Mohon tunggu...
Nisa Lutfiana
Nisa Lutfiana Mohon Tunggu... Tutor - Okee saya seorang perantau yang tengah mencari penghidupan di perbatasan negeri ini :)

I know I'm not the only one. Belajar tak akan pernah mengenal waktu. Inilah sepenggal cipta dari rasa yang terjaga.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengupas Ilusi Negara Islam

22 Juli 2016   13:36 Diperbarui: 22 Juli 2016   13:39 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca buku bergenre islami selalu menjadi masalah tersendiri untuk ku. Ketidaksukaan akan dogma dan bacaan model The Power of menjadi alasan ku lebih memilih buku lain. Buat ku buku semacam itu memiliki informasi namun tidak banyak menyita perhatian. Bandingkan dengan buku hasil penelitian atau sejarah yang tiap selesai, aku serasa menjadi manusia baru, yang baru mengetahui sesuatu. Yeah, ini hanya menurut ku saja.

Namun kali ini agak berbeda, beberapa hari yang lalu aku baru saja menyelesaikan bacaanku, judulnya Ilusi Negara Islam. Ini adalah buku dari hasil penelitian Wahid Institut. Ketertarikan ku menelesaikan buku ini karena perdebatan tentang Islam dalam suatu grup Lin*, hingga disimpulkan sebaiknya membaca buku ini sebelum mengungkapkan pendapat. Aku yang hanya silent reader, kerena tidak tahu apa-apa akhirnya bertekad untuk tahu.

Bisa dilihat dari judulnya, menurut buku ini Negara Islam hanya lah ilusi. Negara Islam sarat akan kepentingan pihak tertentu, karena dalam Islam tidak ada kewajiban atau ajaran untuk membentuk Negara Islam. Pada konteks cita-cita negara Islam, meng-Islam-kan negara menjadi sebuah tujuan. Dampaknya syari’at dan hukum yang berlaku dalam negara tersebut merupakan syari’at dan hukum Islam. 

Kelompok atau individu yang bercita-cita mendirikan negara Islam menjadikan agama dan penegakkan syari’at sebagai tujuan, ini keliru. Tujuan umat Islam sesungguhnya adalah mendekatkan diri pada Allah, agama dan syari’at hanyalah jalan untuk meraih tujuan.

Sejarah menuturkan ini bermula pada masa Khalifah Ali bin Abu Thalib, kelompok Khawarij, sekelompok orang yang keluar dari barisan ‘Ali ibn Abi Thalib terkait Thakim dalam perang Shiffin melawan Mu’awiyah. Kelompok ini kemudian mengkafirkan siapapun yang berbeda sikap dan pandangan, baik dari ‘Ali ibn Abi Thalib maupun Mu’awiyah. 

Salain itu, Khawarij juga memahami Al-Qur’an dan hadits secara harfiah dan tertutup. Meskipun kini kelompok Khawarij sudah tidak ada, namun tabiat buruknya masih diikuti kelompok Wahabi, meskipun demikian, Wahabi tidak bisa dikatakan sebagai penerus Khawarij. Wahabi merupakan kelompok pengikut Muhammad ibn ‘Abdul Wahab, dengan literalismenya yang tertutup. Kepiawaian Muhammad ibn Sa’ud dalam bermain politik berkolaborasi dengan Wahabi melahirkan kerajaan Arab Saudi.

Gerakan transnasional lain yang menginginkan terbentuknya sistem kekhalifahan internasional diantaranya adalah Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. IM didirikan oleh Hasan al-Banna di Mesir pada 1928. Sedangkan Hitsbu Tahrir berasal dari Timur Tengah. Kecewa dengan IM, Taqiuddin al-Nabhani mendirian Hizbut Tahrir pada 1952 di Jerusalem Timur. Hizbut Tahrir sepenuhnya menolak terhadap apapun yang berasal dan berkaitan dengan Barat.

Paham-paham garis keras ini diperkenalkan ke Indonesia melalui orang-orang yang melakukan ibadah haji pada awal abad ke-19, ketika itu mekkah dan Madinah dikuasai Wahabi. Sebelumnya Arab adalah tempat berkumpul dan berdiskusinya berbagai mazhab atas suatu perkara. IM masuk melalui lembaga-lembaga dakwah kampus yang kemudian menjadi Gerakan Tarbiyah, hingga akhirnya melahirkan Partai keadilan Sejahtera.

Islam garis keras di Indonesia membesarkan diri melalui organisasi masyarakat yang sudah besar, seperti Muhamadiyah dan NU. Mereka menyusup, dan pelan-pelan merebut masjid, lembaga pendidikan dan massa dari kedua organisasi tersebut. Ini dibenarkan dengan keluarnya SKPP Muhamdiyah No. 149/KEP/I.0/B/2006 untuk membersihkan Muhammadiyah dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Keputusan Majelis Bahtsul Masa’il Nadhatul Ulama tentang Khilafah dan formalisasi Syari’ah.

Saya hanya seorang Nisa Lufiana yang tidak pernah lepas dari kekeliruan. Tulisan ini saya buat setelah saya membaca buku Ilusi Negara Islam, dan sayangnya baru satu buku yang saya baca mengenai hal ini. Rekomendasi untuk bacaan selanjutnya akan sangat membantu :))

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun