Pada kasus di atas yang terjadi pada PT Tupperware isu tersebut muncul dari faktor eksternal yaitu konsumen atau pelanggan, dan juga masyarakat umum yang mulai berubah dalam gaya hidupnya sehingga kebutuhan yang mereka butuhkan juga ikut berubah. Hal yang seharusnya dapat dilakukan oleh PT Tupperware sebelum krisis kebangkrutan yang mereka alami adalah membuat sebuah strategi manajemen isu yang dimana melakukan identifikasi masalah apa yang menyebabkan penurunan minat pembeli dengan menganalisis pada tren pasar yang saat ini sedang berlangsung dan masa yang akan datang, kemudian menentukan tujuan serta tindakan yang akan dilakukan untuk mengadapi isu tersebut, melakukan komunikasi dengan baik dan transparan kepada pemangku kepentingan seperti karyawan, manajemen, dan pemegang saham. Selain itu diperlukan penggunaan media sosial sebagai pembentukan citra baru dengan menginformasikan adanya perubahan pada produk untuk menarik perhatian pasar kembali (Rahmawati, Fitria, & Mujab, 2023).
PT Tupperware juga mengalami berbagai krisis yang menyebabkan mereka terancam mengalami kebangkrutan ialah pengelolaan uang yang kurang baik sehingga memberikan kerugian terhadap perusahaan pada terlilitnya utang sekitar Rp 12,4 triliun lebih (Puspapertiwi, 2024). Tercatat perkiraan aset dari perusahaan Tupperware sebesar Rp 7,75 triliun sampai Rp 15,5 triliun dan perkiraan kewajiban sebesar 15,5 triliun sampai dengan Rp 155 triliun menurut pengajuan kebangkrutan pada pengadilan kebangkrutan Amerika Serikat (sandria, 2024). Selain itu penaikan biaya oprasional yang dialami PT Tupperware semakin mendesak mereka, seperti kenaikan biaya pengiriman, bahan baku, dan tenaga kerja. Kemudian saham perusahaan Tupperware kian menerus menurun dengan sebesar 68 persen pada tahun 2023, kemudian pada tahun 2024 bertambah dengan 74,5 persen dan dari catatan terakhir diduga PT Tupperware hanya bisa menjualkan produknya seharga 51 sen (Amaranggana & Nugroho, 2024). Kejadian tersebut memunculkan kekhawatiran bagi para investor dari PT Tupperware.
Hal yang terjadi pada PT Tupperware diperlukan sebuah manajemen krisis dan juga komunikasi krisis. Krisis ini sendiri berarti sebuah kejadian yang tidak stabil yang menyebabkan perubahan yang dapat mengancam, baik itu perubahan yang diinginkan ataupun perubahan yang tidak dinginkan hal itu dikatakan oleh Steven Fink (Riadi, 2021). Krisis bisa dikatakan sebagai situasi yang darurat terjadi pada waktu yang tidak terduga dan berpotensi pada kerugian yang besar pada sebuah perusahaan. Krisis ini dapat terlihat tanda-tandanya, seperti kenaikan intensitas dari sebuah keparahan peristiwa yang tidak diinginkan seperti yang terjadi pada PT Tupperware yang berawal pada penurunan pendapatan hingga mempunyai utang perusahaan yang sulit untuk dibayarkan. Kemudian muncul kembali peningkatan yang tidak pasti di masa depan dan tidak mampu merencanakan strategi yang tepat untuk mengatasi permasalahan penurunan minat pembeli. Pada tanda-tanda tersebut dapat dilakukan sebuah manajemen krisis yang digunakan untuk membuat sebuah perencanaan untuk menghadapi berbagai krisis, membentuk tim khusus untuk merespons dan menolong dalam situasi krisis, serta melakukan komunikasi krisis yang efektif untuk menjaga transparansi dan membangun kepercayaan selama krisis (Riadi, 2021).
Manajemen penanganan krisis yang baik dapat terlihat pada langkah-langkah yang mereka lakukan menurut Iriantara dalam (Riadi, 2021) terdapat beberapa langkah untuk menganani krisis pada sebuah perusahaan salah satunya adalah identifikasi krisis dengan dengan penelitian yang bersifat informal dan cepat jika memang krisis ini berjalan dengan cepat, dari identifikasi krisis ini perusahaan Tupperware akan ditemukan data-data yang membuat perusahaan Tupperware mengalami krisis. Setelah dilakukan identifikasi krisis, perusahaan perlu melakukan analisis dari data tersebut secara menyeluruh karena hal ini akan menjadi penentu bagi sebuah perusahaan Tupperware dalam mengambil tindakan. Selain itu perusahaan Tupperware perlu mengambil tindakan isolasi krisis, karena krisis ibarat seperti sebuah penyakit yang bisa menular pada hal lainnya, maka dari itu perlu dilakukan isolasi krisis. Serta memilih strategi yang telah dirancang sebelumnya untuk bisa meredam atau mengatasi krisis yang ada.
Pada penelitian ini akan menganalisis manajemen isu dan komunikasi krisis yang dilakukan oleh perusahaan PT Tupperware, dengan melihat bagaimana isu yang terjadi pada perusahaan dapat berkembang menjadi krisis, dan bagaimana tahapan krisis yang perusahaan alami serta respon yang dilakukan oleh perusahaan Tupperware dalam menghadapi isu serta krisis yang mereka alami.
Tinjauan Pustaka
- Manajemen isu
Manajemen isu menurut Prayudi ialah sebuah proses proaktif untuk mengelola isu-isu, maupun tren, yang terjadi di lingkungan eksternal ataupun internal yang memiliki dampak baik ataupun juga bisa berdampak buruk terhadap organisasi atau perusahaan yang menjadi peluang bagi perusahaan atau organisasi untuk meningkatkan reputasi. Manajemen isu juga dapat membantu dari manajemen perusahaan untuk berkompetisi dengan menyesuaikan diri dari perubahan, situasi ataupun peristiwa dengan cepat di era global. Manajemen isu juga membantu pihak manajemen untuk membuat atau menerapkan kebijakan manajemen terbuka, dengan kebijakan manajemen terbuka memungkinkan perusahaan cepat dalam mengidentifikasi dinamika lingkungan dan pengharapan masyarakat terhadap perusahaan yang berada ditengah-tengah mereka. Selain itu manajemen isu juga dapat membantu perusahaan dalam meningkatkan pendapatan dan bisnis hal ini dikarenakan kemampuannya dalam melihat, mengidentifikasi dan memonitor isu yang muncul serta masyarakat yang terlibat dalam isu tersebut. setelah mengidentifikasi tersebut akan didapatkan berbagai data, data yang terkumpul ini dapat membantu strategi pemasaran yang dikembangkan oleh perusahaan atau organisasi sehingga lebih tepat sasaran.
Manajemen isu ini dikatakan proaktif karena prosesnya berusaha untuk mengidentifikasi berbagai perubahan yang dapat berkembang baik di lingkungan internal ataupun eksternal dari sebuah organisasi atau perusahaan serta mempengaruhi kebijakan pada perubahan tertentu sebelum perubahan sebelumnya memberikan efek negatif bagi perusahaan atau organisasi. Adapun pendekatan dalam manajemen isu, pendekatan ini sering digunakan untuk mengetahui berbagai model-model proses manajemen yang ada. Beragam pendekatan ini memiliki kekurangannya masing masing dan pada akhirnya tiap model ini memberikan solusi untuk menutupi setiap kekurangan. Ada empat pendekatan dan tiga diantaranya merupakan pendekatan utama yang biasa digunakan dalam analisa manajemen isu, yaitu pendekatan sistem, pendekatan stratejik reduksi ketidakpastian dan pendekatan retoris. Sedangkan satu pendekatan terbaru yang dikembangkan oleh Taylor, Vasquez dan Doorley yaitu pendekatan terintegrasi untuk mengatasi isolasi, membangun komunikasi dan mendorong perubahan.
- Pendekatan Sistem (System Approach)
Menurut William G Scott pendekatan ini terhadap manajemen bermula pada teori sistem dan prinsip dari manajemen bisnis. Dimana semua bagiannya saling berhubungan dan berinteraksi satu dengan lainnya. Pada teori sistem ini memiliki dua tujuan dalam manajemen isu. Meminimalisir hal yang tidak terduga berasal dari lingkungan bergerak sebagai sistem peringatan dini terhadap adanya ancaman yang dapat berkembang dan peluang menjadi tujuan pertama dari teori sistem, maksudnya memindai lingkungan yang ada untuk mendapatkan perusahaan ataupun organisasi mendapatkan informasi untuk membuat keputusan dan menyesuakan perusahaan atau organisasi. Kemudian tujuan yang kedua ialah pendekatan ini bertindak sebagai kekuatan dari pengaturan atau penyelarasan setiap kegiatan dan melakukan integrasi di dalam sebuah perusahaan atau organisasi. Setelah isu sudah dapat diketahui dan dampak dari isu tersebut dapat dinilai, peran manajemen isu sebagai pembersih untuk beberapa fungsi yang dapat berkembang seperti informasi, penyelesaian masalah, pendidikan dan respon terhadap media.
- Pendekatan Stratejik (Strategic Reduction of Uncertainty Approach)
Pendekatan stratejik reduksi ketidakpastian ini menjadi sebuah pendekatan yang melengkapi pendekatan sistem. pendekatan ini terbentuk dari beberapa kajian yaitu, membuat keputusan stratejik, proses yang dilakukan oleh perusahaan atau organisasi, perilaku dari manajemen dan perilaku dari sosial serta politik yang membantu pengembangan pemahaman mengenai apa yang terjadi di lingkungan organisasi atau perusahaan atau aksinya. Secara tidka langsung pendekatan ini berfokus pada kognitif aksi perusahaan atau organisasi serta perilaku keputusan individu, yang dimana yang menjadi perhatian utamanya adalah pandangan dari individu dan kelompok terhadap isu yang ada dan berhubungan dengan aksi di tingkat perusahaan atau organisasi. Terdapat seperangkat konsep yang ditekankan oleh Dutton yang memberikan cara bagaimana isu diidentifikasi, dicari sampai dengan mengambil keputusan dari sebuah perusahaan atau organisasi. Pernyataan tersebut intinya, konspe ini adalah untuk mendiagnosis isu stratejik, isu stratejik merupakan sebuah kejadian mengenai perkembangana atau tren yang dianggap memiliki pengaruh terhadap bagi kinerja perusahaan atau organisasi, karena sudut pandang stratejik ini diteorikan dari sudut pandang bisnis, sedangkan komunikasi dilihat akibat dari struktur dan proses dari perilaku perusahaan atau organiasai serta pengambilan keputusan dari individu.
