Mohon tunggu...
Lutfi Dzaky
Lutfi Dzaky Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UNNES

Saya memiliki hobi dibidang fotografi dan videografi

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pers pada Masa Demokrasi Liberal 1950-1959: Antara Keberpihakan, Dinamika Multipartai, dan Peran Strategis

20 Desember 2024   18:24 Diperbarui: 20 Desember 2024   18:24 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masa Demokrasi Liberal di Indonesia (1950-1959) merupakan periode yang sangat dinamis dalam sejarah politik dan sosial bangsa. Di tengah sistem multipartai yang berkembang pesat, pers berperan strategis sebagai alat komunikasi, propaganda, dan kontrol sosial.

Harian Rakjat adalah salah satu surat kabar yang paling berpengaruh pada masa Demokrasi Liberal. Didirikan pada 31 Januari 1951, surat kabar ini merupakan corong resmi Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan motto "Suaranya Kaum Tertindas," Harian Rakjat secara konsisten menyuarakan kepentingan buruh, petani, dan kaum proletar. Surat kabar ini menampilkan berita-berita yang mengangkat isu ketimpangan sosial, perjuangan kelas, dan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil.

Kekuatan Harian Rakjat terletak pada kemampuannya memobilisasi massa melalui tulisan-tulisan yang provokatif dan ideologis. Dalam setiap edisi, Harian Rakjat tidak hanya menyampaikan berita, tetapi juga mengarahkan opini publik untuk mendukung perjuangan PKI. Peran Harian Rakjat sangat terasa dalam berbagai peristiwa politik, termasuk Pemilu 1955, di mana surat kabar ini menjadi media propaganda utama bagi PKI.

Berbeda dengan Harian Rakjat, Suluh Indonesia adalah surat kabar yang menjadi corong resmi Partai Nasional Indonesia (PNI). Surat kabar ini didirikan dengan tujuan mendukung perjuangan PNI dalam membangun Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Fokus utama Suluh Indonesia adalah menyuarakan semangat nasionalisme, mempromosikan kebijakan pemerintah yang dipimpin oleh tokoh-tokoh PNI, serta menentang pengaruh kolonialisme dan imperialisme dalam segala bentuk.  

Pada masa Demokrasi Liberal, Suluh Indonesia memiliki posisi yang strategis sebagai media penyokong partai politik besar seperti PNI. Surat kabar ini secara aktif menyebarluaskan ide-ide Soekarno tentang Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) sebagai dasar untuk membangun persatuan bangsa. Dalam setiap edisinya, Suluh Indonesia menampilkan artikel-artikel yang mendukung kebijakan pemerintah, mengkritik kelompok oposisi, dan memobilisasi masyarakat untuk mendukung agenda-agenda nasional.

Sebagai media yang pro-pemerintah, Suluh Indonesia sering mendapat dukungan, tetapi juga kritik. Pihak oposisi menuduh surat kabar ini terlalu bias dan tidak memberikan ruang bagi pandangan yang berbeda. Meskipun demikian, Suluh Indonesia tetap menjadi salah satu surat kabar yang paling berpengaruh, terutama dalam membentuk opini publik tentang isu-isu besar seperti Pemilu 1955 dan peran Indonesia dalam kancah internasional.

Pers dan Keberpihakan pada Multipartai  

Masa Demokrasi Liberal ditandai oleh sistem multipartai yang sangat kompleks. Terdapat lebih dari 30 partai politik yang bersaing dalam memperebutkan kekuasaan, sehingga pers menjadi alat strategis untuk memperluas basis dukungan. Surat kabar pada masa itu cenderung memihak kepada partai-partai tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini terlihat dari pola pemberitaan yang bias terhadap kepentingan politik tertentu.

Sebagai contoh, Harian Rakjat secara terang-terangan mendukung PKI, sementara surat kabar lain seperti Abadi menjadi corong Partai Masyumi. Keberpihakan pers terhadap partai-partai ini menciptakan lanskap media yang terfragmentasi, di mana setiap kelompok politik memiliki media sendiri untuk menyuarakan agendanya. Situasi ini mencerminkan polarisasi politik yang mendalam, tetapi sekaligus memperkaya diskursus publik karena masyarakat dapat mengakses berbagai sudut pandang.

Namun, keberpihakan pers juga menimbulkan tantangan. Ketergantungan media pada partai politik membuat kebebasan pers menjadi terbatas. Pers sering kali menjadi alat propaganda, dan kebebasan jurnalistik terkadang dikorbankan demi kepentingan ideologi atau kelompok tertentu.

Peran Pers dalam Pemilu 1955

Pemilu 1955 adalah tonggak sejarah penting bagi Demokrasi Liberal di Indonesia. Sebagai pemilu demokratis pertama, pers memiliki peran sentral dalam proses ini. Surat kabar menjadi medium utama untuk menyampaikan visi, misi, dan program partai politik kepada masyarakat. Selain itu, pers juga menjadi alat untuk mengedukasi pemilih tentang pentingnya berpartisipasi dalam pemilu.

Harian Rakjat, misalnya, menggunakan pemberitaannya untuk memobilisasi dukungan bagi PKI, menekankan pentingnya memilih partai yang dianggap sebagai representasi rakyat kecil. Sementara itu, surat kabar lain seperti Pedoman dan Abadi mendukung partai-partai Islam seperti Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU). Persaingan ini menciptakan atmosfer politik yang hidup dan dinamis, tetapi juga menimbulkan ketegangan antar kelompok masyarakat.

Pers juga memainkan peran dalam mengawasi jalannya pemilu. Banyak surat kabar yang melaporkan dugaan kecurangan atau ketidakberesan dalam proses pemilu, sehingga membantu menjaga integritas demokrasi. Dengan demikian, pers tidak hanya berfungsi sebagai alat propaganda, tetapi juga sebagai pilar akuntabilitas.

Peran Pers dalam Konferensi Asia-Afrika  

Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang diadakan di Bandung pada April 1955 adalah peristiwa internasional yang sangat penting bagi Indonesia dan negara-negara berkembang. Pers Indonesia, termasuk Harian Rakjat dan Suluh Indonesia, mengambil peran aktif dalam meliput dan mempromosikan konferensi ini. Liputan pers membantu memperkuat citra Indonesia sebagai pemimpin gerakan negara-negara non-blok.

Surat kabar seperti Harian Rakjat menyoroti solidaritas negara-negara Asia dan Afrika dalam melawan kolonialisme dan imperialisme. Dengan gaya pemberitaan yang heroik, Harian Rakjat menggambarkan KAA sebagai momentum bersejarah untuk memperjuangkan kedaulatan dan keadilan global. Di sisi lain, surat kabar seperti Kompas dan Indonesia Raya memberikan fokus pada aspek diplomasi dan kerja sama ekonomi yang dihasilkan dari konferensi tersebut.

Pada masa Demokrasi Liberal, pers memainkan peran yang sangat penting dalam dinamika politik dan sosial Indonesia. Surat kabar seperti Harian Rakjat dan Suluh Indonesia mencerminkan bagaimana media menjadi alat perjuangan ideologi dan penyebaran informasi. Keberpihakan pers pada partai-partai tertentu menciptakan polarisasi, tetapi juga memperkaya diskursus politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun