Mekanisasi pabrik gula pada abad ke-19 menyebabkan Sistem Tanam Paksa - penggunaan tenaga (Jawa) untuk menggantikan modal (Belanda)- menjadi ketinggalan jaman. Oleh sebab itu pada 1870 Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agraria, di dalamnya terdapat suatu anggapan bahwa tanah bera adalah milik negara. Oleh karena itu, perusahaan perkebunan swasta dapat menyewa tanah tersebut atas dasar kontrak jangka panjang dari Jakarta.
Sedangkan untuk daerah luar Jawa, terdapat beberapa pola, Pertama pengembangan secara geografis hanya di tempat-tempat tertentu, contohnya perkebunan tembakau, karet, teh dan minyak sawit terpusat di Deli dan sekitarnya. Kedua, fokus pengembangan tidak lagi pada rempah-rempah namun produksi bahan mentah industri. Ketiga, petani memainkan peran yang relatif lebih besar dalam ekonomi ekspor.
Perkebunan tembakau dan pertanian rakyat tidak berintegrasi dalam satu ekosistem. Para peladang manaruh curiga bahwa pengusaha tembakau sesungguhnya tidak menghendaki keberadaan mereka. Tidak seperti di Jawa, penduduk setempat tidak dipekerjakan di perkebunan, baik karena jumlahnya yang tidak cukup besar atau kaena jiwa nya yang tidak suka bekerja di perkebunan (karena mereka cukup punya tanah dan kebebasan), maka didatangkanlah buruh orang Cina maupun Jawa.
Kemudian apa yang terjadi selanjutnya? Setelah orang-orang Indonesia mengambil alih milik mereka pada Desember 1957, orang-orang Belanda tidak memiliki peran apa-apa lagi.
ps. artikel ini juga saya publikasikan di blog pribadi saya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H