Mohon tunggu...
Nisa Lutfiana
Nisa Lutfiana Mohon Tunggu... Tutor - Okee saya seorang perantau yang tengah mencari penghidupan di perbatasan negeri ini :)

I know I'm not the only one. Belajar tak akan pernah mengenal waktu. Inilah sepenggal cipta dari rasa yang terjaga.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mencerna Involusi Pertanian ala Clifford Geertz

26 November 2017   09:52 Diperbarui: 26 November 2017   15:18 4871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Saya baru saja menyelesaikan buku ini setelah bertarung sengit untuk menaklukannya. Buku ini sukses membuat saya kesal luar biasa. Bagaimana tidak, buku yang tebalnya hanya 200an halaman ini baru saya rampungkan setelah sebulan. Lama sekali kan? Bukan maksud ingin membela diri atau semacamnya, namun faktor otak saya yang engan bertele-tele menjadi alasan utamanya. Iya, otak saya tiba-tiba kehilangan jati dirinya sebagai otak ketika menemui bahasa njelimet dan muter-muter.

Buku-buku terbitan komutas bambu rata-rata dibandrol dengan harga yang cukup tinggi. Awalnya saya pikir harga mahal untuk membayar loyalti pada penulis-penulis asing (buku terjemahan). Namun belakangan teman saya menjelaskan bahwa yang membuat buku terjemahan mahal adalah untuk membayar penerjemahnya, loyalti tak terlalu besar jika penulis sudah tiada. Katanya sih begitu.

Maka saya tak ragu-ragu untuk membeli buku ini, meski harganya hampir 100k. Saya percaya harganya akan sesuai dengan apa yang saya peroleh. Namun, saat saya mulai membaca buku ini rasanya ada yang berat ya, otak saya atau bahasanya? Semoga si otak saya, karna jika bahasanya, kemana perginya harga buku yang tinggi itu?

Meski dengan kerja keras dan susah payah, ada beberapa uraian Clifford Geertz yang membuat saya berpikir kembali dan membandingkannya dengan buku lain yang pernah saya baca. By the way, involusi adalah proses perubahan yang terjadi pada tampilan luar saja, saya tidak akan menjelaskan involusi menurut Clifford Geertz, saya hanya akan menceritakan bagaimana perubahan ekologi itu terjadi.

Berdasarkan ekologinya Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu Indonesia bagian dalam dan Indonesia bagian luar. Indonesia bagian dalam memiliki ekologi yang tepat untuk ditanamami padi, sehingga umumnya berbentuk persawahan. Wilayahnya terbentang sepanjang Jawa, Bali serta Lombok. Sedangkan Indonesia bagian luar ekologinya lebih tepat untuk perladangan. Wilayahnya mencakup seluruh kepulauan nusantara selain yang disebutkan tadi.


Peta daerah persawahan dan perladangan (sumber : buku)

Pertanian adalah suatu usaha tertentu untuk mengubah ekosistem sehingga dapat dimanfaatkan manusia. Persawahan mengolah alam sekitar sehingga sesuai untuk tanaman padi, sedangkan perladangan dengan meniru alam sekitar.

Pada peladangan biasanya ditemui tanaman beraneka rupa. Penurunan hasil pada perladangan cenderung tinggi, oleh sebab itu perladangan selalu berpindah, hingga mencapai suatu siklus hingga kemudian kembali ke tanah yang mulanya digarap. Pembakaran hutan yang sudah ditebang pada dasarnya untuk mempercepat proses pembusukan. 

Abu tanaman yang dibakar menjadi energi mineral yang dimanfaatkan tanaman ladang, sehingga sempurnanya pembakaran menjadi faktor paling penting yang menentukan hasil panen. Siklus pemulihan dan pembakaran ini bisa mencapai tahunan. Oleh sebab itu, penduduk di sekitar perladangan biasanya berjumlah sedikit, apabila penduduk bertambah padat, maka ladang-ladang dibutuhkan segera untuk ditanami, hasilnya terciptalah padang ilalang karna menyalahi siklus.

Tidak seperti ladang, penurunan hasil pada sawah tidak terlalu tinggi. Mungkin hal ini disebabkan karena adanya genangan air yang menjaga energi dari tanah tidak menguap, keluar sistem. Maka, dalam setahun sawah bisa langsung ditanami dua kali atau lebih, tanpa kehilangan hasil yang berarti. 

