Nama Gonzales tiba-tiba mencuat menjadi buah bibir masyarakat Indonesia, setelah gol-golnya membenamkan phillippina. Sangat menakjubkan. Hanya dalam hitungan hari Gonzales sang orang asing, menjadi pahlawan Indonesia. Tapi lebih menakjubkan lagi, tiba-tiba para petinggi kita menjadi kaya dan dermawan. Nurdin Halid memberikan bonus Rp. 2,5 M dalam bentuk cash, ditempatkan di dalam kardus. Ical menghibahkan tanahnya di Jonggol, membuat PSSI tergiur memindahkan base camp-nya dari Depok. Saya teringat kejadian di Tokyo. Saat Jepang masuk kualifikasi piala dunia kemarin. Setiap Jepang bertanding, pub, restaurant memasang televisi-televisi berlayar lebar. Suara berisik terdengar  hingga malam. Tidak hanya di dalam, penonton bahkan meluber menonton di pinggir jalan.  Ekonomi nyaris terhenti, orang-orang terkena sindrom nebushoku (kurang tidur). Setelah Jepang kalah, suasana kembali ke sedia kala. Jepang kembali workalcoholic , masyarakat kembali sinis pada segala suara berisik. Televisi-televisi berlayar lebar menghilang. Polisi-polisi berkeliaran memperingatkan mereka yang membuat "keributan". Final Piala Dunia sepi. Orang asing hanya bisa mendesis: Japan racist..... ********** Benarkah sepak bola murni olah raga ? Jika benar, mengapa Amerika perlu mengirim Bill Clinton, Inggris mengirim Pangeran William. Sedang Qatar mengirimkan Istri sang Emir untuk menyaksikan proses pemilihan tuan Rumah Piala Dunia 2018/2022. Kemudian pihak Inggris marah ketika kalah. Menuduh FIFA menerima fulus Qatar. Dan sejarahpun mencatat, Mussolini sang diktaktor Italia tak segan-segan akan menembak mati pemainnya bila Italia kalah  saat PD tahun 1934. Rasanya tidak terlalu sulit menjelaskan bahwa sepak bola telah menjadi suatu fenomena ekonomi-politik. Martin Staniland menjelaskan, ekonomi politik adalah suatu approach (pendekatan). It recognizes the connection between politics and economics and thus transcends the narrow assumption of Economics and Political Science. Sepak bolapun telah berubah. Bukan lagi sekedar olahraga dalam kampus. Tetapi sudah  menjadi soal bisnis juga menyangkut ideologi. Masalahnya kemudian menjadi kabur. Ekonomi politik, menyangkut dua cabang keilmuan yang seolah berkelindan: Ilmu Ekonomi dan Ilmu Politik. Pertanyaan kemudian adalah dalam kasus Nurdin dan Ical mana yang lebih dominan ? Apakah hibah itu terkait keinginan Ical untuk nyapres dan Nurdin yang ingin menjadi ketua PSSI seumur hidup, ataukah.....? Sulit ditebak dimanakah akan berhentinya pendulum Ekonomi Politik ini. Tetapi melihat latar belakang keduanya,  saya berkesimpulan Ical dan Nurdin seorang Marxian. Karl Marx, memenangkan faktor infrastucture (ekonomi) dari pada suprastructure ( politik/ ideologi) sebagai alasan manusia dalam bertindak. "Bonus" yang diberikan Ical dan Nurdin semata-mata untuk mengamankan kerajaan bisnis mereka, dari pada sekedar ingin menjadi presiden atau ketum PSSI. Lebih profitable bagi Ical menghibahkan tanahnya ke PSSI dari pada ke para korban lumpur Lapindo. Sementara Nurdinpun akan dapat mengamankan bisnisnya dengan terus berjuang menjadi ketum PSSI yang pasti akan memudahkannya untuk berhubungan dengan setiap penguasa baru.  Apalagi, kebijakan ketum PSSI tidak dapat di intervensi oleh menteri olahraga sekalipun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H