lari, aku hanya tak ingin terus mengingatnya.
Yah, setidaknya untuk sementara tak kubasahi tanah Jogja dengan air mataku.
Tapi ternyata, melupakannya tak semudah itu, bahkan hiruk pikuk kota metropolitan ini sama sekali tak mengalihkan perhatianku. Tapi tunggu, bukan dia yang ingin aku lupakan, tapi perasaanku untuknya.
Semua ini terjadi begitu saja, mengalir seperti air, tapi tak pasti kemana akan bermuara.
Rasa aneh yang pelan-pelan muncul, rasa yang sebelumnya tak pernah ku tahu apa, hingga akhirnya kurasakan rasa sakit ketika sadar mulai kehilangannya.
Kehilangan? mengapa aku harus merasa kehilangan sedangkan sedetikpun aku tak pernah memilikinya?
Dia yang dulu selalu memberiku perhatian, pesan-pesan singkat yang selalu menemani hariku, dia yang akhirnya mampu mendatangkan pelangi dalam kehidupanku.
Perlahan aku merasa sangat nyaman dengan kehadirannya, menantikan setiap pesan singkatnya, dan menunggu saat-saat untuk bertemu dengannya.