Padatnya penduduk di sekitar sawah juga tidak memberikan dampak yang signifikan. Namun, tidak semua tempat dapat dijadikan persawahan, oleh sebab itu perkembangan dengan ekstensifikasi sangat sulit. Satu-satunya yang mungkin adalah intensifikasi. Namun, intensifikasi memerlukan waktu dan modal yang tidak sedikit, membangun bendungan misalnya.

Pada buku ini, perubahan ekologi di Indonesia dibagi ke dalam beberapa masa,

Periode Kuno

Perkembangan persawahan di Jawa (sebelum masehi) disebabkan oleh berkah alam. Lebih dari 30 gunung berapi aktif di pulau jawa menyediakan zat-zat makanan untuk tumbuh-tumbuhan yang tidak tersedia di dalam tanah yang tipis (red : perladangan), didukung dengan air tanah dan iklim yang sesuai.

Masa Kolonial (VOC dan Sistem Tanam Paksa)

Seperti halnya Portugia, tujuan Belanda adalah kepulauan yang termashur dengan rempah-rempahnya, Maluku. Namun, mereka merubah tujuannya ke Jawa. Apa yang dilakukan Belanda sampai akhir kekuasaannya adalah perniagaan, mencari produk pertanian Indonesia (kususnya Jawa), yang kemudian dijual di pasar dunia tanpa mengubah struktur ekonomi pribumi. 

Menjaga penduduk pribumi agar tetap dalam kepribumiannya dan juga dapat menghasikan produk berkelas dunia, struktur ekonomi seperti ini disebut dengan sistem ekonomi "dua muka" (dualisme). 

Sistem ini tidak seimbang, pada sektor ekpor terdapat kapitalisme adminiatratif, sistem yang pemegang modalnya mengatur harga penjualan dan upah, mengontrol pengeluaran dan juga mendikte proses produksi; pada sektor domestik memiliki pertanian unit keluarga, industri rumahan dan sedikit penjualan dalam negeri. Kedua sektor ini saling bertolak belakang.

Sistem tanam paksa merupkan penanaman yang dipaksakan sebagai pengganti pajak yang berupa uang. Tanaman yang dipaksakan diantaranya adalah tabu dan kopi. Tebu memerlukan irigasi dan drainase serta lingkungan yang hampir sama dengan padi, oleh sebab itu perbaikan sistem drainase dan irigasi yang ditujukan untuk tebu juga memiliki pengaruh positif untuk persawahan; kebutuhan tenaga kerjanya berubah-ubah menurut musim. 

Sebaliknya, kopi lebih cocok hidup di tanah pegunungan dan tidak memerlukan irigasi; kebutuhan tenaga kerjanya relatif tetap. Maka, tebu seharusnya berintegrasi dengan pertanian sawah dan menjadi tanaman rakyat tani, sementara kopi terpisah dari pertanian rakyat dan menjadi tanaman perkebunan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

Sistem Perkebunan Besar

Mekanisasi pabrik gula pada abad ke-19 menyebabkan Sistem Tanam Paksa - penggunaan tenaga (Jawa) untuk menggantikan modal (Belanda)- menjadi ketinggalan jaman. Oleh sebab itu pada 1870 Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agraria, di dalamnya terdapat suatu anggapan bahwa tanah bera adalah milik negara. Oleh karena itu, perusahaan perkebunan swasta dapat menyewa tanah tersebut atas dasar kontrak jangka panjang dari Jakarta.

Sedangkan untuk daerah luar Jawa, terdapat beberapa pola, Pertama pengembangan secara geografis hanya di tempat-tempat tertentu, contohnya perkebunan tembakau, karet, teh dan minyak sawit terpusat di Deli dan sekitarnya. Kedua, fokus pengembangan tidak lagi pada rempah-rempah namun produksi bahan mentah industri. Ketiga, petani memainkan peran yang relatif lebih besar dalam ekonomi ekspor.

Perkebunan tembakau dan pertanian rakyat tidak berintegrasi dalam satu ekosistem. Para peladang manaruh curiga bahwa pengusaha tembakau sesungguhnya tidak menghendaki keberadaan mereka. Tidak seperti di Jawa, penduduk setempat tidak dipekerjakan di perkebunan, baik karena jumlahnya yang tidak cukup besar atau kaena jiwa nya yang tidak suka bekerja di perkebunan (karena mereka cukup punya tanah dan kebebasan), maka didatangkanlah buruh orang Cina maupun Jawa.

Kemudian apa yang terjadi selanjutnya? Setelah orang-orang Indonesia mengambil alih milik mereka pada Desember 1957, orang-orang Belanda tidak memiliki peran apa-apa lagi.

ps. artikel ini juga saya publikasikan di blog pribadi saya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun