"Tolooong! Toloong!"
Lolongan minta tolong dari seorang laki-laki di malam itu lantas memecahkan keheningan seisi desa. Kepala desa beserta bapak-bapak lantas datang dengan obor di tangan kanannya. Sebagian di antara mereka membawa bambu, batu besar, dan cangkul. Sebagai perlindungan diri dan untuk menghajar sang pelaku, mungkin saja ini kasus pencurian sapi, seperti malam-malam sebelumnya. Pemuda desa mengikuti di belakang, dengan langkah terseok-seok dan mata yang masih mengantuk.Â
Teriakan itu makin lama makin nyaring. Seakan menggambarkan kepedihan yang tak terkira. Beberapa kali suara itu melemah, namun selanjutnya menguat. Begitu terus. Memancing rasa penasaran warga, ada apa gerangan yang dirasakan hingga membuat suara sekencang itu.Â
Mereka mendatangi sumber suara, yang rupanya berasal dari gubug reot milik seorang kakek tua. Gubugnya berada di sebelah ladang tebu. Namanya Pak Bandi, asalnya dari salah satu desa di hilir sungai. Yang seingat mereka, beliau sudah meninggal sebulan lalu, dan kini seharusnya tak ada yang menempati. Dan, lebih seramnya lagi, suara yang sejak tadi melolong meminta bantuan itu adalah suara Pak Bandi, atau mungkin arwahnya yang menjerit.Â
Begitu sadar empunya suara yang diyakini telah tiada, para pemuda lari terbirit-birit. Bapak-bapak pun ciut nyalinya. Namun, kepala desa meminta untuk melakukan hal yang ekstrim, yang tentu saja memicu protes bapak-bapak di situ.Â
Benar, kepala desa meminta untuk mendobrak pintu gubug tersebut. Di antara mereka pun akhirnya memberanikan diri menemani kepala desa mendobrak paksa pintu bambu tersebut, sedangkan yang lain mundur selangkah demi selangkah, sembari mempersiapkan 'senjata' mereka kalau-kalau sang pelaku menampakkan dirinya. Yang akan langsung dihajar tanpa ampun.Â
Dengan bambu yang mereka bawa, pintu tersebut berhasil dibuka. Alangkah terkejutnya para warga, begitu menyaksikan Pak Bandi masih hidup, namun badannya kurus kering. Duduk meringkuk sembari menunjuk sesuatu di ujung ruangan. Kaos oblongnya yang putih menjadi lusuh, banyak robekan di mana-mana. Noda tanah dan darah kering memenuhi pakaiannya. Terdapat luka lebam di pergelangan tangan dan wajah kakek tua itu.Â
"Tolong saya, Pak! Saya diculik genderuwo! Saya disekap genderuwo! Dan hari ini, dia ingin menyiksa saya lagi!"
Lantas, mulai malam itu, kehebohan pun menyelimuti seluruh desa.Â
***
Kisah Pak Bandi yang diculik genderuwo pun memicu berbagai gosip di desa.Â
Para Ibu "memanfaatkan" cerita Pak Bandi untuk menakut-nakuti anak-anak mereka yang nakal. Utamanya anak-anak yang gemar bermain hingga azan magrib berkumandang. Hampir tiap hari mereka dinasihati dengan kisah Pak Bandi yang diculik dan disiksa oleh genderuwo, serta deskripsi genderuwo itu sendiri. Membuat bocah-bocah polos itu bergidik dan tak ada pilihan lain selain menuruti perintah ibunya.Â
Pak Bandi sendiri dilarikan ke rumah sakit di kota setelah kejadian itu. Setelah dirawat sekitar tiga bulan, dokter mencoba untuk mendiagnosis penyakit yang diderita Pak Bandi, namun tak ada jawaban atas penyakit yang diidapnya. Hingga pada akhirnya, dokter tak mampu mengobati sakitnya dan Pak Bandi pun wafat. Kata-kata terakhirnya tetap sama, yaitu, ia akan disiksa oleh genderuwo.Â
Pasca kematian Pak Bandi, desa tersebut terasa makin mencekam. Tiap malam selalu ada warga yang kesurupan---dua atau tiga orang dalam semalam, dengan kondisi yang sama persis dengan Pak Bandi saat pertama kali ditemukan warga. Duduk meringkuk sambil menunjuk sesuatu. Namun, ada satu kejadian yang mengerikan. Warga yang kesurupan selalu muntah tanah dan darah hitam. Wajahnya berubah menjadi pucat, dengan mata melotot dan mulut menganga. Mirip seperti seseorang yang mengalami sakaratul maut.Â
Setelah sadar, beberapa hari setelahnya, beberapa anggota badan warga yang kesurupan itu menjadi lebam. Entah tangan, kaki, kepala, maupun perutnya---tanpa ada sebab yang jelas. Dan tetap saja mereka menceracau sedang disiksa oleh genderuwo.Â
Anehnya, korban kesurupan tersebut hanyalah bapak-bapak yang saat itu membantu Pak Bandi, sedangkan warga yang lain tidak.Â
Kabar santer tersiar jika Pak Bandi adalah korban ilmu hitam, dan Pak Bandi berusaha membuat 'segel' dengan mengunci dirinya selama satu bulan untuk mencegah kutukannya menyebar, namun warga merusak 'segel'nya.Â
Tetua desa berusaha menghubungi orang-orang pintar untuk 'menutup segel'nya. Ustaz-ustaz dibikin sibuk karena menangani kasus orang kesurupan. Anak-anak dilarang bermain di dekat gubug Pak Bandi.Â
Pak Kepala Desa tentu saja tak mempercayai kabar burung tersebut. Pasti ada penjelasan yang masuk akal tentang hal ini. Benang merah yang mengaitkan kisah-kisah beberapa malam ini dengan kejadian Pak Bandi.Â
Tetap saja, rak ada kejelasan.Â
Namun pada akhirnya, Pak Kepala Desa meyakini jika kematian Pak Bandi adalah kejadian mistis. Dan beliau berusaha untuk menyingkap rahasianya, tepat di malam 40 hari kematian Pak Bandi.Â
***
Malam-malam Durjana, begitu ucapan para warga ketika lagi-lagi kasus kesurupan terjadi.Â
Hari ini tepat 40 hari pasca kematian Pak Bandi. Orang-orang yang sudah muak dengan keadaan memutuskan untuk membongkar makam Pak Bandi, dan menguak apa yang sebenarnya terjadi padanya, karena sudah jatuh korban meninggal. Ya, Kepala Desa meninggal dunia dengan keadaan mengenaskan, setelah mengalami kesurupan selama 2 hari berturut-turut.Â
Pihak keluarga Pak Kepala Desa memilih untuk diam, dan menganggap kematian tersebut adalah takdir Tuhan. Namun, kematian yang janggal dan mendadak itu memicu tanda tanya warga.Â
Akhirnya, masa itu pun tiba. Tepat di tengah malam, para warga berkumpul di balai desa.Â
Setelah mengadakan rapat terakhir bersama tetua desa, warga pun berbondong-bondong pergi ke makam umum dengan membawa cangkul untuk membongkar makam Pak Bandi. Kabut tebal sempat menghalangi jalan mereka menuju makam, seperti peringatan akan kejadian tertentu. Namun warga tak ambil pusing karena sudah muak.Â
Dengan bersamaan, mereka membongkar makam Pak Bandi. Mengeruk tanahnya, dan mengeluarkan kayu-kayunya. Namun, mereka tak menemukan jasad Pak Bandi. Kain kafannya pun berisi bebatuan besar dan kerikil.Â
Hawa dingin mulai menyelimuti keadaan sekitar. Suasana malam mencekam, karena terdengar bisikan-bisikan amarah, entah dari mana.Â
Mereka melihat sesosok manusia---entah manusia atau dedemit---sedang menyeringai menatap mereka. Matanya mengeluarkan cahaya merah, dengan bibir tebal yang mengeluarkan cairan hitam. Di pundaknya, nampak sedang memanggul sesuatu.Â
Makhluk itu berjalan mendekat. Sontak, warga panik, namun mereka tak bisa bergerak. Makhluk itu seakan memaku kaki mereka ke dalam bumi, sedangkan dia berjalan secepat kilat. Lidah mereka serasa kelu, tak mampu bagi mereka untuk bersua.Â
Makhluk itu berjalan semakin dekat.Â
Dan mulai menampakkan wujudnya.Â
Makhluk itu adalah Pak Bandi.Â
Dengan keheningan malam, libasan pedang dan rintihan mengakhiri hari itu.Â
Inilah rahasia Pak Kepala Desa, beliau menyadari jika Pak Bandi bukanlah sosok mistis, namun korban percobaan dan berubah menjadi sebuah entitas. Menyebarkan teror dan mengeluarkan gas beracun misterius yang memicu halusinasi. Namun, saat Pak Kepala Desa ingin memberitahu, racun tersebut telah membuatnya lemah dan meninggal dengan tragis.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI