Senin kemarin (22/7) aku memutuskan untuk ikut Rubi (ruang berbagi ilmu) di Tulin Onsoi. Ini akan menjadi penglaman pertama ku menginjakkan kaki di wilayah 3 Nunukan, tentu saja aku sangat bersemangat. Juga dengan pertimbangan bahwa kesempatan untuk ikut Rubi mungkin tidak akan datang lagi pada ku.
Rubi adalah sebuah ruang untuk guru-guru SD sharing dengan difasilitasi oleh relawan-relawan Rubi dari berbagai daerah. Kegiatan ini digagas oleh Indonesia Mengajar bekerjasama dengan PPI Dunia. Tidak ada salahnya kan memperluas pengetahuan meski tidak berbanding lurus dengan karir ku. Toh nantinya aku juga akan menjadi ibu, aamiin.
Setelah memadatkan semua jadwal kerja hari Senin dan Selasa ke Sabtu dan Minggu, aku akhirnya bertolak ke daratan Kalimantan di Minggu siang bersama seorang teman. Ya hitung-hitung tester perjalanan juga sebelum nanti aku meminta dipindahkan ke wilayah itu. Perjalanan dimulai dengan menumpang speedboat berkapasitas 4 orang + 1 motor selama 30 menit hingga pelabuhan kecil di Sungai Ular.
Selanjutnya kami mengendarai sepeda motor, dan itu sangat melelahkan buat ku, apalagi buat teman ku yang posisinya ada di depan. Jalanan aspal naik turun melewati kebun-kebun sawit, sedikit hutan dan beberapa pos penjaga perbatasan kami lalui. Kami baru sampai di Desa Semunad, Tulin Onsoi, basecamp teman-teman Rubi saat hari menjelang maghrib.
Rubi Tulin Onsoi kali ini berisi materi konseling dan pembelajaran kreatif. Kalau dicermati materi ini sebenarnya biasa aja, dalam artian tidak membuat aku merasa 'wah, aku baru tau'. Aku pernah iseng-iseng bertanya ke salah satu fasilitator tentang materi yang sebenarnya bisa dicari sendiri di Google. Ia mengiyakan dan menambahkan bahwa itu semua tergantung pinter-pinternya memilih kata kunci pencariannya. Karna yaa, fasilitator belum tentu seorang praktisi pendidikan.
Terlepas dari itu semua, Rubi menjadi ruang yang langka bagi guru-guru untuk berpendapat dan menceritakan permasalahan pun pengalaman mengajar mereka. Aku melihat bagaimana guru-guru SD di sini sangat bersemangat dalam tiap sesinya. Ada satu dua yang selalu mengajukan diri untuk bicara, berpendapat. Ya, ini menjadi ajang mereka untuk unjuk gigi, setelah setiap hari menyediakan ruang tersebut untuk murid-muridnya di kelas.
Ada 2 hal menarik yang membuat aku tidak merasa rugi telah mengeluarkan kocek yang lumayan untuk ukuran pekerja tanpa pengalaman. Pertemuan dengan relawan Rubi, baik narasumber maupun dokumentator. Rubi Tulin Onsoi menghadirkan 4 orang narasumber dan seorang dokumentator dari background yang berbeda-beda.Â
Setidaknya aku sempat bicara cukup panjang dengan 2 diantaranya. Seorang PNS ibukota yang merangkap ibu dan pemimpin sebuah yayasan. Uniknya yayasan yang ia pimpin ada di Pemalang, bukannya Jakarta. Yayasan ini mempunyai tempat penitipan anak dengan sistem pembayaran subsidi silang untuk anak-anak dengan orang tua berpenghasilan rendah. Satunya lagi seorang peneliti mikrobiologi kelautan. Berbicara dengannya membuka kembali ingatan-ingatan soal mikroba dan ekosistem yang sudah lama terpendam.
Pertemuan dengan peserta Rubi atau guru-guru SD di Kecamatan Tulin Onsoi. Sebagian dari mereka adalah guru-guru baru dan muda yang sedang menjalani orientasi sebelum nantinya diangkat menjadi ASN. Aku melihat mereka sebagai guru-guru yang diliputi semangat, kritis, dan kreatif. Sedikit berbeda dengan guru-guru yang  lebih tua, mereka cenderung lebih bijaksana, sebab pengalaman.
Aku merasa tentram, bahwa pendidikan anak-anak ada di tangan mereka. Ada memang satu orang guru muda yang menyarankan menggunakan kekerasan sebagai bentuk hukuman agar jera, tapi sungguh, satu forum menentangnya. Selain sebab kekerasan bukan solusi, anak-anak mereka bisa saja enggan sekolah lagi.
Pun juga seorang guru yang ngotot bahwa cara penyelesaian soalnya lah yang benar (meski sebetulnya salah). Miris, sebab dari situ aku melihat bagaimana ia begitu kaku dan tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Tapi ya, itu satu dari sekian banyak. Semoga.
Menjadi guru di daerah yang bisa terbilang daerah 3T (Tertinggal, Terpencil, Terluar) bukanlah hal mudah. Mereka herus menghadapi banyak persoalan, mulai dari materi pembelajaran yang tidak kunjung bertambah sebab banyak dari mereka tidak bisa membaca (bayangkanlah bagaimana mereka harus menerapkan kurikulum 2013); anak-anak mereka yang lebih memilih ikut pesta pernikahan daripada sekolah; pernikahan yang terlalu dini, dan masih banyak yang lain.
Mendengar cerita mereka membuat aku ingin menangis, memeluk setiap pesertanya dan mengucap terimakasih tak berhingga. Sebutan pahlawan tanpa tanda jasa memang aku amini sebelum-sebelumnya, tapi tak pernah seserius ini, tak pernah seserius untuk guru-guru di pelosok daerah.
Terimakasih pak, bu :')
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H