Astronot Leo Davidson terpaksa melakukan pendaratan darurat di sebuah planet asing. Di luar dugaan, planet tersebut dihuni oleh kera-kera yang cerdas. Di planet miliknya, kera-kera tersebut memperlakukan manusia sebagai budak. Leo memberontak karena tak ingin manusia dijadikan budak. Namun, usahanya ini justru menjadi bumerang karena menimbulkan masalah besar baginya. Film trilogi Planet of The Apes ini sukses besar dan menuai pujian karena desain, riasan, dan aspek visualnya. Jauh sebelum teknologi CGI (Computer Generated Images) digunakan dalam pembuatan film ini, film produksi 20th Century Fox tersebut tidak hanya melibatkan aktor manusia yang menggunakan kostum dan topeng kera, tetapi juga melibatkan kera sungguhan dalam pembuatan filmnya. Lalu, apa yang salah dari keterlibatan hewan di dalam sebuah film?
Sebagai penikmat film, kita kerap terbuai oleh karakter hewan yang bertingkah layaknya manusia, meski tidak masuk akal, hewan-hewan tersebut tampak menggemaskan dengan perannya. Tak jarang, kita mengabaikan proses dibalik layar, bagaimana mereka diperlakukan selama masa produksi dan bagaimana cara sutradara mengarahkan aktor hewan agar dapat berakting seperti manusia. Benarkah tidak ada hewan yang terluka? Atau klaim “No Animals were Harmed” justru sebenarnya berbunyi “No Animals were Harmed”?
Keterlibatan hewan di dalam film tentu tidak menjadi masalah selama hewan yang dilibatkan tidak dirugikan. Namun, jika dilihat dari sejarah, jauh sebelum maraknya pengaplikasian teknologi CGI dan banjirnya film-film dengan karakter hewan, pada tahun 1930, film berjudul Dogville menuai kecaman karena dianggap menyakiti hewan. Film ini menampilkan karakter anjing yang berperilaku layaknya manusia. Mereka berpakaian, berjalan, menari, berpesta, bahkan bermain alat musik. Rupanya, instrumen musik seperti akordeon ditempelkan ke telapak tangan para anjing tersebut dan badan mereka digerakkan layaknya wayang. Kejadian ini memicu dikeluarkannya peraturan tentang hak-hak hewan pada tahun 1940 di Amerika Serikat, termasuk ketentuan-ketentuan untuk hewan dalam berakting di film-film.
Pedoman tentang keterlibatan hewan dalam film telah diatur oleh American Humane Association (AHA) dan diuraikan pada Guidelines for the Safe Use of Animals in Filmed Media.
AHA merupakan organisasi yang berkomitmen untuk memastikan keselamatan dan kesejahteraan hewan. Ketika suatu film akan melibatkan hewan sebagai aktor, rumah produksi memiliki tanggung jawab untuk menghubungi American Humane Association (AHA) saat praproduksi. Organisasi ini akan mengirimkan perwakilan keselamatan hewan tersertifikasi untuk memastikan bahwa pedoman tersebut ditegakkan di lokasi syuting. Mereka akan mendokumentasikan semua tindakan dan perawatan yang diberikan kepada hewan, bertindak sebagai saksi yang independen, profesional, dan objektif untuk menilai perlakuan dan kesejahteraan para aktor hewan selama masa produksi film. Nantinya, film-film di bawah pengawasan AHA akan mengantongi kredit “No Animals were Harmed” sebagai bukti bahwa hewan-hewan di dalam film tersebut telah dipastikan aman selama proses produksi film.
Kebijakan yang dibuat oleh AHA agaknya mampu membuat penikmat film dan pecinta hewan bernapas lega tentang nasib para aktor hewan yang diikutsertakan di dalam film. Namun sayangnya, investigasi yang dilakukan The Hollywood Reporter menemukan fakta lain dan terang-terangan melaporkan bahwa kredit “No Animals were Harmed” tidak berarti apa-apa.
The Hollywood Reporter menemukan bahwa AHA kerap melakukan pembenaran ketika dilaporkan terjadi kecelakaan atas film yang dipantaunya. AHA disinyalir memiliki hubungan dekat dengan kelompok-kelompok penting di industri hiburan. Misalnya SAG-AFTRA, serikat pekerja Amerika Serikat yang mewakili sekitar 160.000 pekerja di industri seni di seluruh dunia dan Alliance of Motion Picture and Television yang memberikan dana hibah hingga $2,4 Juta kepada regulatornya yaitu AHA. Sayangnya, hubungan mutual organisasi-organisasi ini disalahgunakan oleh AHA. Seperti pembuatan film Peter Jackson's The Hobbit: An Unexpected Journey yang telah menewaskan 27 hewan, di antaranya domba dan kambing akibat dehidrasi, kelelahan, bahkan tenggelam di selokan berisi air selama jeda syuting di sebuah peternakan di Selandia Baru yang tidak diawasi. Seorang pelatih melaporkan keadaan ini kepada pejabat AHA yang bertanggung jawab terhadap hewan-hewan di dalam film ini, tetapi reaksinya di luar dugaan. Pejabat AHA itu mengatakan bahwa bukti fisik untuk menyelidiki dan kematian hewan terjadi saat jeda syuting, sehingga AHA tidak memiliki wewenang.
Sungguh malang nasib aktor hewan, mereka tak pernah mendapatkan perlakuan yang wajar bahkan sejak saat mereka dipersiapkan sebagai aktor. Sarah Baeckler, seorang ahli primata (primatolog) melakukan penyelidikan rahasia selama 14 bulan di fasilitas pelatihan terkemuka Hollywood, Amazing Animal Actors. Selama penyelidikan, ia menemukan banyak kekerasan fisik, seperti pukulan dan tendangan, serta penggunaan gagang sapu yang digergaji untuk memukul simpanse agar mereka tetap tunduk kepada pelatih. Para hewan didesain untuk takut kepada para pelatih agar dapat ditundukkan ketika berakting di lokasi syuting. Aktor hewan akan berhenti digunakan ketika sudah berusia lebih dari tiga tahun karena dianggap tidak lagi disiplin dan sulit dikendalikan. Mereka akan dijual ke kebun binatang di bawah standar atau ke fasilitas penelitian biomedis, seperti halnya Chubbs, simpanse yang terlibat dalam film Planet of the Apes. Beberapa tahun setelah film itu dirilis, lewat penyelidikan PETA (People for The Ethical Treatment of Animals), Chubbs ditemukan tinggal di kebun binatang pinggir jalan yang kotor dan busuk. Chubbs tentu bukan satu-satunya, sampai saat ini tidak diketahui berapa banyak yang bernasib sama seperti Chubbs.
AHA ternyata tidak mempertimbangkan kondisi kehidupan hewan selama masa pelatihan dan nasib hewan setelah tidak lagi digunakan. Di beberapa kasus yang diperiksa oleh The Hollywood Reporter, AHA tidak menjalankan perannya sebagai organisasi yang berkomitmen melindungi hewan. Faktanya, banyak film yang menerima kredit "No Animals were Harmed" meskipun banyak hewan yang cedera hingga mati ketika produksi syuting di bawah pengawasan AHA. AHA membenarkan hal ini dengan alasan bahwa hewan tidak sengaja terlukai atau insiden terjadi saat jeda pembuatan film, sehingga nasib hewan di luar wewenang organisasi nirlaba ini. Ada banyak hal luar biasa yang tidak dijadikan berita. AHA telah berubah dari agen yang melindungi hewan menjadi agen yang mengabaikan kejahatan hingga berusaha menutupinya.
Setelah investigasi yang dilakukan oleh The Hollywood Reporter tentang isu kontroversial ini, AHA mengumumkan kebijakan dan prosedur baru untuk membantu memastikan keamanan hewan. Ini termasuk mempekerjakan dokter hewan untuk mengawasi keamanan produksi di lokasi syuting, meninjau pedoman keselamatan, dan membawa penyelidik independen dalam kasus kematian hewan.
DAFTAR PUSTAKA
American Humane Association. (2015). Guidelines for the Safe Use of Animals in Filmed. Washington, DC: American Humane Association.
Gaum, Bary. (2013). Animals Were Harmed. (https://www.hollywoodreporter.com/news/general-news/animals-were-harmed-hollywood-reporter-investigation-on-set-injury-death-cover-ups-659556/ , 20 Agustus 2022).
People for the Ethical Treatment of Animals. (2014). Animal Actors: Involuntary Performers. (https://www.peta.org/issues/animals-in-entertainment/animals-used-entertainment-factsheets/animal-actors-command-performances/ , 20 Agustus 2022).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI