Mohon tunggu...
Lutfia Habibah
Lutfia Habibah Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Lakukan yang terbaik. (Syukur, Ikhlas, Sabar)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mata Rantai dan Benang Kusut Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

14 Desember 2016   11:12 Diperbarui: 14 Desember 2016   12:34 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Miris mendengar cerita seorang istri (sebut saja Dinda namanya) yang dipukul suaminya, hanya gara gara suami tidak senang Dinda ingin mengetahui siapa yang menelphonnya. Mukanya lebam, mata dan bibirnya kehitaman bekas bogem suaminya, heemm duuhh saya bisa bayangkan bagaimana sakitya. Dinda bercerita, itu bukan pertama kali sang suami memukulnya, sudah sering terjadi, tapi Dinda memilih tetap bertahan meskipun dia tidak dapat menjamin kedepan suaminya tidak akan memukulnya lagi, kenapa? karena Dinda sudah memiliki satu anak laki laki yang masih TK, sedangkan dia hanya mengandalkan pemberian suaminya untuk memenuhi kebutuhan sehari hari termasuk biaya pendidikan anaknya. Saya jadi penasaran kenapa Dinda bisa mendapatkan suami seperti itu, “nasib” jawab Dinda singkat, kemuadian dia menceritakan masa lalunya.

Sejak kelas 4 SD Dinda sudah ditinggal kedua orang tuanya merantau ke luar negeri menjadi TKI, dan sejak saat itu dia tinggal di asrama. Menempuh pendidikan SMP, Dinda mulai mengenal kehidupan remaja yang bebas, puncaknya ketika kelas 2 SMA, Dinda dikeluarkan dari sekolah karena kenakalannya. Keluarga Dinda di rumah merasa sudah tidak sanggup untuk mendidiknya, sehingga memutuskan untuk memberangkatkannya ke luar negeri menyusul kedua orang tuanya, keputusan itu juga disetujui oleh kedua orang tua Dinda. Sejak saat itu Dinda mengenal suaminya yang juga TKI. Pergaulan bebas membuat Dinda hamil di luar nikah. Keadaan itulah yang membuat Dinda mau tidak mau harus menikah dengan pria tersebut, meskipun Dinda dan kedua orang tuanya mengetahui latar belakangnya yang tidak baik. Yaaa tidak bisa kita pungkiri, saat ini memang banyak kejadian seperti yang dialami Dinda, menikah bukan karena ibadah atau kesadaran sendiri, akan tetapi menikah karena keterpaksaan untuk menutupi aib, sehingga dalam pernikahan sering terjadi kekerasan dalam rumah tangga.

Lain lagi dengan teman saya Ratna (nama samaran), meskipun Ratna punya sumber penghasilan sendiri namun tidak bisa lepas dari kekerasan suaminya karena takut keselamatan keluarganya. Suaminya selalu mengancam akan menyakiti orang tua dan keluarganya jika sampai cerai darinya. Ratna tau betul bagaimana perangai suaminya. Bahkan Ratna sering berdoa agar suaminya mati, saking tidak bisa berbuat apa apa untuk lepas dari kekerasan suaminya. Pernah suatu waktu, suaminya melakukan kekerasan, Ratna sudah melaporkannya ke polisi, entah kenapa laporan itu pada akhirnya dicabut. Apa yang membuat Ratna menikah dengan pria seperti itu? “terlau cinta”  sebuah alasan yang tidak bisa diterima orang tua, keluarga dan teman-temannya yang sudah mengingatkan dan melarang untuk melanjutkan hubungannya apalagi sampai menikah, padahal Ratna tau bagaimana latar belakang pria itu, sudah pernah menikah dua kali, tukang selingkuh dan bla bla bla.

Sepenggal kisah Dinda dan Ratna yang menggambarkan bagaimana kekerasan terhadap perempuan terjadi bukanlah kejadian tiba tiba, namun ada serangkaian peristiwa sebelumnya yang membuat perempuan berada pada situasi “teraniaya oleh pria” dan sulit lepas dari situasi tersebut. Memang kekerasan terhadap perempuan lebih banyak diterima dari orang terdekatnya (suami). Bercermin dari kisah Dinda dan Ratna, lalu siapa yang salah jika ada kekerasan terhadap perempuan? satu jawaban yang sulit, mungkin pria (suami) pelaku kekerasan terhadap perempuan memiliki latar belakang yang kompleks, atau mungkin di masa kecilnya, pria tersebut merupakan korban kekerasan terhadap anak, salah pergaulan atau salah asuh orang tuanya, sehingga membentuk karakter seorang pria yang menyelesaikan masalah dengan kekerasan. 

Oya tentang kekerasan terhadap anak, ada kejadian di tetangga saya. Sejak kedua orang tuanya bercerai, Rizal (8 th) dan adiknya Sita (5 th) (keduanya nama samaran) hanya tinggal bersama neneknya, ibunya pergi ke luar negeri menjadi TKW sementara bapaknya tidak tau pergi kemana. Suatu hari Rizal bermain dengan teman-temannya, tidak tau bagaimana awalnya, Rizal membakar ban sepeda motor yang terparkir di depannya. Mengetahui kejadian itu, pamannya menampar dan memukul Rizal karena jengkel atas kenakalan Rizal dan malu pada pemilik sepeda motor dan tetangga. Satu contoh kekerasan kepada anak nakal yang belum bisa membedakan benar dan salah, yang setiap tingkah lakunya ia lakukan begitu saja tanpa tau resikonya, di sisi lain pamannya bermaksud mendidik agar Rizal tidak melakukan hal hal yang merugikan orang lain. Belum banyak orang tua yang bisa menerima kenakalan anak-anak dan menanganinya dengan kekerasan. Terkadang kenakalan anak-anak memang menguras emosi orang tuanya, dan tidak jarang orang tua yang tidak bisa menahan diri, melakukan hal-hal yang melukai anak-anak, jika kekerasan sering dilakukan orang tuanya, bisa jadi kedepan anak-anak tumbuh dengan karakter menyelesaikan masalah dengan kekerasan pula.

Apapun bentuk dan alasan kekerasan terhadap perempuan dan anak, menurut saya memang tidak dibenarkan, namun ketika melihat ketiga cerita saya di atas, kekerasan kepada perempuan dan anak memiliki mata rantai yang tidak terputus antara kejadian atau keadaan satu dengan yang lainnya, sehingga berujung pada kekerasan itu terjadi. Ada banyak faktor dan latar belakang yang mempengaruhi terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak, seperti benang kusut yang susah untuk diurai, dari sisi mana dulu kita harus memulai untuk menghentikan kekerasan tersebut.

Jika bercermin dari kisah Dinda dan Ratna, terkadang saya berfikir, salah mereka sendiri di masa lalunya. Tetapi jika mengetahui alasan mereka tidak atau belum mau melepaskan diri dari kekerasan itu, saya menjadi salut dan terharu, mereka rela mengorbankan kebahagiaanya demi orang-orang yang dicintainya. Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak? Menurut saya ada beberapa hal yang bisa kita lakukan (rekan-rekan kompasianer bisa menambahi) yaitu :

  1. Mempertebal iman dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tuhan semesta alam. Dengan selalu dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa, InsyaAllah kita akan terhindar dari perbuatan yang tidak terpuji (menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak) dan mendapat pertolongan-NYA. 
  2. Kemapanan ekonomi dan kemudahan mencari rejeki. Dalam hal ini peran pemerintah sangat penting, bagaimana menjadikan negeri ini tempat yang aman, nyaman dan mudah dalam mendapatkan rejeki, sehingga masyarakat tidak perlu menjadi TKI atau TKW di luar negeri.
  3. Hukuman setimpal bagi pelaku kekerasan. Selain itu pelaku kekerasan harus ada upaya menyadarkan diri sendiri dan tekad yang kuat untuk memutus rantai kekerasan, dengan tidak terus melakukan kekerasan pada anak, yang bisa menumbuhkan bibit-bibit kekerasan baru di masa mendatang.
  4. Kemandirian ekonomi perempuan. Selain pendidikan formal, program-program pemberdayaan perempuan dengan mengadakan pelatihan ketrampilan bisa menjadi solusi perempuan bisa mendapatkan sumber penghasilan. Selain pemerintah, kita juga bisa berperan dalam hal ini, ikut memberdayakan perempuan di sekitar kita.
  5. Sosialisasi tentang cara mendidik atau mengatasi kenakalan anak-anak dengan tanpa kekerasan. Kali ini tentu juga diimbangi pengetahuan tentang dunia anak-anak yang harus dipahami oleh setiap orang tua, sehingga orang tua tidak salah paham tentang prilaku yang ditunjukan anak-anak.

Sulit memang rasanya jika harus menghentikan sama sekali atau menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak, tetapi setidaknya dengan dimulai dari diri kita sendiri dan bergotong-royong, kita bisa melakukan upaya untuk menguranginya, sehingga setiap tahun jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak bisa menunjukan trend penurunan.

Salam

faceebook 

twitter

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun