Mungkin aku munafik. Mungkin aku orang tertolol sedunia. Dan aku sadar, ternyata aku tidak pernah ‘berubah’. Aku masih sama seperti diriku 6thn yang lalu. Aku tidak pernah mengerti (bahkan sampai sekarang) kenapa aku bisa begitu sulit mengucapkan satu kata itu!
Kata yang bahkan sering kali aku ucapkan ke hampir semua kaum adam yang pernah dekat denganku (incaranku, obsesiku, hts-an, dsb). Wew..meng-gombal itu bukan sesuatu hal yang sulit! Dan mungkin karena itu juga, gombal-an terdengar menjadi sesuatu hal yang tidak berarti ditelingaku. Rasanya seperti aku melihat diriku di cermin, tiap kali orang-orang seperti mereka meng-gombali-ku. Hey..mulut kalian sama manisnya dengan mulutku, jadi berhentilah lakukan itu.
Aku selalu menatap mata mereka. Tepat ke bola mata mereka. Dengan pandangan tajam. Aku melakukannya setiap kali kami berbicara. Dan aku menikmati hal itu, terutama saat mereka mulai salah tingkah karena mataku bahkan mampu menahan kedip cukup lama untuk tetap menatap mata mereka selama mereka bicara.
Aku selalu mampu terlihat lebih tinggi dihadapan mereka. Membuatku menjadi kotak misteri yang membuat mereka tertantang untuk mengetahui apa sebenarnya isi didalam kotak itu. ‘Perasaanku’. Mulutku mungkin terdengar manis ditelinga mereka, tapi bukan berarti itu membuatku mudah untuk diraih. Mungkin ‘bisa’ ini terdengar seperti harapan semu, tapi yang sebenarnya aku lakukan hanyalah bersikap baik, ramah. Dan itu membuat mereka bertanya. Menerka.
Yah..mungkin aku tinggi, dihadapan mereka.
Tapi, dihadapmu?
Aku membungkuk.
Mungkin kau pernah menyimpan Tanya, tentangku.
“Kenapa aku lebih suka melihat ke arah lain saat kita berbicara, bukankah seharusnya aku menatap matamu selama kita berbicara, atau minimal aku melihat ke arahmu, wajahmu, tapi kenapa ini tidak? Bukankah aku selalu melakukan itu kepada mereka atau yang lainnya, tapi kenapa pada kau, tidak?”
“Kenapa kau jarang sekali mendengarku mengucapkan kata-kata manis, bahkan untuk sekedar mengucap rindu, sayang atau cinta, bukankah sebenarnya aku benar-benar mencintaimu dan kau tahu itu?”
“Kenapa aku menjadi lebh diam saat bersamamu? Bukankah bila bersama orang-orang aku sulit untuk berhenti bicara!”
Kenapa, kenapa dan kenapa. Aku tidak heran jika akan ada banyak sekali pertanyaanmu tentang aku dan sikapku yang bertentangan dari apa yang biasa aku lakukan. Jika kau bertanya padaku, ‘K-E-N-A-P-A?’ aku akan tersenyum.
Jika kau masih bertanya padaku , ‘kenapa?’ L-A-G-I.
Aku hanya membutuhkan satu kalimat untuk menjawab semua pertanyaanmu itu. Aku sudah merangkumnya dari jauh-jauh hari, jauh sebelum aku membuatmu menciptakan pertanyaan-pertanyaan itu.
‘K-E-N-A-P-A?’
“karena, aku mencintaimu”.
Yah, aku hanya akan menjawabnya dengan itu. Kau mungkin bertanya lagi, “bagaimana bisa aku mencintaimu dengan sikap-sikapku yang seperti itu!”.
Hmn..itulah! Aku tak pernah tahu, kenapa aku selalu membungkuk dihadapmu. Aku menjadi ‘merasa kecil, tidak berharga, buruk, tidak pantas’. Aku merasa ‘N-O-T-H-I-N-G!’. Keberanianku menjadi hilang hingga tidak mampu melihat kedua matamu, memandang wajahmu setiap kali aku berbicara padamu. Karena apa? kau beda! Aku memperlakukanmu dengan berbeda! ‘K-E-N-A-P-A?’ “karena, aku mencintaimu”. Keberanianku menjadi hilang hingga sulit bagiku untuk mengucap rindu, sayang dan cinta padamu. Karena apa? kau beda! Aku memperlakukanmu dengan berbeda! ‘K-E-N-A-P-A?’ “karena, aku mencintaimu”. Keberanianku menjadi hilang tiap kali aku ada didekatmu, hingga membuatku terlihat lebih diam dari biasanya. Karena apa? kau beda! Aku memperlakukanmu dengan berbeda! ‘K-E-N-A-P-A?’ “karena, aku mencintaimu”.
Bila kau berkata atau menganggap dirimu telah mengenalku, tahu aku, tetapi kau masih bertanya, ‘K-E-N-A-P-A?’, itu tandanya kau ‘belum’.
Saat aku mencintaimu, sungguh, aku ingin sekali mengucapkan satu kata itu, ‘cinta’, berkali-kali ditelingamu, bahkan kalau perlu hingga kau bosan. Tapi itu bukan caraku mencintaimu. Aku lebih suka mengucapkannya sesekali, menjaga agar makna kata itu tak luntur saat aku membisikannya ke telingamu. Aku ingin perasaan melambung tinggi saat aku mengutarakannya padamu tetap terjaga, melekat pada satu kata itu, membuat makna-nya menjadi abadi. Bukankah itu menjadi lebih indah? Menjadi lebih terasa, lebih berharga, lebih dalam makna-nya saat kata itu muncul ke permukaan?
Itulah caraku, mencintaimu.