- Pendekatan Retoris (Rethorical Approach)
Pendekatan ini muncul untuk menjadi respon dari model manajemen isu yang dibuat oleh Chase, Jones dan Crane kemudian dikembangkan oleh Crable dan VIbbert. Dari model manajemen isu Chase, Jones dan Crane. Crable dan Vibbert mengidentifikasi tiga masalah dalam model manajemen ini, diantaranya sebagai berikut
Manajemen isu beranggapan bahwa perusahaan atau organisasi memiliki hak yang sama seperti pemerintah dalam membuat kebijakan publik, yang dimana Crable tidak setuju dengan pernyataan ini karena organisasi ataupun perusahaan tidak memiliki hak dalam mengatur kebijakan publik, akan tetapi perusahaan dan organisasi dapat mempengaruhi kebijakan publik karena manajemen isu merupakan sebuah proses bagaimana organisasi ataupun perusahaan menjalankan pengaruh.
Isu dipandang oleh Chase dan kawan-kawan, sebagai suatu masalah yang belum terselesaikan dan siap untuk dibuat sebuah keputusan. Namun Crable dan Vibert berpendapat bahwa isu merupakan sebagai sebuah pertanyaan dan menyatakan bahwa isu ada jika satu atau lebih manusia saling berhubungan secara signifikan dalam situasi dan masalah.
Ada tiga strategi respon terhadapa isu yang Chase dan Jones rekomendasikan yaitu, reaktif, adaptif dan dinamis. Sedangkan menurut Crable dan Vibert menyarankan strategi Catalystic yaitu strategi yang dimana perusahaan atau organisasi berusaha untuk membawa isu ke dalam proses yang berulang secara teratur agar dapat diselesaikan oleh perusahaan atau organisasi sesuai dengan tujuan.
Pendekatan retoris ini dalam menguji manajemen isu terfokuskan pada pengujian retorik dan pengaruhnya terhadap public relations, dan teknik studi kasus sering digunakan untuk menganalisa dan mengembangkan sebuah aktivitas untuk merubah atau status proses yang berulang pada isu.
- Pendekatan Terintegrasi (Engagement Approach)
Pendekatan terintegrasi ini pada manajemen isu menjelaskan bahwa adanya dialog dan keterlibatan dari perusahaan atau organisasi dan masyarakat merupakan cara yang paling efektif untuk mengelola isu. Taylor, Vasquez dan Doorley memperkenalkan pendekatan ini dalam artikel mereka, dan mereka mengartikan terintegrasi sebagai suatu pertimbangan untuk melibatkan stakeholder yang relevan dalam pengambilan keputusan dari perusahaan ataupun organisasi. Konsep ini menurut Taylor dan kawan-kawan secara tidak langsung berasal dari kajian public relations. Dan pendekatan ini sebagai penyatuan dan memperluas pendekatan lainnya yaitu pendekatan sistem, stratejik dan retoris yang menyeluruh bagi manajemen isu masa depan. Pendekatan ini juga dapat menjadi sebuah kerangka kerja juga yang dapat menentukan dan menunjukkan pada manajemen isu di masa depan.
Terdapat tiga asumsi yang ada pada pendekatan terintegrasi, pada asumsi pertama berfokus pada kepentingan organisasi, maksudnya semua organisasi atau perusahaan berusaha untuk mencapai hasil atau outcome yang maksimal. Hal itu dapat dicapai oleh organisasi dengan mendengarkan masyarakat atau publik dan mengantisipasi serta beradaptasi dengan kebutuhan yang masyarakat atau publik inginkan. Manajemen isu dapat menjadi pembantu organisasi atau perusahaan dalam melakukan adaptasi yang dibutuhkan untuk dapat mengharmonikan dan mendorong kepentingan bersama. Serta manajemen isu sebagai pembantu perusahaan atau organisasi untuk berkembang dan bertahan hidup dengan alat yang dimiliki untuk memaksimalkan peluang.
Asumsi kedua, pendekatan terintegrasi memaparkan bahwa kepentingan publik merupakan hasil atau dampak yang muncul dari asumsi yang pertama. Pada pendekatan ini perusahaan atau organisasi bergantung pada masyarakat atau publik yang dipandang sebagai sumber daya. Karena publik kepentingannya dalam tindakan yang diambil oleh perusahaan atau organisasi. Selain itu keterhubungan dari masyarakat atau publik dengan perusahaan atau organisasi tidak akan berakhir meskipun isu telah selesai maka dari itu hal tersebut menjadi penting.
Asumsi ketiga, pendekatan terintegrasi ini hubungan menjadi salah satu hal yang penting. Menurut Gruning dan Repper manajemen isu sebagai salah satu strategi kunci bagi perusahaan atau organisasi membangun hubungan dengan stakeholder, serta pada pendekatan ini dijelaskan oleh Gruning dan Repper untuk perlunya melakukan komunikasi lebih lanjut untuk mengembangkan dan menjaga hubungan jangka panjang guna mendapatkan dukungan dan mengelola konflik. Pendekatan terintegrasi ini juga menjadi sebuah penyatuan atau penggabungan dari kepentingan perusahaan atau organisasi dengan kepentingan publik yang menciptakan peluang besar bagi kedua belah pihak dalam menyelesaikan isu melalui komunikasi.
Tiga pendekatan pertama yang ada diatas bisa digunakan untuk mencermati fokus tertentu dari manajemen isu. Sedangkan pendekatan terintegrasi sebagai pendakatan baru yang melihat bagaimana proses komunikasi sebagai peran krusial dalam menyelesaikan isu, serta mengintegrasikan kepentingan perusahaan atau organisasi dan publik atau masyarakat. Selain itu dalam strategi menajemen isu terdapat analisis risiko yang perlu diperhatikan untuk dapat menilai kemungkinan dampak yang dipengaruhi oleh masalah yang diketahui. Pada penilaian risiko itu sendiri ada pada pertimbangan kekurangan perusahaan, potensi dampak pada keuangan, dan potensi pada dampak dari sebuah reputasi.
Membuat reaksi menyeluruh menjadi salah satu langkah selanjutnya setelah melakukan identifikasi dan analisis dari kekhawatiran yang mungkin terjadi hal itu menurut Rohayati dalam . Pada saat membuat reaksi ini mencakup pada penetapan peran dan tugas, pengembangan komunikasi yang konsisten serta membangun perencanaan pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Pada strategi manajemen isu diperlukan evaluasi secara berkala terhadap setiap respon dan perkembangan proses manajemen isu yang terus berlanjut, Hal itu menurut Laraswati dalam  dapat dilakukan dengan mempelajari pengalaman masa lalu, menanggapi setiap perubahan lingkungan, dan membangun kemampuan perusahaan atau organisasi dalam menghadapi situasi rumit.
- Manajemen Krisis
Krisis merupakan sebuah situasi ataupun dugaan yang dimana dapat mengancam secara tidak terduga dan tidak diinginkan, yang berdampak pada rusaknya reputasi, dramatis yang mengganggu keberlangsungan individu ataupun organisasi yang membuat sebuah dorongan terhadap organisasi pada kekacauan yang berimbas pada karyawan, produk, jasa dan kondisi keuangan. Krisis ini dapat memungkinkan memberikan pengaruh negatif pada organisasi. Maka dari itu keputusan yang cepat dan tepat diperlukan untuk menghindari dari pengaruh negatif pada keseluruhan oprasional dari organisasi ataupun perusahaan.
Dampak negatif yang dapat memberikan masalah terhadap organisasi ini diperlukan sebuah manajemen krisis untuk bisa dapat mengelola krisis yang terjadi. Manajemen krisis menurut Iriantara dalam  merupakan sebuah bentuk dari ketiga bentuk respon pada manajemen pada perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal organisasi ataupun perusahaan. kegiatan daripada manajemen krisis ini didasarkan pada bagaimana krisis dihadapi (Crisis Bargaining and Negotiation), membuat keputusan untuk menghadapi krisis (Crisis Decision Making) serta memantau perkembangan dari krisis yang dialami.
Krisis itu sendiri memiliki jenis-jenis tertentu dan setiap ahli memiliki kategorinya masing-masing, seperti menurut Morrisan dalam  mengkategorikan krisis ini berdasarkan waktu, dan dibagi menjadi tiga yaitu:
- Krisis yang bersifat segera (Immediate Crises) yaitu tipe krisis yang terjadi secara tiba-tiba, tidak terduga dan tidak diharapkan. Tipe ini memerlukan tanggap yang cepat dengan mempersiapkan rencana umum untuk menanggapi krisis agar tidak menimbulkan kebingungan konflik dan penundaan dalam penanganan krisis yang muncul.
- Krisis baru muncul (Emerging Crises) yaitu krisis yang dimana public reletions dapat melakukan penelitan dan perencanaan terlebih dahulu, dan public relations harus mampu meyakikan manajemen atas untuk dapat menangani krisis yang ada sebelum krisis meledak.
- Krisis bertahan (Sustained Crises) yaitu tipe yang tetap muncul selama berbulan bulan dan bahkan bertahun-tahun walaupun telah dilakukan upaya yang terbaik oleh pihak manajemen organisasi atau perusahaan untuk menanganinya.
Selain itu ada beberapa peneliti lainnya yang mengkategorikan krisis dalam lingkup bisnis yaitu Nova salah satu jenisnya ialah krisis strategi yang dimana perusahaan ataupun organisasi mengalami krisis yang mempengaruhi kelangsungan hidup dari perusahaan menjadi terganggu. Pada hal ini perusahaan harus senantiasa memiliki rencana dalam menghadapi krisis serta tidak mengambil keputusan yang salah dan dapat membuat perusahaan semakin menghadapi krisis yang lebih berat. Hal ini berhubungan dengan krisis dengan kategori yang berdasarkan dari penyebabnya yang diungkapkan oleh Mazur dan White yaitu krisis kegagalan manajemen (Crisis of Management Failures), krisis ini menurut mereka terjadi karena adanya kesalahan pada pengurusannya dan adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh kelompok-kelompok yang diberi kewenangan khusus.
Krisis pula memiliki tahapan yang terjadi pada suatu perusahaan. Menurut Steven Fink dalam  terdapat empat tahapan pada krisis dan sering dikenal sebagai anatomi krisis. Setiap tahap ini saling berhubungan dan membentuk sebuah proses yang berulang. Pada tiap tahapnya memiliki waktu yang berbeda-beda, bergantung pada jumlah variabelnya, seperti bahaya, kondisi perusahaan atau organisasi, usia dari perusahaan, kemampuan dari manajemen dan komunikasi yang dibangun dalam perusahaan itu sendiri. Berikut tahapan dari krisis.
- Tahap krisis prodromal
Tahap ini merupakan tahap dimana krisis sudah mulai muncul pada sebuah perusahaan. tahap ini menjadi sebuah tahap peringatan yang memberikan tanda bahaya yang harus segera diatasi. Krisis besar menurut Ruslan merupakan hasil dari krisis kecil sebagai tanda awal yang tidak ditanggapi dengan serius atau tidak mengambil tindakan pengamanan apapun oleh pihak perusahaan atau organisasi. Pada krisis tahap ini pula menjadi titik balik dari perusahaan atau organisasi, jika manajemen salah mengartikan dan menangkap sinyal yang ada, maka krisis dapat bergerak kepada tahap yang lebih besar yaitu tahap akut.
- Tahap krisis akut
Tahap ini menjadi krisis yang telah mulai muncul pada permukaan perusahaan, dan biasanya terjadi karena kelengahan dari manajemen dalam menghadapi tahap prodromal. Pada tahap ini krisis mulai diketahui oleh masyarakat atau publik yang dimana para konsumen telah mengetahui bahwa perusahaan telah mengalami krisis pada produk mereka. Pada tahap akut ini salah satu hal yang menjadi kesulitan besar dalam menghadapi krisis ialah kekuatan dan kecepatan dari serangan berbagai pihak. Kekuatan dari tahap ini bergantung pada seberapa kompleks masalahnya, sedangkan kecepatan dilihat dari jenis krisis yang menimpa suatu organisasi atau perusahaan. Banyak orang yang menduga bahwa tahap ini sebagai permulaan dari sebuah krisis, karena samar-samarnya atau tidak terlihatnya krisis sudah mulai terlihat jelas.
Ketika sudah masuk pada tahap ini tidak ada titik untuk kembali ke tahap awal atau tahap prodromal atau biasa disebut dengan the point of no return. Pada tahap ini munculnya berbagai kerusakan, datangnya berbagai reaksi, isu yang menyebar luas. Akan tetapi, seberapa besarnya kerugian dari dampak krisis bergantung pada orang-orang yang berperan mengendalikan krisis ini. Pada tahap akut ini tindakan utama yang perlu perusahaan lakukan ialah mencegah, karena pada tahap ini perusahaan sudah berusaha untuk bagaimana menghindari (How to Avoid) bukan lagi untuk mencari penyebab (Why).
- Tahap krisis kronis
Tahap ini menjadi tahap pemulihan atau self analysis, yang ditandai dengan perubahan struktural. Pada tahap ini pula krisis telah berlalu hanya menyisakan puing demi puing masalah dari krisis, banyaknya korban yang telah terdampak dari krisis ini. Maka dari itu tahap ini menjadi tahap dalam penyembuhan atau pembersihan pada berbagai kerusakan akibat krisis. Langkah-langkah yang dapat dilakukan pada tahap ini seperti pergantian manajemen, struktur dari perusahaan atau organisasi, sampai dengan merubah (image recovery) nama perusahaan atau organisasi. Tahap ini menjadi pemulihan citra perusahaan atau organisasi dan berupaya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat atau publik, serta menjadi tahap untuk mengevaluasi atau introspeksi dari dalam sampai keluar hal apa yang menjadi penyebab krisis dapat terjadi. Tahap ini juga sebagai masa penentuan bagi perusahaan atau organisasi dalam keberhasilannya dalam melewati masa krisis, apakah menjadi keguncangan pada manajemen dan mengalami kebangkrutan perusahaan atau organisasi, atau manajemen dan perusahaan atau manajemen dapat pulih kembali seperti sediakala.
- Tahap krisis resolusi (penyembuhan)
Tahap terakhir ini menjadi tahap pulih kembali, namun perusahaan atau organisasi harus tetap berhati-hati karena dari beberapa riset mengatakan bahwa beberapa kasus krisis pada tahap ini tidak akan berhenti begitu saja, karena pada umumnya krisis merupakan sebuah bentuk proses yang berulang dan memungkinkan membawa kepada tahap awal atau prodromal. Pada tahap ini menjadikan perusahaan secara operasional, karyawan dan manajemen akan menjadi lebih siap atau matang dalam tugasnya karena sudah melalui proses perbaikan, perubahan struktur, pengaturan ulang dan lain sebagainya. Terutama pada public relations yang menjadi lebih kuat dan siap dalam menghadapi krisis yang serupa dan memiliki strategi manajemen krisis yang sesuai untuk mengatasinya. Mulai dari situasi krusial yang terduga hingga situasi krusial yang tidak terduga public realtion lebih siap dengan strategi dan teknik public relations yang dipunya dengan pencegahan atau preventive, pemulihan situasi, antisipasi sampai memperbaiki hingga mencegah citra dan lainnya. secara teratur, cekatan, efektif, efisien, solutif dan objektif.
Pada manajemen krisis terdapat tahapan dalam penanganannya untuk dapat berjalan dengan baik dan kondusif dalam berjalannya perusahaan atau organisasi. Terdapat beberapa jenis tahapan yang dikemukakan oleh ahli salah satunya menurut irianti dalam  ada empat langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh perusahaan dalam mengelola krisis, yaitu:
- Identifikasi krisis, sebagai langkah awal pada manajemen krisis dengan peran public relations yang melakukan penelitian, penelitian ini bisa dilakukan dengan informal dan cepat, jika sekiranya krisis terjadi dengan cepat. Pada langkah awal ini bisa dikatakan sebagai diagnosis yang dilakukan public relation. Diagnosis ialah proses mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan untuk melakukan tindakan.
- Analisis krisis, menjadi langkah selanjutnya setelah melakukan identifikasi krisis. Langkah ini menjadi proses penguraian tiap bagian ke bagian dari data dan informasi yang telah dikumpulkan sebelumnya, atau biasa disebut analisis parsial atau menyeluruh. Data dan informasi ini dianalisis agar perusahaan atau organisasi dapat menentukan pengambilan keputusan yang tepat.
- Isolasi krisis, menjadi langkah ketiga pada langkah mengelola krisis. Pada tahap ini krisis perlu diisolasi atau dikarantinakan, karena krisis seperti sebuah penyakit yang dapat menular atau menyebar luas maka diperlukan untuk mengisolasi sebelum tindakan serius dilakukan.
- Pilihan strategi, pada langkah ini sebagai kegiatan untuk menentukan pengambilan tindakan yang tepat. Langkah ini dilakukan sebelum tindakan berkomunikasi dan setelah analisis serta mengkarantinakan krisis.
Strategi yang dapat digunakan untuk menghadapi krisis menurut Kasali dalam  ada tiga yaitu:
- Strategi defensif
Strategi defensif ini digunakan jika permasalahan atau isu yang terjadi belum jelas secara spesifik mau itu dari produk, individu sampai pada perusahaan. Langkah-langkah yang digunakan pada strategi defensif ini ialah dengan mengulur waktu, tidak mengambil tindakan terburu buru atau tidak melakukan apa-apa (not in action), dan berusaha membentengi atau mempertahankan diri dengan kuat (stone walling)
- Strategi adaptif
Strategi adaptif ini digunakan jika masalah, isu ataupun gejalanya terlihat dengan jelas atau spesifik maupun hanya bersifat umum. Strategi ini menggunakan langkah-langkah kepada hal-hal yang luas seperti perubahan kebijakan, aspek oprasional yang dimodifikasi, mengkompromi serta meluruskan image atau citra. Hal itu dilakukan karena dampak krisis yang dapat menjadi lebih besar jika tidak ditangani dan dapat menjadi tidak terkendali.
- Strategi dinamis
Strategi dinamis ini digunkan ketika pada situasi masalah ataupun isu sudah terlihat sangat spesifik, baik itu individu, produk ataupun perusahaan. Dapat terlihat pula dampak yang akan diberikan oleh masalah tersebut dan berkembang ke ara yang tidak mudah diduga. Pada strategi ini diperlukan tindakan makro yang melibatkan perubahan besar dan dapat merubah karakter dari perusahaan itu sendiri. Hal ini dapat menetralkan suasana dan mengembalikan masalah menjadi positif. Terdapat langkah-langkah yang dapat diambil dalam strategi ini yaitu, saham perusahaan yang dijual, investasi baru, membuat produk baru, menarik produk lama dari peredaran, menjalin kerja sama dengan pemilik kekuasaan dan melempar isu baru untuk mengalihkan perhatian publik.
Metode Penelitian
- Kepustakaan
Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research) dengan tujuan untuk mendeskripsikan dari hasil penelitan pada manajemen isu dan komunikasi krisis PT Tupperware dalam menghadapi kebangkrutan. Metode penelitian ini merupakan penelitian deskripsi dengan lebih menekankan pada kekuatan analisis sumber-sumber dan data-data yang ada dengan mengandalkan teori-teori dan konsep-konsep yang ada untuk diinterpretasikan berdasarkan tulisan-tulisan yang mengarah pada pembahasan (Sari, 2021).
Menurut mardalis dalam (Sari, 2021) penelitian kepustakaan merupakan studi yang digunakan dalam mengumpulkan informasi dan data dengan bantuan berbagai macam material yang ada di perpustakaan seperti dokumen, buku, majalah, kisah-kisah sejarah. Penelitian kepustakaan dijelaskan oleh sarwono sebagai studi yang mempelajari berbagai buku referensi serta hasil penelitian sebelumnya yang sejenis yang berguna untuk mendapatkan landasan teori mengenai masalah yang akan diteliti.
Hasil dan Pembahasan
- Keterhubungan Isu dengan Krisis yang Dialami PT Tupperware
Dari hasil penelitian kepustakaan peneliti menemukan adanya keterhubungan antara isu dan krisis yang dialami oleh Tupperware. Dimana isu ini tidak ditangani dengan baik oleh manajemen PT Tupperware yang menyebabkan berkembangnya isu tersebut menjadi besar hingga ke tahap krisis. Tupperware mengalami isu tidak bisanya mereka dalam mengikuti perubahan gaya hidup masyarakat serta tidak memiliki inovasi yang cukup untuk bersaing yang membuat penurunan minat pembeli yang mereka alami semenjak tahun 2018 yang dapat terlihat dari penjualan produk mereka yang terus menurun dalam gambar yang dibuat oleh Viriya Singgih pada artikel (BBC, 2024). Penurunan tersebut terus berlanjut membawa mereka ke tahap krisis, yang dimana mereka mendapati utang yang menumpuk, tercatat menurut Reuters dalam (Effran, 2024) utang yang dibebani oleh perusahaan Tupperware adalah 700 juta USD atau sekitar 10,85 triliun rupiah. Hal tersebut dapat terjadi karena kegagalan mereka dalam menangani isu serta kurang cepat tanggapnya dari perusahaan Tupperware dalam menangani isu yang mulai menyebar hingga ke tahap krisis. Seperti yang dikatakan oleh Direktur pelaksana ritel di konsultan Global Data yaitu Neil Sunders yang mengatakan jika perusahaan Tupperware semenjak 10 tahun yang lalu sudah melakukan perubahan mungkin akan menjadi lebih baik dari yang saat ini (Ramadhani, 2023).
- Kurangnya Respon Manajemen Isu PT Tupperware
Awal yang menjadi isu yang dialami oleh Tupperware adalah menurunnya minat dari konsumen atau masyarakat terhadap produk Tupperware yang disebabkan oleh perubahan gaya hidup dari masyarakat yang berubah yang dimana masyarakat mulai meninggalkan produk berbahan plastik, dan beralih ke produk yang lebih ramah lingkungan (BBC, 2024). Selain itu Tupperware juga kurang cepat dalam berinovasi pada produknya yang dimana pada generasi muda sekarang cenderung menyukai produk yang memiliki fitur-fitur baru, desain yang menarik serta produk yang memiliki multifungsi (Admin, 2023). Serta keterlambatan mereka dalam mengikuti perkembangan zaman yang dimana mereka masih mengandalkan penjualan langsung melalui agen yang dimana perusahaan dan masyarakat telah banyak menggunakan e-commerce ataupun penjualan online. Dalam hal ini seharusnya manajemen Tupperware harus cepat dalam merespon isu yang dapat mereka lihat dari penjualan dan peminatan dari produk mereka yang terus menurun. Hal ini berhubungan dengan pandangan menurut Taylor, Vasquez dan Doorley dalam (Prayudi, 2007) pada pendekatan terintegrasi bahwa keterhubungan antara publik ataupun masyarakat dengan perusahaan akan terus berlanjut, dan hubungan tersebut akan berdampak atau menentukan hasil dari pendapatan yang akan didapatkan oleh perusahaan. Namun hal tersebut tidak dilakukan dengan cepat dan kurang efektif oleh PT Tupperware yang menyebabkan penurunan penjualan secara signifikan yang mereka alami dan yang masih terus mengandalkan penjualan langsung melalui agen. Keterlambatan dalam merespon isu ini diperkeruh dengan hadirnya kompetitor sejenis, yang mampu menghadirkan produk yang lebih murah, lebih modis atau inovatif.
- Isu Berkembang Ke Tahap Krisis
Isu yang tidak dapat ditangani dengan baik oleh PT Tupperware menjadikan isu tersebut menjadi semakin luas dan menyebabkan krisis pada awalnya hanya pada krisis yang seperti halnya pada isu yaitu penurunan minat dan penjualan namun pada tahap krisis ini skalanya lebih besar atau terjadi secara signifikan pada seluruh produk dari PT Tupperware. Tahap ini menjadi tahap awal atau tahap prodromal menurut Steven Fink dalam (Riadi, 2021) yang dimana krisis ini menjadi pertanda yang akan datangnya suatu krisis yang lebih serius di masa depan, dan menjadi titik balik dari keberhasilan atau kegagalan manajemen yang dapat menuju ke tahap krisis yang lebih serius. Hal itu terjadi pada PT Tupperware yang tidak mampu mengatasi krisis mereka terhadap pengembalian angka penjualan mereka yang menyebabkan krisis meluas kepada keuangan dari PT Tupperware, penjualan yang menurun menyebabkan sejumlah kerugian finansial yang dialami oleh PT Tupperware. Tercatat pada unggahan laporan keuangan oleh Tupperware pada tahun 2022 terbebani kerugian sebesar 28,4 juta USD, hal ini disebabkan penjualan perusahaan yang menurun pada tahun 2022 menjadi 18 persen atau 1,30 milliar USD jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Yogatama, 2024).
- Krisis Masuk kepada Tahap Akut
Krisis yang telah sudah terlihat jelas dan mulai meluas menandakan bahwa krisis telah masuk ke dalam tahap akut, yang dimana krisis sudah muncul kepermukaan ataupun ke masyarakat (Riadi, 2021). Seperti yang terjadi pada perusahaan Tupperware setelah terbebani penurunan penjualan dan kerugian yang cukup besar masuk kepada meningkatnya pada biaya oprasional mulai dari pengiriman, tenaga kerja serta pada bahan baku yang terus menekan perusahaan (Khoiriyah, 2024). Kemudian menurunnya saham dari perusahaan Tupperware secara drastis pada tahun 2023 sebesar 68 persen (Ramadhani, 2023), diikuti dengan kinerja manajemen dari perusahaan Tupperware yang dimana mereka mengalami masalah dalam pelaporan keuangan dan manajemen keuangan, penurunan kinerja yang signifikan yang dipengaruhi oleh perginya Chief Financial Officer dari Tupperware. Selain itu berdampak juga pada karyawan dari perusahaan Tupperware yang terbatas, kesenjangan keahlian dan hilangnya kesinambungan pengetahuan mereka (Tysara, 2024).
Masalah demi masalah, krisis demi krisis yang melanda perusahaan Tupperware yang dimana memunculkan sejumlah keraguan pada para investor, karena perusahaan Tupperware tidak mampu melakukan likuiditasnya yang menyebabkan juga pada keraguan substansial yang dialami Tupperware untuk menjalankan produknya. Hal itu menjadi pertanda bahwa manajemen yang tidak mampu dalam berkomunikasi pada pemegang kekuasaan, yang dimana hal itu menjadi salah satu hal yang penting dalam manajemen krisis. Bahkan pada 2024 sahamnya semakin menurun di angka 74,5 persen (Amaranggana & Nugroho, 2024), hingga pada puncak dari pada krisis ini adalah utang yang sangat besar yang dimiliki oleh Tupperware yaitu sebesar 812 juta USD atau setara dengan 12,4 triliun rupiah (Puspapertiwi, 2024), kemudian perusahaan mengajukan kebangkrutan pada tanggal 16 September 2024.
- Selamat dari Kebangkrutan (Tahap Krisis Kronis)
Pada tanggal 16 September 2024 ini usaha terakhir yang bisa perusahaan Tupperware lakukan untuk membayar utang dengan menawarkan dengan harga murah kepada investor dan memberikan asset Tupperware sebagai ganti pinjaman dan Tuppeware juga mengajukan perlindungan kebangkrutan kepada pengadilan untuk menjadi kekayaan intelektual mereka. Laurie Ann Goldman selaku CEO Tupperware mangambil langkah ini dengan tujuan untuk bisa lebih fleksibel untuk membantu perubahan perusahaan, khususnya pada digitalisasi (Septia, 2024). Tindakan ini juga sebagai salah satu tindakan dalam isolasi krisis dalam manajemen krisis yang dilakukan oleh perusahaan Tupperware untuk mencegah krisis yang semakin membesar. Tahap yang dilakukan oleh CEO Tupperware ini juga menjadi tahap dalam krisis kronis yang bertujuan untuk memulihkan perusahaan yang dimana adanya perubahan yang akan terjadi pada perusahaan seperti manajemen, struktur hingga ke nama perusahaan itu sendiri (Riadi, 2021). Walaupun sebenarnya pada tahun 2023 sempat dilakukan tahap kronis ini dengan perbaikan dari memposisikan ulang konsumen mereka menjadi konsumen yang lebih muda, perbaikan struktural modal dan likuiditas dengan mencari investor atau mitra potensial (Ramadhani, 2023), namun tidak berhasil yang menyebabkan siklus krisis terjadi pada perusahaan Tupperware.
Kemudian pada tanggal 03 November pada Pengadilan Kepailitan Amerika Serikat, hakim menyetujui proposal perlindungan dari kebangkrutan perusahaan Tupperware dan perusahaan Tupperware mengumumkan dirinya menyepakati untuk menempuh pilihan menjual bisnis kepada kelompok pemberi pinjaman, dengan penjualan tercatat senilai 23,5 juta USD atau setara dengan 269,68 miliar rupiah. Tidak sampai disitu perusahaan ini juga melepas bisnis mereka kepada pemberi pinjaman dengan nilai 63 juta USD atau setara dengan 990,73 miliar rupiah dalam bentuk keringanan utang. Para peminjam ini yang akan mengakuisisi Tupperware yang diantaranya ialah Alden Global Capital, Bank of America Trading Desk serta, Stonehill Institutional Partners. Kedua belah pihak akan menyepakati bahwa perusahaan Tupperware akan menjadi perusahaan swasta dan bursa saham dari perusahaan akan dihapus (Hidayatullah, 2024).
- Tahap Resolusi dari Krisis Tupperware
Pada tahap ini perusahaan Tupperware akan melakukan re-branding dengan kemungkinan memulai dengan nama baru yaitu New Tupperware Co, serta meneruskan kehadirannya pada pasar Global dan mulai melakuakn penjualan secara daring ataupun melalui penjualan independen dari Tupperware ini sendiri (Respati, 2024). Pada tahap ini juga Tupperware harus tetap awas terhadap kemungkinan krisis yang dapat menerjang mereka kembali karena krisis tidak benar-benar hilang, melainkan krisis merupakan sebuah bentuk dari proses yang berulang (Riadi, 2021).
Kesimpulan
Pada penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sebuah perusahaan harus selalu untuk siap dengan isu yang mungkin terjadi secara terduga maupun tidak terduga, kecil ataupun besarnya isu menjadi hal yang dilihat dan dianalisis dengan cermat oleh perusahaan. Kemudian isu perlu direspon dengan cepat agar isu tidak berkembang dan meluas ke berbagai hal apalagi jika isu tersebut dapat mempengaruhi pendapatan dari perusahaan. Jika isu tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkannya munculnya krisis yang dapat terjadi. Dari kasus perusahaan Tupperware dapat dipelajari bahwa dalam manajemen isu ataupun manajemen krisis perlu melihat dengan jelas permasalahan yang sedang dialami oleh perusahaan dan memiliki prediksi akan isu tersebut akan berkembang seperti apa serta strategi atau rencana yang efektif untuk mengantisipasi masalah mereka. Dalam hal ini perusahaan perlunya untuk melakukan adaptasi yang cepat dengan perubahan gaya hidup dari masyarakat, membentuk strategi untuk meminimalisir penurunan penjualan, melakukan komunikasi secara transparan pada pemegang kekuasaan seperti investor, dengan meyakinkan dalam memberikan solusi. Serta kurangnya memantau isu sejak awal secara berkala menjadi kunci mengapa perusahaan Tupperware menghadapi isu yang berkembang menjadi sebuah krisis yang menyebar luas dan mempengaruhi kelangsungan hidup dari perusahaan itu sendiri.
Daftar Pustaka